Aku tidak tahu apakah aku tidur. Mungkin tidak. Aku hanya berdiri di depan jendela kamarku, menatap kegelapan yang perlahan-lahan menyerah pada cahaya fajar yang pucat. Langit berubah dari hitam menjadi nila, lalu menjadi abu-abu baja. Garis cakrawala di timur mulai terbakar dengan warna oranye dan merah muda. Itu mungkin pemandangan yang indah. Aku tidak merasakannya. Itu hanyalah proses mekanis, perputaran sebuah planet yang tidak peduli.
Saat cahaya pagi yang lembut akhirnya memenuhi ruangan, aku berbalik dari jendela. Aku merasa seperti rumah kosong yang baru saja ditinggalkan penghuninya. Perabotannya masih ada, lampunya masih bisa menyala, tetapi tidak ada lagi kehidupan di dalamnya.
Aku berjalan keluar dari kamar. Daniel tertidur di sofaku yang tidak nyaman, tubuhnya yang besar tampak canggung di atas desain Italia yang minimalis. Jasnya yang mahal kusut, dasinya longgar. Dia tampak seperti seorang prajurit yang kelelahan setelah pertempuran. Aku menatapnya tanpa emosi. Tidak ada kemarahan. Tidak ada pengampunan. Tidak ada apa-apa. Dia hanyalah objek lain di dalam apartemenku, sebuah pengingat dari bencana.
Dia terbangun oleh suara langkah kakiku, langsung duduk tegak, matanya penuh dengan kekhawatiran dan rasa bersalah.
"Aletta," katanya, suaranya serak. "Kau... kau sudah bangun."
Aku tidak menjawab. Aku hanya berjalan ke dapur dan menuang segelas air. Tanganku mantap.
"Bagaimana perasaanmu? Apa kau butuh sesuatu? Kopi?" tanyanya, mengikuti di belakangku, putus asa untuk melakukan sesuatu, untuk memperbaiki sesuatu yang ia tahu tidak bisa diperbaiki.
Telepon kerjaku, yang sepertinya ia bawa dari kantor, mulai berdering tanpa henti di atas meja. Getarannya terasa mengganggu di dalam keheningan apartemen.
Panggilan itu dari Citra. Tentu saja. Dia adalah satu-satunya orang yang akan mencoba menerobos benteng ini. Setelah beberapa dering, aku mengangkatnya dan mengaktifkan mode pengeras suara.
"Bu Aletta, syukurlah!" Suara Citra terdengar panik, sesuatu yang sangat jarang terjadi. "Kantor dalam keadaan kacau. Para kepala departemen menanyakan arahan. Media tidak berhenti menelepon. Apa yang harus saya katakan pada mereka? Apa instruksi Anda?"
Aku menatap Daniel, yang menatapku kembali dengan cemas. Mereka semua menunggu. Menunggu Ratu mereka untuk memberikan perintah, untuk menyusun strategi, untuk memulai perang balasan. Mereka menunggu Aletta Virmana yang lama.
Tapi Aletta Virmana yang lama sudah tidak ada di sini.
Aku menarik napas. "Batalkan semuanya, Citra," kataku. Suaraku terdengar datar, tanpa emosi, seperti suara orang asing.