Kali terakhir aku berlakon
Perempuan tua muncul sekonyong-konyong
Dan membunuh semua penonton
Aku hampir saja menginisiasi Rencana Pertahanan Omega—jatuh berlutut dan minta ampun—ketika Leo menyelamatkanku dari aib.
“Buldoser,” bisiknya.
“Kata sandi, ya?” tanyaku.
“Bukan. Aku akan mengendap-endap ke buldoser itu. Kalian berdua tinggal mengalihkan perhatian orang-orang berkepala sedeng.”
Dia menggeser bobot Calypso ke badanku.
“Apa kau gila?” desis sang penyihir.
Leo menatapnya dengan ekspresi memelas, seolah-olah mengatakan, Percayalah kepadaku! Alihkan perhatian mereka!
Kemudian, dia melangkah menyamping dengan hati-hati.
“Oh!” kata Nanette berbinar-binar. “Apa Anda mengajukan diri untuk mati duluan, Demigod Pendek? Anda tadi menghajar saya dengan api, maka usulan Anda memang masuk akal.”
Apa pun yang Leo pikirkan, kuduga rencananya akan gagal andaikan dia mulai adu mulut dengan Nanette mengenai tinggi badannya. (Leo agak peka apabila dikatai pendek.) Untungnya, aku berbakat alam dalam menarik perhatian orang.
“Aku mengajukan diri untuk mati!” teriakku.
Massa serempak menoleh ke arahku. Aku diam-diam mengumpat redaksional kalimatku. Aku seharusnya mengajukan diri untuk kegiatan yang lebih mudah, semisal memanggang pai atau bersih-bersih pasca-eksekusi.
Aku sering kali bicara tanpa berpikir dulu. Biasanya pendekatan itu mulus-mulus saja. Malahan, kebiasaan tersebut adakalanya membuahkan mahakarya improvisasi, seperti Renaisans atau gerakan Beat. Mudah-mudahan kali ini pendekatanku seefektif itu.
“Tapi pertama-tama,” kataku, “dengarlah permohonanku, wahai blemmyae nan pengampun!”
Polisi yang tadi Leo bakar menurunkan pistolnya. Sejumlah bara api Yunani hijau masih menyala di janggut perutnya. “Apa maksud Anda, dengarlah permohonanku?”
“Begini,” kataku, “menurut kebiasaan, kita mesti mengabulkan permintaan terakhir orang yang akan mati. Orang yang kumaksud di sini bisa berarti dewa, demigod, manusia, atau ... kau menganggap dirimu apa, Calypso? Titan? Demi-Titan?”
Calypso mengeluarkan deham yang anehnya berbunyi mirip Bodoh. “Maksud Apollo adalah, menurut etiket, kalian harus mempersilakan kami mengucapkan sepatah-dua patah kata terakhir sebelum kalian membunuh kami, wahai blemmyae yang pengampun. Aku yakin kalian tentu tidak ingin melanggar sopan santun.”
Blemmyae kelihatan terpukul, sedangkan senyum ramah sirna dari wajah palsu mereka. Mereka menganggukkan kepala mekanis kuat-kuat. Nanette beringsut ke depan sambil mengedepankan kedua telapak tangan, seperti hendak mohon maklum. “Sudah pasti! Kami ini sangat sopan.”
“Luar biasa sopan,” sang polisi mengiakan.
“Terima kasih,” ujar Nanette.
“Sama-sama,” tukas sang polisi.
“Kalau begitu, dengarkanlah!” seruku. “Kawan, Lawan, Blemmyae … buka ketiak kalian dan simaklah kisah sedihku!”
Leo mundur selangkah lagi sambil memasukkan tangan ke saku sabuk perkakas. Enam puluh langkah lagi, dia niscaya tiba di buldoser. Fantastis.
“Aku Apollo!” aku memulai. “Mantan dewa! Aku jatuh dari Olympus, diusir oleh Zeus, secara semena-mena disalahkan sebagai biang kerok peperangan dengan bangsa raksasa!”
“Aku ingin muntah,” gumam Calypso. “Biarkan aku duduk.”
“Kau mengusik ritmeku.”
“Kau memecahkan gendang telingaku! Biarkan aku duduk!”
Aku menurunkan Calypso ke dinding pembatas air mancur.
Nanette mengangkat plang jalan yang dia pegang. “Sudah selesai? Boleh saya membunuh Anda sekarang?”
“Belum, belum!” kataku. “Aku baru, ah, membantu Calypso duduk supaya … supaya dia bisa menjadi penyanyi latarku. Pementasan Yunani yang bagus wajib dilengkapi penyanyi latar.”
Tangan Calypso menyerupai terung penyek. Pergelangan kakinya membengkak di atas sepatu olahraganya. Aku takjub dia masih sadar, tapi aku paham bahwa dalam kondisinya sekarang, mustahil dia sanggup menjadi penyanyi latar. Walau demikian, Calypso menarik napas patah-patah dan menganggukkan kepala. “Siap.”
“Cerita punya cerita!” kataku. “Sampailah aku di Perkemahan Blasteran, sebagai Lester Papadopoulos!”
“Manusia mengibakan!” Calypso meningkahi. “Yang terpayah di antara kaum remaja!”