The Trials of Apollo #3: The Burning Maze

Noura Publishing
Chapter #2

2

Aku jadi ransel

Diselotip ke punggung satir.

Aku menangis getir.

HENTIKAN!” PEKIK GROVER. “Kami datang dalam damai!”

Burung itu tidak terkesan. Ia menyerang, luput mengenai wajah sang satir semata-mata karena Meg menyabetkan pedang sabitnya. Si strix menikung, berkelit di sela pedang kembar Meg, dan mendarat tanpa terluka di titian spiral, sedikit lebih tinggi daripada tadi.

NGIIIK! teriak si strix sambil merapikan bulu-bulunya.

“Apa maksudmu ‘kau harus membunuh kami’?” tanya Grover.

Meg merengut. “Kau bisa bicara dengannya?”

“Tentu saja,” kata Grover. “Dia binatang.”

“Kenapa tadi kau tidak memberi tahu kami dia bilang apa?” tanya Meg.

“Karena tadi dia cuma berteriak ngiiik!” kata Grover. “Sekarang ngiiik-nya berarti dia harus membunuh kita.”

Kucoba untuk menggerakkan kaki. Tungkaiku serasa bak kantong semen, yang menurutku menggelikan. Lenganku masih bisa digerakkan dan aku juga bisa merasakan sesuatu di dadaku, tetapi aku tidak tahu berapa lama lagi.

“Coba tanyakan kepada si strix kenapa dia harus membunuh kita,” saranku.

“Ngiiik!” kata Grover.

Aku bosan mendengar bahasa strix. Burung itu menjawab dengan serentetan suara mengoak dan memekik.

Sementara itu, di koridor luar, strix-strix lain menjerit dan menghantam jejaring tumbuhan. Cakar-cakar hitam dan paruh-paruh emas menyembul, mencacah-cacah tomat.Kuperkirakan waktu kami tinggal beberapa menit sampai burung-burung itu menghambur ke dalam dan membunuh kami semua, tetapi paruh mereka yang setajam silet memang imut!

Grover meremas-remas tangannya. “Kata strix itu, dia diutus untuk meminum darah kita, memakan daging kita, dan memburai usus kita, urutannya tidak harus seperti itu. Katanya dia minta maaf, tapi dia diberi perintah langsung oleh Kaisar.”

“Kaisar tolol,” gerutu Meg. “Yang mana?”

“Entahlah,” ujar Grover. “Si strix cuma memanggilnya Ngiiik.”

“Kau bisa menerjemahkan memburai,” komentar Meg, “tapi tidak bisa menerjemahkan nama kaisar?”

Aku pribadi senang-senang saja. Sejak meninggalkan Indianapolis, aku menghabiskan banyak waktu dengan merenungi Ramalan Gelap yang kami terima di Gua Trophonius. Kami sudah bertemu Nero dan Commodus, sedangkan aku memiliki kecurigaan mencekam tentang identitas kaisar ketiga, yang belum kami jumpai. Pada saat ini, aku tidak menginginkan konfirmasi. Euforia gara-gara racun strix mulai memudar. Aku akan dimakan hidup-hidup oleh burung hantu mahabesar pengisap darah. Aku tidak butuh alasan tambahan untuk menangis putus asa.

Strix menukik ke arah Meg. Gadis itu mengelak ke samping, memukulkan mata pedangnya ke bulu ekor selagi burung itu lewat, alhasil mengempaskan sang unggas malang ke dinding seberang. Burung itu menabrak bata, meledak menjadi kepulan debu monster dan helai-helai bulu.

“Meg!” kataku. “Sudah kubilang jangan dibunuh! Nanti kau kena kutuk!”

“Aku tidak membunuhnya. Dia bunuh diri dengan menabrak dinding.”

“Menurutku Moirae tidak akan berpendapat seperti itu.”

“Kalau begitu, jangan beri tahu mereka.”

“Teman-Teman?” Grover menunjuk tanaman tomat, yang jejalinnya kian menipis dengan cepat gara-gara serbuan cakar dan paruh. “Jika kita tidak boleh membunuh strix, mungkin sebaiknya kita memperkuat barikade?”

Lihat selengkapnya