The Trials of Apollo #4 - The Tyrant`s Tomb

Noura Publishing
Chapter #2

2 Aku suka mobil

Tidak boleh begitu, Sob

Masa almarhum hendak kau makan?

Dia sobatku, Sob

Aku suka mobil terbang. Namun, aku lebih suka jika mobil tersebut memang bisa terbang.

Sementara mobil jenazah mencapai gravitasi nol, aku me­miliki waktu beberapa mikrodetik untuk mengapresiasi peman­dangan di bawah—danau kecil permai yang pinggirnya ditanami pohon-pohon eukaliptus dan dilengkapi jalan setapak, sedangkan di bantaran seberang, sekelompok orang sedang berpiknik sambil beralaskan tikar.

Oh, bagus, bagian kecil dari otakku berpikir. Mungkin seti­daknya kami akan mendarat di air.

Kemudian, kami terjun bebas—bukan ke arah danau, me­lainkan ke pohon-pohon.

Suara seperti C tinggi Luciano Pavarotti di Don Giovanni keluar dari tenggorokanku. Tanganku menempel sendiri ke setir.

Sementara kami terperosok ke pohon-pohon eukaliptus, dedemit menghilang dari atap mobil jenazah—kesannya nyaris seperti ditepiskan oleh dahan-dahan pohon. Dahan-dahan lain seakan melengkung di seputar mobil jenazah, memperlambat kecepatan jatuh kami, melentingkan kami dari satu cabang ber­aroma permen batuk ke cabang berikutnya, sampai keempat roda mobil kami terempas kuat-kuat ke tanah. Terlambat mem­berikan manfaat, mengembanglah kantong-kantong udara, al­hasil mendorong kepalaku ke sandaran kursi.

Ameba kuning berkunang-kunang di mataku. Cita rasa darah menyengat tenggorokanku. Aku mencakar-cakar gagang pintu, menggeliang-geliut untuk melepaskan diri dari jepitan kantong udara dan kursi, dan terguling ke hamparan rumput sejuk lembut.

“Huwek,” kataku.

Aku mendengar Meg muntah-muntah di dekat sana. Pa­ling tidak, dia masih hidup. Kira-kira tiga meter di kiriku, air berkecipak ke pinggir danau. Tepat di atasku, di dekat puncak po­hon eukaliptus tertinggi, teman kami si dedemit biru kehitaman sedang menggeram dan meronta-ronta dalam kurungan dahan-dahan.

Aku berjuang untuk duduk tegak. Hidungku berdenyut-denyut. Sinusku serasa disumbat oleh obat gosok mentol. “Meg?”

Dia mengitari bagian depan mobil jenazah sambil sempo­yongan. Memar berbentuk cincin tampak di seputar matanya—tak diragukan lagi merupakan pemberian kantong udara di kur­si penumpang. Kacamatanya utuh, tetapi miring. “Kau payah membanting setir.”

“Demi dewa-dewi!” protesku. “Kau memerintahkanku—” Otakku macet. “Tunggu. Bagaimana mungkin kita masih hidup? Apakah kau yang membengkokkan cabang-cabang pohon?”

“Ya iyalah.” Meg melambaikan tangan dan membesarlah sica kembarnya yang keemasan. Meg menggunakan kedua pedang lengkung tersebut seperti tongkat ski untuk menyeimbangkan diri. “Dahan-dahan tidak akan lama menahan monster. Siap-siap.”

“Apa?” pekikku. “Tunggu. Tidak. Belum siap!”

Aku bertopang ke pintu sopir supaya bisa berdiri.

Di seberang danau, para penggembira yang sedang piknik bangun dari tikar. Kuduga mobil jenazah yang jatuh dari la­ngit menarik perhatian mereka. Penglihatanku kabur, tetapi ada yang ganjil pada kelompok tersebut .... Apakah salah seorang dari mereka mengenakan baju tempur? Apa ada juga yang ber­kaki kambing?

Kalaupun mereka bersahabat, mereka terlalu jauh sehingga takkan bisa membantu.

Aku terpincang-pincang ke mobil jenazah dan membuka pintu belakang. Peti mati Jason tampak aman dan baik-baik saja. Aku menyambar busur dan wadah panahku. Ukuleleku hilang di bawah kantong-kantong udara yang mengembang. Aku harus maju tanpa ukuleleku.

Di atas, makhluk itu meraung-raung, menggila dalam ku­rungan dahan.

Meg terhuyung-huyung. Bulir-bulir keringat menempel di dahinya. Kemudian, si dedemit terbebas dan menukik ke bawah, mendarat hanya beberapa meter dari kami. Kuharap makhluk itu patah tungkai karena momentum pendaratan, te­tapi sialnya tidak. Dia maju beberapa langkah, tiap pijakan kakinya menghasilkan kawah becek di rumput, kemudian dia menegakkan diri dan menggeram, gigi-giginya yang tajam me­nyerupai pagar terbalik saking rapinya.

“BUNUH DAN MAKAN!” jeritnya.

Merdu benar suaranya. Si dedemit niscaya cocok menjadi vokalis grup death metal Norwegia mana saja.

“Tunggu!” Suaraku melengking. “Aku—aku mengenalmu.” Aku menggoyang-goyangkan jari, seolah dengan begitu bisa mengaduk-aduk pikiranku sampai jernih. Dalam genggaman tanganku yang sebelah lagi, busur bergetar. Panah-panah berke­lotakan di dalam wadah. “T-tunggu. Sebentar lagi aku pasti ingat!”

Si dedemit ragu-ragu. Aku sedari dulu meyakini bahwa makh­luk-makhluk paling bernalar menginginkan pengakuan. Tidak peduli apakah kita ini dewa, manusia, atau dedemit mengiler yang mengenakan cawat dari bulu-bulu nasar, kita senang apabila yang lain mengetahui siapa kita, mengucapkan nama kita, mengapresiasi bahwa kita ada.

Tentu saja, aku cuma berusaha mengulur-ulur waktu. Kuha­rap Meg sempat memulihkan napas, menyerang makhluk itu, dan mengiris-irisnya menjadi dedemit cincang bacin. Namun, saat ini sepertinya Meg tidak mampu menggunakan pedang se­lain sebagai tongkat. Memang, mengontrol pohon-pohon raksasa bisa jadi melelahkan, tetapi serius, ya, tidak bisakah Meg membunuh Popok Nasar dulu, baru kemudian kehabisan tenaga?

Tunggu. Popok Nasar .... Kupandangi lagi dedemit itu: kulit anehnya yang bebercak-bercak biru kehitaman, matanya yang buram seperti susu, mulutnya yang terlalu besar, dan lubang hi­dungnya yang hanya berupa dua celah mungil. Baunya seperti daging busuk. Dia mengenakan bulu-bulu burung pemakan bangkai ....

“Aku tahu kau,” aku tersadar. “Kau eurynomos.”

Kutantang kalian untuk coba-coba mengatakan kau eury­nomos ketika lidah kalian sedang kelu, tubuh kalian gemetaran karena ngeri, dan wajah kalian baru ditonjok oleh kantong udara mobil jenazah.

Bibir si dedemit berkerut. Selarik liur keperakan menetes dari dagunya. “YA! MAKANAN MENYEBUT NAMAKU!”

Lihat selengkapnya