The Trials of Apollo #4 - The Tyrant`s Tomb

Noura Publishing
Chapter #3

3 Butuh berapa roh

Aku tidak bisa mengunyah permen karet

Sambil sekalian lari menggotong peti mati

Mau bagaimana lagi?

Butuh berapa roh alam untuk menggotong peti mati?

Jawabannya tidak diketahui, sebab semua dryad dan fau­nus kabur ke dalam pohon begitu mereka menyadari bahwa mereka bakal diminta bekerja. Faunus terakhir niscaya bakal meninggalkan kami juga, tetapi Lavinia keburu menyambar pergelangan tangannya.

“Oh, tidak boleh, Don.”

Di balik kacamata hitamnya yang berlensa sewarna pelangi, Don sang faunus tampak panik. Janggut kambingnya berke­dut-kedut—kejang muka yang membuatku merindukan Grover, sang satir.

(Kalau-kalau kalian penasaran, faunus dan satir pada dasar­nya sama saja. Faunus semata-mata merupakan versi Romawi dan mereka kurang piawai dalam ... yah, sebenarnya, mereka tidak punya kepiawaian apa pun.)

“Hei, aku ingin membantu,” kata Don. “Hanya saja, aku ingat ada janji—”

“Faunus tidak membuat janji,” kata Lavinia.

“Mobilku kuparkir memepet mobil lain—”

“Kau tidak punya mobil.”

“Aku harus memberi makan anjingku—”

“Don!” bentak Lavinia. “Kau berutang budi kepadaku.”

“Oke, oke.” Don menarik pergelangan tangannya sehingga ter­bebas dari cengkeraman Lavinia dan menggosok-gosoknya, air muka sang faunus tampak tersinggung. “Dengar, cuma ka­rena kubilang Ek Beracun mungkin menghadiri piknik, bukan berarti aku janji dia pasti datang, tahu.”

Wajah Lavinia menjadi semerah terakota. “Bukan itu mak­sudku! Aku sudah ribuan kali membantumu sewaktu kau ter­jepit. Sekarang giliranmu menolongku mengatasi ini.”

Gadis itu melambai samar ke arahku, mobil jenazah, dunia secara umum. Aku bertanya-tanya apakah Lavinia masih baru di Perkemahan Jupiter. Dia tampak jengah dalam balutan baju tempur legiunarinya. Dia berkali-kali mengedikkan bahu, me­nekuk lutut, menarik-narik bandul Bintang Daud perak yang terkalung di leher panjang rampingnya. Mata cokelat lembut dan rambut merah muda semakin mempertegas kesan pertamaku akan dirinya—bayi jerapah yang tertatih-tatih menjauhi induk­nya untuk kali pertama dan sekarang mencermati sabana sambil berpikir Kenapa aku di sini?

Meg terhuyung-huyung ke sampingku. Dia menyambar wa­dah panahku demi menjaga keseimbangan, mencekikku dengan tali pengikat wadah dalam prosesnya. “Siapa itu Ek Berduri?”

“Meg,” tegurku, “bukan urusanmu. Tapi, kalau harus mene­bak, menurutku dia adalah peri hutan, sedangkan si Lavinia ini tertarik kepadanya, sama seperti kau yang tertarik kepada Joshua di Palm Springs.”

Meg membentak, “Aku tidak tertarik—”

Lavinia menimpali, “Aku tidak tertarik—”

Kedua gadis itu terdiam, saling pandang sambil cemberut.

“Lagi pula,” kata Meg, “bukankah Ek Beracun ... beracun?”

Lavinia menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit seperti hendak menyampaikan Jangan pertanyaan itu lagi. “Ek Beracun luar biasa memesona! Aku bukannya mengatakan bah­wa aku mau jadian dengannya—”

Don mendengus. “Terserah, Sob.”

Lavinia memelototi si faunus. “Aku rela mempertimbangkan kemungkinan itu—kalau kami cocok atau apalah. Karena itulah aku bersedia meninggalkan patroli diam-diam untuk meng­ha­diri piknik ini, yang kata Don pasti akan—”

“Hei, tunggu dulu!” Don tertawa gugup. “Bukankah kita harus mengantar orang-orang ini ke perkemahan? Mobil jena­zah itu bagaimana? Masih bisa dikemudikan, tidak?”

Kucabut kembali kata-kataku mengenai faunus yang tidak piawai apa-apa. Don ternyata lumayan lihai dalam mengubah topik pembicaraan.

Berdasarkan pengamatan lebih saksama, bisa kulihat bahwa mobil jenazah rusak parah. Selain peok dan lecet di mana-mana karena menghantam eukaliptus, bagian depan mobil penyok be­rat karena menabrak pagar pembatas jalan. Tampilannya kini mirip akordeon Flaco Jiménez setelah aku memukuli alat musik tersebut dengan pentungan. (Maaf, Flaco, tetapi permainanmu bagus sekali sampai-sampai aku cemburu, maka akordeon itu harus mati.)

“Kita bisa menggotong peti mati,” Lavinia menyarankan. “Kita berempat.”

Pekik marah lagi-lagi membelah udara petang. Kali ini ke­de­ngarannya lebih dekat—kira-kira di utara jalan bebas hambatan.

“Kita tidak akan bisa,” kataku, “apalagi kalau harus me­nanjak ke Terowongan Caldecott.”

“Ada jalan lain,” kata Lavinia. “Pintu rahasia ke perkemahan. Jauh lebih dekat.”

“Aku suka yang dekat,” kata Meg.

“Masalahnya,” kata Lavinia, “saat ini aku seharusnya bertugas jaga. Giliranku sebentar lagi usai. Aku tidak yakin berapa lama rekanku bisa menutup-nutupi ketidakhadiranku. Jadi, setibanya kita di perkemahan, biar aku yang bicara mengenai di mana dan bagaimana ceritanya sampai kita bertemu.”

Don bergidik. “Kalau sampai ada yang tahu bahwa Lavinia lagi-lagi membolos tugas jaga—”

“Lagi-lagi?” tanyaku.

“Tutup mulut, Don,” kata Lavinia.

Di satu sisi, kesusahan Lavinia terkesan remeh jika diban­dingkan dengan, misalkan saja, mati dan dimakan oleh dedemit. Di sisi lain, aku tahu bahwa hukuman legiunari Romawi ada­kalanya kejam. Sanksi sering kali melibatkan cambuk, rantai, dan hewan rabies hidup, sama seperti konser Ozzy Osbourne pada masa 1980.

“Kau pasti suka sekali kepada si Ek Beracun,” aku menyim­pulkan.

Lavinia mendengus. Dia memungut panah manubalistanya dan menggoyang-goyangkan misil itu dengan lagak mengancam. “Kau bantu aku, aku bantu kau. Kesepakatannya begitu.”

Lihat selengkapnya