The Trials of Apollo 5 The Tower of Nero

Noura Publishing
Chapter #2

2 Si pembawa pedang

Makan malam dengan pastri?

Jagoanmu Lester tak sudi.

Mau pipis dulu. Permisi.

Si pembawa pedang kelihatan girang. “Penggal kepala?”

Namanya, Gunther, tercetak di tanda pengenal—satu-satunya atribut yang dia kenakan untuk “menyamar”—yang ter­semat di baju tempur.

“Jangan dulu.” Luguselwa terus menatap kami. “Seperti yang bisa kalian lihat, Gunther gemar memenggal orang, jadi bersikaplah yang baik. Ayo, menurut saja—”

“Lu,” kata Meg. “Kenapa?”

Perkara mengekspresikan perasaan terluka, suara Meg bagai­kan alat musik yang menyayat hati. Aku pernah mendengarnya meratapi kematian teman-teman kami. Aku pernah mendengarnya memaparkan pembunuhan ayahnya. Aku pernah mendengarnya murka kepada ayah angkatnya, Nero, yang membunuh ayah kan­dungnya dan bertahun-tahun menganiayanya secara emosional sehingga menyesatkan pikirannya.

Namun, ketika berbicara kepada Luguselwa, suara Meg ber­beda. Kedengarannya seolah sahabatnya baru saja memotong-motong boneka kesayangannya tanpa sebab dan tanpa per­ingatan. Meg terkesan terluka, bingung, tak percaya—seolah, dalam hidup sarat ketertindasan, ini penindasan yang tak dia sangka-sangka.

Otot rahang Lu menegang. Urat menonjol di pelipisnya. Aku tidak tahu apakah dia marah, merasa bersalah, atau sedang menunjukkan sisi sensitifnya kepada kami.

“Ingatkah kau apa yang kuajarkan kepadamu tentang tang­gung jawab, Cikal?”

Meg menahan isak tangis.

“Apa kau ingat?” kata Lu, suaranya kian galak.

“Ya,” bisik Meg.

“Kalau begitu, ambil barang-barangmu dan ayo ikut.” Lu menepis pedang Gunther dari leher Meg.

Lelaki besar itu mendenguskan “Huh,” yang kuperkirakan dalam bahasa Germanik berarti Aku tak pernah boleh bersenang-senang.

Dengan mimik tercengang, Meg bangkit dan membuka loker di atas. Aku tidak mengerti, bisa-bisanya Meg menuruti perintah Luguselwa sepasif itu. Kami pernah bertarung dalam situasi yang malah lebih terjepit daripada sekarang. Siapa orang Galia ini?

“Begitu saja?” bisikku saat Meg mengoperkan tas pung­gungku. “Kita menyerah?”

“Lester,” gumam Meg, “turuti saja kata-kataku.”

Kusandang tas, busur, dan wadah panahku. Meg mengen­cangkan sabuk berkebunnya ke pinggang. Lu dan Gunther tidak tampak waswas sekalipun aku kini bersenjatakan panah dan Meg membawa segudang warisan berupa biji tumbuhan. Se­mentara kami berkemas-kemas, para penumpang fana menatap kami dengan kesal, tetapi tak seorang pun ber-“ssst, ssst” untuk menyuruh kami diam, barangkali karena mereka tidak ingin membuat marah kedua kondektur yang mengawal kami ke luar.

“Ke sini.” Lu menunjuk pintu di belakangnya dengan busur silang. “Yang lain sudah menunggu.”

Yang lain?

Aku tidak ingin bertemu orang Galia ataupun Gunther lainnya, tetapi Meg dengan patuh mengikuti Lu ke pintu ganda berkaca Plexiglas. Aku menyusul, dibuntuti Gunther yang mungkin sedang membayangkan alangkah mudahnya memi­sahkan kepalaku dari tubuhku.

Terdapat ruangan yang menghubungkan gerbong kami dengan gerbong berikutnya: lorong bising yang berguncang ke sana kemari, dilengkapi pintu ganda otomatis di ujung-ujungnya, kamar kecil seukuran lemari di pojok, dan pintu eksterior di kanan kiri. Aku mempertimbangkan untuk melemparkan diri melalui salah satu pintu keluar dan berserah diri kepada nasib, tetapi aku khawatir “nasib” semata-mata akan menitahkanku untuk mati begitu membentur tanah. Di luar gelap gulita. Ber­dasarkan gemuruh panel baja di bawah kakiku, kutebak kereta sedang melaju dengan kecepatan lebih dari 150 kilometer per jam.

Di balik pintu Plexiglas di seberang, tampaklah gerbong restorasi: konter makanan konsinyasi nan suram, sederet bilik, dan setengah lusin lelaki besar yang sedang mondar-mandir—lagi-lagi Germani. Tidak akan ada kejadian bagus di dalam situ. Andaikan Meg dan aku ingin melarikan diri, inilah saatnya.

Sebelum aku sempat bertindak nekat, Luguselwa berhenti tiba-tiba di depan pintu ke gerbong restorasi.

“Gunther,” bentaknya, “cek kamar mandi kalau-kalau ada penyusup!”

Perintah ini membingungkanku, pun membingungkan Gunther, entah karena dia berpendapat percuma saja atau karena dia tidak tahu penyusup itu apa.

Aku bertanya-tanya apa sebabnya Luguselwa bersikap para­noid sekali. Apa dia cemas kalau-kalau kami ditemani selegiun demigod, yang bersembunyi di kamar kecil dan sedang menunggu untuk meloncat keluar demi menyelamatkan kami? Atau barangkali, sama sepertiku, Luguselwa pernah mengejutkan seorang Cyclops yang nangkring di singgasana porselen dan karena itu tidak lagi percaya kepada keamanan toilet umum.

Setelah beradu pelotot barang sejenak, Gunther mendengus, “Huh,” dan melakukan yang diperintahkan.

Begitu si orang Germanus menyembulkan kepala ke dalam kamar kecil, Lu menatap kami lekat-lekat. “Saat kereta masuk terowongan ke New York,” katanya, “kalian berdua akan minta izin ke toilet.”

Aku pernah mendapat banyak perintah konyol, terutama dari Meg, tetapi ini keterlaluan.

“Sebenarnya, aku sekarang harus ke belakang,” kataku.

“Tahan dulu,” kata Luguselwa.

Kulirik Meg untuk mencari tahu apakah instruksi barusan masuk akal baginya, tetapi dia sedang sibuk menatap lantai de­ngan murung.

Gunther selesai melakukan patroli kakus. “Tidak ada siapa-siapa.”

Lelaki malang. Kalaupun harus mengecek toilet kereta api karena siapa tahu ada penyusup, kita tentu ingin menjumpai segelintir penyusup betulan supaya bisa kita bunuh.

“Baiklah, kalau begitu,” kata Lu. “Ayo.”

Dia menggiring kami ke dalam gerbong restorasi. Enam orang Germanus menoleh dan menatap kami, kepalan mereka yang gempal mencengkeram danish dan cangkir kopi. Dasar orang barbar! Siapa lagi yang mau-maunya menyantap pastri untuk sarapan malam-malam begini? Para prajurit mengenakan baju tempur berbahan emas dan kulit, sama seperti Gunther, yang dengan cerdiknya disembunyikan di balik tanda pengenal Amtrak. Salah seorang lelaki, AEDELBEORT (nama Germanik paling populer untuk bayi laki-laki pada tahun 162 SM), meng­hardik Lu dengan bahasa yang tidak kukenali. Lu menjawab pertanyaan lelaki itu dengan bahasa yang sama. Tanggapan Lu sepertinya memuaskan para prajurit, yang lantas kembali me­nik­mati kopi dan danish masing-masing. Gunther bergabung dengan mereka, mengeluhkan alangkah sulitnya menemukan musuh bagus untuk dipenggal.

Lihat selengkapnya