The Trials of Apollo 5 The Tower of Nero

Noura Publishing
Chapter #3

3 "Aku bingung," kataku

Panah bijak bestari,

Carikan aku tempat sembunyi.

Bukan di situ. BUKAN!

“Aku bingung,” kataku saat kami tertatih-tatih di tero­wongan gelap. “Apa kami masih tahanan?”

Lu melirikku, kemudian melirik Meg. “Bebal untuk ukuran dewa, ya?”

“Coba kau tahu sebebal apa,” gerutu Meg.

“Kau bekerja untuk Nero atau tidak?” aku menuntut penje­lasan. “Dan, bagaimana persisnya ...?”

Aku menggoyangkan jari dari Lu ke Meg, tanpa suara menanyakan, Kok kalian saling kenal? Atau mungkin, Apa kalian berkerabat? Soalnya kalian sama-sama menyebalkan.

Kemudian, aku menangkap kilatan cincin emas mereka yang sama, dikenakan di kedua jari tengah masing-masing. Aku ter­ingat seperti apa Lu dan Meg bertarung, keempat bilah pe­dang mereka menyabet dan menikam secara serempak. Tiba-tiba saja, aku serasa ditampar ketika menyadari apa sebabnya mereka bisa begitu kom­pak.

“Kau melatih Meg,” aku menyadari. “Sebagai dimachaerus.”

“Dan, keterampilannya masih dia asah supaya tajam.” Lu menyikut Meg penuh kasih sayang. “Aku senang, Cikal.”

Aku tidak pernah melihat Meg sebangga itu karena apa pun.

Meg menjegal sekaligus memeluk pelatih lamanya. “Aku tahu kau tidak jahat.”

“Hmm.” Lu sepertinya tidak tahu bagaimana mesti menang­gapi pelukan si gadis cilik. Ditepuk-tepuknya pundak Meg. “Aku tidak bisa dibilang baik, Cikal. Tapi, aku tidak akan membiarkan Nero menyiksamu lagi. Ayo jalan terus.”

Menyiksa. Ya, itu katanya.

Aku bertanya-tanya bagaimana bisa Meg memercayai pe­rempuan ini. Dia telah membunuh si amphisbaena tanpa ber­kedip. Aku tidak menyangsikan bahwa dia juga bisa mem­bunuhku jika dia rasa perlu.

Yang lebih gawat lagi: dia orang upahan Nero. Terlepas dari apakah Lu menyelamatkan kami dari penangkapan atau tidak, dia adalah pelatih Meg. Dengan kata lain, dia pasti berdiri diam bertahun-tahun sementara Nero menyiksa kawanku yang belia secara emosional dan mental. Lu adalah bagian dari masalah—bagian dari indoktrinasi Meg di dalam keluarga kekaisaran yang tidak beres. Aku cemas kalau-kalau Meg terpeleset kembali ke kebiasaan lama. Mungkin Nero bersiasat untuk memanipulasinya secara tidak langsung melalui mantan guru yang dia kagumi.

Di sisi lain, aku tidak tahu bagaimana caranya menyinggung topik ini. Kami tengah mengarungi terowongan pemeliharaan kereta bawah tanah, sedangkan Lu adalah pemandu kami satu-satunya. Dia membawa lebih banyak senjata daripada yang kupunya. Selain itu, Meg adalah majikanku. Dia memberitahuku bahwa kami akan mengikuti Lu, maka itulah yang kami lakukan.

Kami melanjutkan berderap. Meg dan Lu berjalan berdam­pingan, aku tertinggal di belakang. Ingin aku menyampaikan ke­pada kalian bahwa aku “berjaga di belakang” atau mengerjakan tugas penting lain, tetapi kuduga Meg semata-mata lupa kepadaku.

Di atas, lampu-lampu yang terlindung di dalam kurungan baja memancarkan bayangan bak jeruji penjara ke tembok bata. Lumpur dan lendir menyelimuti lantai, memancarkan bau mirip berpeti-peti “anggur” yang Dionysus simpan di ruang bawah tanahnya, padahal cairan itu sudah lama berubah menjadi cuka. Paling tidak, sepatu olahraga Meg tidak akan lagi berbau seperti tahi kuda. Sepatunya kini akan berlumur limbah beracun baru yang lain.

Setelah terseok-seok sejauh sejuta mil, aku memberanikan diri bertanya, “Nona Lu, kita hendak ke mana?” Aku terperanjat karena suaraku ternyata keras, bergema di kegelapan.

“Menjauhi area pencarian,” katanya, seolah itu sudah jelas. “Nero bisa mengakses sebagian besar kamera CCTV di Manhattan. Jangan sampai kita masuk radarnya.”

Janggal rasanya, mendengar seorang prajurit Galia mem­bicarakan radar dan kamera.

Aku kembali bertanya-tanya bagaimana ceritanya sampai Lu mengabdi kepada Nero.

Sekalipun aku benci mengakuinya, para kaisar anggota Triumvirat sejatinya adalah dewa minor. Mereka pilih-pilih dalam menentukan pengikut mana yang mereka perbolehkan meng­abdi selama-lamanya kepada mereka. Kaum Germani sudah menjadi pilihan yang wajar. Meskipun mereka mungkin bebal dan kejam, para pengawal kekaisaran tersebut amat loyal. Na­mun, kenapa orang Galia? Luguselwa pastilah Nero anggap bernilai bukan hanya karena keterampilannya berpedang. Aku tidak percaya prajurit seperti itu sanggup mengkhianati majikannya setelah dua milenium.

Kecurigaan pasti memancar dari tubuhku layaknya panas dari oven. Lu melirik ke belakang dan memperhatikan keningku yang berkerut. “Apollo, kalau aku ingin kau mati, kau pasti su­dah mati.”

Betul, pikirku, tapi Lu bisa saja menambahkan, Kalau aku ingin mengelabuimu supaya kau mau mengikutiku, untuk nanti kuantarkan hidup-hidup kepada Nero, yang kulakukan akan persis seperti sekarang.

Lu mempercepat langkahnya. Meg memandangiku sambil cemberut, seolah mengatakan, Berbaik-baiklah kepada temanku si orang Galia, kemudian bergegas menyusul.

Aku lupa waktu. Adrenalin yang sempat mengalir deras sewaktu aku di kereta kini telah surut, meninggalkanku dalam keadaan letih dan linu. Betul, aku masih dalam pelarian demi menyelamatkan nyawa, tetapi enam bulan terakhir ini sebagian besar kulalui dalam pelarian demi menyelamatkan nyawa. Aku tidak mampu mempertahankan kepanikan terus-menerus se­cara produktif. Lendir terowongan merembes ke kaus kakiku. Sepatuku bak kuali tanah liat benyek.

Beberapa lama aku terkesan karena Lu sepertinya sangat mengenal terowongan ini. Dia maju terus, memandu kami dari belokan satu ke belokan lain. Kemudian, ketika dia agak terlalu lama ragu-ragu di persimpangan, aku menyadari yang sebenarnya.

“Kau tidak tahu kita hendak ke mana,” ujarku.

Dia merengut. “Sudah kukatakan. Menjauhi—”

“Area pencarian. Kamera. Ya. Tapi, kita hendak ke mana?”

“Ke mana saja. Pokoknya aman.”

Lihat selengkapnya