Anak perempuan entah dari mana
Menggenapkan aibku
Dasar pisang celaka
Aku tidak pernah dihajar setelak ini sejak adu gitar melawan Chuck Berry pada 1957.
Sementara Cade dan Mikey menendangiku, aku bergelung membentuk bola dalam rangka melindungi tulang iga dan kepalaku. Rasa sakitnya tak tertahankan. Aku muntah-muntah dan bergidik. Aku hilang kesadaran dan siuman silih berganti, penglihatanku bebercak-bercak merah. Ketika para penyerang bosan menendangiku, mereka memukuli kepalaku dengan kantong sampah, yang kemudian robek dan menumpahkan ampas kopi serta kulit buah jamuran ke sekujur tubuhku.
Akhirnya mereka beranjak sambil tersengal-sengal. Tangan-tangan kasar menggerayangiku dan mengambil dompetku.
“Lihat ini,” kata Cade. “Uang dan kartu identitas milik ... Lester Papadopoulos.”
Mikey tertawa. “Lester? Itu malah lebih jelek daripada Apollo.”
Aku menyentuh hidungku, yang kurang lebih berukuran dan bertekstur seperti kasur air. Jemariku terkena cairan merah berkilat-kilat.
“Darah,” gumamku. “Tidak mungkin.”
“Sangat mungkin, Lester.” Cade berjongkok di sampingku. “Tidak lama berselang, kau mungkin saja bakal berdarah-darah lagi. Kau ingin menjelaskan apa sebabnya kau tidak punya kartu kredit? Atau telepon? Mengecewakan amat kalau aku berepot-repot menginjak-injak hanya demi seratus dolar.”
Aku menatap darah di ujung jemariku. Aku ini dewa. Aku tidak punya darah. Bahkan ketika aku dijadikan manusia fana sebelum ini, ichor keemasan masih mengalir dalam pembuluh darahku. Aku tidak pernah merasakan transformasi ... sesempurna ini. Pasti ada kekeliruan. Ini pasti tipuan. Pokoknya, pasti ada yang tidak beres.
Kucoba untuk duduk tegak.
Tanganku mengenai kulit pisang sehingga aku jatuh lagi. Para penyerangku tertawa terpingkal-pingkal.
“Aku suka sekali cowok ini!” kata Mikey.
“Iya, tapi kata bos dia banyak duit,” keluh Cade.
“Bos ...,” gumamku. “Bos?”
“Betul, Lester.” Cade menyentil bagian samping kepalaku. “Sana, ke gang itu, kata bos kami. Mangsa enteng. Katanya kami mesti mengasarimu, mengambil apa pun yang kau miliki. Tapi ini,” dia melambaikan uang kertas ke bawah hidungku, “ini bukan imbalan yang memuaskan untuk kerja seharian.”
Walaupun sedang terpepet, harapan merekah di hatiku. Jika preman-preman ini diutus ke sini supaya menemukanku, “bos” mereka pastilah dewa. Manusia mana pun tidak mungkin mengetahui aku bakal jatuh ke bumi di lokasi ini. Barangkali Cade dan Mikey juga bukan manusia. Barangkali mereka monster atau roh yang menyamar. Jika demikian, pantas saja mereka mudah sekali mengalahkanku.
“Siapa—siapa bos kalian?” Aku berjuang untuk berdiri, ampas kopi berhamburan dari pundakku. Kepalaku masih berkunang-kunang, seolah aku tengah terbang terlalu dekat ke uap Khaos primordial, tapi aku pantang merasa gamang. “Apa Zeus mengutus kalian? Atau mungkin Ares? Aku menuntut hak untuk audiensi!”
Mikey dan Cade saling pandang seakan hendak mengatakan, Apa-apaan cowok ini?
Cade memungut pisaunya. “Kau ini tidak bisa diperingatkan secara halus, ya, Lester?”
Mikey mencabut sabuknya—yang berupa rantai sepeda—dan membelitkan rantai itu ke kepalannya.
Kuputuskan menyanyi untuk menaklukkan mereka. Mereka mungkin mampu menangkis pukulanku, tapi tidak ada manusia fana yang kuasa melawan suara emasku. Aku sedang menimbang-nimbang antara “You Send Me” dengan komposisi orisinal atau, “Aku Dewa Puisimu, Sayang” ketika sebuah suara berteriak, “HEI!”
Kedua cecunguk itu menoleh. Di atas kami, di bordes tangga darurat di lantai dua, berdirilah seorang anak perempuan berumur sekitar dua belas tahun. “Jangan ganggu dia,” perintah anak itu.
Pemikiran pertama yang terbetik di benakku adalah Artemis datang untuk menolongku. Saudariku kerap menampilkan diri sebagai anak perempuan dua belas tahun untuk alasan yang tidak bisa kumengerti. Tapi, aku merasa gadis cilik ini bukanlah saudariku.
Anak perempuan di tangga darurat itu sejatinya tidak membangkitkan rasa takut. Dia kecil montok, berambut gelap yang dipangkas pendek asal-asalan sehingga membentuk mangkuk, dan mengenakan kacamata dengan bentuk mata kucing bergagang hitam yang dihiasi permata-permataan di bagian sudut. Meskipun suhu sedang dingin, dia tidak memakai mantel. Busananya seperti dipilihkan oleh anak TK—sepatu olahraga merah, celana ketat kuning, dan rok terusan hijau berlengan kutung. Barangkali dia hendak menghadiri pesta kostum sebagai lampu lalu lintas.
Kendati begitu ... ekspresinya garang. Wajahnya yang merengut galak menyerupai pacar lamaku, Kyrene, kapan pun dia hendak bergulat dengan singa.
Mikey dan Cade tidak tampak terkesan.
“Pergi sana, Bocah,” kata Mikey kepadanya.
Sang anak perempuan menjejak-jejakkan kakinya, alhasil menyebabkan tangga darurat bergoyang. “Gangku! Aturanku!” Suara sengaunya yang sok main perintah mengesankan seolah-olah dia sedang menegur teman sepermainan. “Barang apa pun milik pecundang itu adalah punyaku, termasuk uangnya!”
“Kenapa semua orang memanggilku pecundang?” tanyaku lemah. Komentar tersebut sepertinya tidak adil sekalipun aku babak belur dan berlumur sampah, tapi tak seorang pun menghiraukanku.
Cade memelototi si anak perempuan. Warna merah rambutnya seakan merembes ke wajahnya. “Kau pasti bercanda. Minggat sana, dasar bocah bau kencur!” Dia memungut sebutir apel busuk dan melemparkan buah itu.
Sang gadis cilik tidak berjengit. Apel mendarat di kakinya dan menggelinding hingga berhenti, sama sekali tak melukainya.
“Kau ingin main-main dengan makanan?” Sang anak perempuan mengusap hidungnya. “Baiklah.”