Dahulu dewa
Sekarang merana
Ah, payah
Selagi kami berjalan sambil tersaruk-saruk di Madison Avenue, aneka pertanyaan berkelebat dalam benakku: kenapa Zeus tidak memberiku mantel musim dingin? Kenapa Percy Jackson tinggal jauh sekali di utara? Kenapa para pejalan kaki memperhatikanku?
Aku bertanya-tanya apakah kecemerlanganku yang adikodrati mulai pulih. Barangkali warga New York terpesona akan keperkasaanku yang mencolok dan kerupawananku yang menyilaukan.
Meg McCaffrey meluruskanku.
“Kau bau,” katanya. “Kau seperti baru ditodong.”
“Aku memang baru ditodong. Juga diperbudak oleh anak kecil.”
“Bukan perbudakan.” Meg menggigit kutikula jempolnya dan kemudian meludahkan kulit tersebut. “Lebih tepatnya kerja sama.”
“Kerja sama dalam artian kau memberi perintah, sedangkan aku terpaksa menurut?”
“Iya.” Dia melangkah ke depan etalase sebuah toko. “Tuh, kan? Kau kelihatan menjijikkan.”
Pantulanku balas menatap, hanya saja itu bukan pantulanku. Tidak mungkin. Wajah di kaca sama persis dengan wajah di foto SIM Lester Papadopoulos.
Aku kelihatannya berumur enam belas tahunan. Rambutku yang berwarna gelap keriting memiliki panjang sedang—sama seperti gaya rambutku pada zaman Athena dan pada era 1970-an. Mataku biru. Wajahku lumayan enak dipandang meskipun culun, tapi dinodai oleh hidung bengkak sewarna terung, yang telah meneteskan kumis darah seram ke bibir atasku. Yang lebih parah, pipiku tercoreng-moreng oleh ruam nan mencurigakan yang mirip .... Jantungku seolah meloncat ke tenggorokan.
“Astaga!” pekikku. “Apakah itu—apakah itu jerawat?”
Dewa-dewi kekal tidak berjerawat. Itu merupakan salah satu hak kami yang tak bisa diganggu gugat. Namun demikian, aku tetap saja mencondongkan badan lebih dekat ke kaca dan melihat permukaan rusak sarat komedo putih dan bintil-bintil.
Aku mengepalkan tinju dan melolong ke langit yang kejam, “Zeus, apa salahku? Kenapa aku ditimpa musibah semacam ini?”
Meg menarik-narik lengan bajuku. “Nanti kau ditangkap.”
“Lantas kenapa? Aku telah diubah menjadi anak remaja, yang kulitnya bahkan tidak sempurna! Malahan, aku bertaruh aku tidak punya ....” Sambil merinding ngeri, kuangkat bajuku. Ulu hatiku memar-memar berbentuk kembang bekas jatuh ke tong sampah dan menerima tendangan. Tapi yang lebih parah, perutku menggelambir.
“Aduh. Tidak, tidak, tidak.” Aku terhuyung-huyung di trotoar, berharap semoga gelambir lemak tidak mengikutiku. “Di mana perut kencangku yang berotot? Perutku selalu kencang berotot. Perutku tidak pernah bisa dicubit. Tidak pernah, selama empat ribu tahun!”
Meg lagi-lagi tertawa sambil mendengus. “Ya ampun, sudahlah, Cengeng. Kau baik-baik saja.”
“Aku gendut!”
“Kau sedang-sedang saja. Orang yang sedang-sedang saja tidak berperut kencang berotot. Ayo.”
Aku ingin memprotes bahwa aku tidak sedang-sedang saja dan juga bukan orang. Namun aku menyadari, disertai keputusasaan yang kian membuncah, istilah tersebut kini teramat cocok untukku.
Di balik etalase toko, tampaklah wajah seorang penjaga keamanan yang merengut. Kubiarkan Meg menarikku pergi.
Dia terus berjingkrak-jingkrak, sesekali berhenti untuk memungut receh atau berputar mengelilingi tiang lampu. Anak itu sepertinya tidak gentar akan cuaca dingin, perjalanan berbahaya yang tengah menanti, dan jerawat yang kuderita.
“Kenapa kau tenang sekali?” sergahku. “Kau seorang demigod, sedang berjalan dengan seorang dewa, dalam perjalanan ke perkemahan untuk menemui kaummu. Tidakkah kau terkejut karena itu?”
“Eh.” Dia melipat selembar dua puluh dolar milikku hingga menjadi pesawat-pesawatan. “Aku sudah sering melihat yang aneh-aneh.”
Aku tergoda untuk menanyakan apa yang lebih aneh daripada peristiwa pagi ini. Aku lalu memutuskan lebih baik tidak tahu karena bisa-bisa aku makin stres. “Dari mana asalmu?”
“Sudah kubilang. Dari gang.”
“Bukan itu, tapi ... orangtuamu? Keluarga? Teman?”