Zea itu pasien yang baru pindah dari rumah sakit jiwa lain, dan keberadannya di sini sudah seminggu. Yang merawat Zea adalah seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun bernama Gavin Ghani.
Di hari ketujuhnya merawat Zea. Di setiap langkahnya Gavin berharap semoga pasiennya itu tidak berbuat ulah seperti di hari pertamanya, dan selama bekerja di rumah sakit jiwa ini, baru pertama kalinya Gavin bertemu dengan pasien yang benar-benar luar biasa seperti Zea.
Sebenarnya, mendengar cerita orang-orang mengenai penyebab Zea memiliki gangguan jiwa di usia terbilang muda, membuat Gavin prihatin atas kisah hidup yang perempuan itu alami. Zea ditinggal orang tua untuk selamanya karena dibunuh dengan cara tragis. Gavin mengerti bagaimana rasanya kehilangan dan depresinya dia saat ditinggalkan oleh orang-orang tersayang.
Gavin yang baru datang segera menemui pasiennya, tidak begitu susah mencari keberadaan Zea. Karena sebelum bertanya pada rekan kerjanya, Gavin sudah menemukan di mana keberadaan perempuan itu. Zea sedang berbaring di halaman rumah sakit jiwa bersama pasien yang lain. Segera laki-laki itu menghampiri Zea.
Zea memejamkan matanya sesekali terkekeh pelan karena dirinya juga seorang pasien yang berbaring di sebelahnya saling senggol-menyenggol dengan sikut. Dan seketika, Zea berhenti menyikut juga berhenti terkekeh. Sinar matahari pagi tidak lagi menyilaukan matanya membuat Zea mengerutkan keningnya, dan perlahan perempuan itu membuka kedua matanya. Menyesuaikan cahaya matahari yang tertangkap di matanya membuat pandangan matanya awalnya mengabur. Tapi setelah bisa menyesuaikan, indra penglihatannya langsung tertuju pada Gavin yang berdiri di dekat kepalanya.
"Om!" Zea menyapa seraya cengar-cengir. "Sini, Om! Kita tidur di sini! Om juga abis ditabrak sama helikoper, kan?"
Gavin tersenyum simpul. "Enggak kok, saya baik-baik aja," ucapnya sementara posisinya berubah menjadi bersimpuh. "Nona Zea sedang apa?"
Zea tidak langsung menjawab, karena perempuan dengan penampilan acak-acakan itu menghela napasnya sembari menatap langit cerah. "Menunggu keajaiban datang."
Gavin melihat, sorot mata Zea yang sebelumnya secerah matahari berubah meredup seperti awan mendung, terlihat ada kesedihan di sana. Dugaan Gavin pasti karena belum ada penolong yang datang untuk membantu mereka yang katanya menjadi korban tabrak helikopter.
"Memang nunggu keajaiban di sini, enggak kepanasan?"
Masih berbaring di atas rumput hijau, Zea menggelengkan kepalanya singkat. "Enggak dong, Om. Aku kan Kakak Peri."
Di akhir kata, perempuan itu tertawa kecil merasa bangga atas julukan dirinya di tempat ini. Kakak Peri adalah julukannya di rumah sakit ini, baik pasien maupun perawat tahu julukan itu, dan awalnya julukan Kakak Peri tercipta dicetuskan pertama kali oleh Nuni, salah satu pasien di rumah sakit jiwa ini.
Zea berhenti tertawa, fokusnya mengarah pada Gavin yang masih bersimpuh di atas kepalanya. Beberapa detik kemudian Zea bangun, posisinya terduduk dan menghadap Gavin.
"Om mau selamatin kita, ya?" Padahal Gavin belum menjawab, Namun. Zea sudah terlebih dahulu menarik tangan Gavin agar laki-laki itu ikut berdiri bersamanya. "Ayo, Om. Kita selamatin mereka."
Zea melangkah sementara tangannya masih memegang lengan Gavin, perempuan itu berdiri di hadapan teman-temannya yang masih berbaring. Zea mengamati teman-temannya yang berbaring, lantas tangannya tidak lagi menggenggam Gavin karena kini perempuan itu sibuk menghitung jumlah teman-temannya yang berbaring.
"Satu, dua, tiga, enam, delapan, sebelas, empat, tujuh, sepuluh." Selesai menghitung Zea manggut-manggut.
"Semuanya ada tiga puluh!" Perempuan itu memekik kegirangan sementara kedua tangannya saling bertepuk, lalu berselang beberapa detik teman-temannya juga ikut bertepuk tangan.
Mendengar suara tepuk tangan mulai mereda, Zea kembali bersuara. "Siapa yang mau di sini selamatin duluan?"
"Aku Kakak Peri!" pekik seorang pasien laki-laki dengan kedua tangan yang diangkat.
"Kamu diam di situ, aku mau cari mobil polisi dulu," ucap Zea.
Sudah tahu siapa yang harus ditolong, Zea mulai melangkah kedua kaki kurusnya, di setiap langkah mulutnya bersuara menirukan bunyi ambulans dengan versinya sendiri. "Nuni. Nuni. Nuni. Nuni!"
Nuni yang kebetulan ikut berbaring mendengar suara Zea menyebut namanya, dan perempuan itu langsung duduk dengan mata mengarah pada Zea.