"Dorr. Dorr. Dorr. Pesawat akan segera mendarat! Duarrr. Horeee! Pesawatnya rusak, hehehe." Zea berujar kegirangan, bertepuk tangan bangga karena hasil dari perbuatannya itu.
Mobil-mobilan berwarna hitam yang ia sebut sebagai pesawat telah rusak, beberapa bagiannya hancur. Zea sengaja melempar mainan itu hingga bertabrakan dengan dinding. Masih kegirangan, Zea sampai tidak menyadari jika teman bermainnya sekaligus pemilik mainan yang dirusak olehnya, memandang mobil-mobilan kesayangannya dengan sedih, hatinya hancur terpecah belah.
"AAAAA!" Sang pemilik mainan menjerit, sementara tangannya meraih mobil-mobilan kesayangannya yang rusak parah. Di saat temannya bersedih, Zea malah tertawa kegirangan. Benar-benar definisi teman biadab.
"Muka kamu nggak usah bahagia gitu, dong." Perkataan Zea membuat temannya menoleh dengan wajah sedih tapi dianggap wajah bahagia olehnya.
"Hancur rusak mainan aku. Kenapa!?" Teman Zea yang bernama Rudi terlihat semakin sedih, bahkan seperti ingin menangis.
Zea yang masih belum merasa bersalah menggelengkan kepala dengan tempo lambat. "Enggak apa-apa, kamu minta beliin yang baru aja."
"Sama siapa?"
Zea sengaja tidak langsung menjawab, sebab perempuan itu menoleh untuk mengamati sekelilingnya, yang perempuan itu lihat dengan mata bulatnya, ada beberapa pasien juga perawat di tempat ini, tentu saja si pasien sedang bermain sementara si perawat mengamati pasien masing-masing agar tidak kabur.
Zea masih mengamati sekeliling, dan sampai akhirnya fokusnya terarah pada dua perawat yang ia kenal. Gavin juga Evan, jaraknya tidak terlalu jauh. Jadi Zea bisa melihat dengan jelas kalau kedua perawat itu sedang mengobrol di bawah pohon, dan sesekali Evan memperhatikan pasiennya yang bermain petak umpet dengan pasien lain. Mengamati Evan beberapa saat membuat Zea tersenyum lebar.
"Sama Pak Dokter. Dokter itu uangnya banyak," ucapnya sementara tangannya menunjuk Evan. Rudi mengikuti ke mana arah tangan itu menunjuk. Kemudian Rudi berlari menghampiri dua perawat yang masih mengobrol di bawah pohon.
"Mainan aku rusak, beliin yang baru!" Rudi berujar menatap Evan, kemudian menarik ujung baju Evan sambil merengek.
Zea yang mengamati dari tempatnya tertawa kecil, karena tidak ada mainan juga tidak ingin terlibat di antara Rudi dan Evan. Perempuan itu memilih untuk melarikan diri. Gavin yang tahu Zea beranjak dari tempatnya mulai bergerak menyusul Zea, tidak memedulikan Evan yang meminta tolong padanya sebab semakin lama Rudi semakin kuat menarik bajunya.
***
Zea berjalan seorang diri dengan riangnya di koridor rumah sakit jiwa, di setiap langkahnya terasa ringan bahkan sesekali perempuan itu melompat. Melihat Zea yang melangkah dengan riang, Gavin jadi teringat saat pertama kali perempuan itu menginjakkan kaki di sini.
Waktu itu, Zea di antara oleh Pamannya, dan waktu itu pula Zea terlihat malu juga takut sampai-sampai bersembunyi di balik punggung sang Paman. Namun, saat Nuni mengajaknya bermain Zea tidak lagi takut seperti sebelumnya, bahkan sampai sekarang ia seperti tidak kenal takut, sampai-sampai hampir di setiap harinya Zea berbuat ulah.
Karena pasiennya sering membuat ulah, Gavin harus lebih ekstra mengawasinya, karena Zea sudah menjadi tanggung jawabnya, jadi ke mana pun perempuan itu pergi maka Gavin harus selalu berada di dekatnya.
Zea yang berjalan dengan riang mendadak menghentikan langkah kakinya, refleks Gavin melakukan hal yang sama meski dengan kening yang mengerut. Perempuan itu memutar tubuhnya sembari berkacak pinggang.
"Om, kenapa ngikutin aku terus sih?" Zea menyipitkan matanya menatap Gavin penuh curiga, detik berikutnya perempuan itu malah membuka mulutnya lebar-lebar kemudian berkata, "Om mau culik aku, ya?" tuduh Zea menampilkan ekspresi terkejut bercampur panik yang menghiasi wajah kusamnya itu.