Andai saja mencari pekerjaan itu mudah, semudah membalikkan telapak tangan atau mengedipkan mata. Sudah pasti Gavin akan langsung mengundurkan diri dari pekerjaannya yang menjadi salah satu perawat di rumah sakit jiwa.
Tapi mau bagaimana lagi? Dirinya bisa apa?
Keluarganya bukan dari kalangan berada, terlebih Ayahnya sudah meninggal sejak dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Jadi, selama Gavin masih sekolah maka Bunda lah yang menjadi tulang punggung keluarga, bukan hanya menghidupi Gavin saja melainkan bertanggung jawab penuh atas kedua adiknya yang juga masih bersekolah.
Selama bertahun-tahun setelah kepergian sang Ayah, Gavin harus menyaksikan bagaimana lelahnya sang Bunda saat tiba di rumah pada malam hari. Sebenarnya Gavin ingin sekali membantu, hanya saja Bunda selalu melarangnya, beralasan jika Gavin harus fokus pada pendidikannya sampai jenjang yang lebih tinggi.
Dan setelah lulus dari universitas. Gavin telah berjanji pada dirinya sendiri, mau bagaimana pun pekerjaan yang dia dapatkan nanti—kecuali pekerjaan haram. Gavin akan menerimanya karena dirinya harus meringankan beban sang Bunda terlebih dia adalah anak pertama.
Saat dirinya tahu pekerjaan apa yang didapatkan, Gavin merasa pekerjaan tersebut akan sulit. Ya. Amat sangat sulit, tapi karena tidak punya pilihan lagi. Mau tidak mau, Gavin menerimanya. Pekerjaan tersebut adalah pihak pertama yang menghubunginya setelah sekitar dua bulan lebih dirinya menunggu panggilan interview dari perusahaan-perusahaan yang ia ajukan surat lamaran pekerjaan.
Hal pertama juga paling utama yang harus Gavin siapkan adalah mental yang kuat dan kesabaran yang ekstra.
Awal mula, Gavin berpikir jika pekerjaan tersebut akan sulit tapi kenyataannya tidak begitu, pekerjaannya sebagai perawat di salah satu rumah sakit jiwa terkenal, terasa sangat menyenangkan. Gavin sangat menikmatinya karena pasien yang ia rawat tidak terlalu banyak tingkah dan penurut, jadi bisa dikatakan Gavin beruntung.
Namun, setelah kedatangan Zea. Gavin tidak lagi merasakan kesenangan atau kegembiraan saat bekerja. Belum dua minggu Zea dirawat olehnya, pasiennya yang bernama Zea sudah banyak membuat masalah, bahkan sudah tujuh kali Gavin mendapat teguran dari seniornya, mungkin jika Zea berbuat ulah lagi sudah pasti Gavin akan mendapatkan teguran untuk kedelapan kalinya.
Memang sih ketua perawat yang bernama Vegawati menyuruhnya untuk fokus merawat Zea saja, karena pihak keluarga Zea yang memintanya dan untuk pasien-pasien yang dia tangani sebelumnya bukan menjadi tanggung jawabnya lagi. Memang agak berlebihan tapi Gavin merasa merawat Zea sama seperti merawat seratus pasien.
Untungnya saat ini Zea tengah tertidur pulas di atas tempat tidurnya, sebelum perempuan itu tertidur lelap, Zea sempat membuat ulah yaitu berlari seraya menebarkan pasir di sepanjang koridor rumah sakit, pasir yang Zea dapatkan dari gedung dekat aula yang sedang dibuat bangunan baru. Dan Gavin sangat yakin jika Vega mengetahui perbuatan yang baru Zea lakukan, sudah dipastikan Gavin akan mendapat teguran yang kedelapan kalinya.
Pemuda itu menoleh sebentar mengamati Zea yang masih tertidur lelap tanpa terusik sedikit pun oleh suara nyaring yang ditimbulkan dari kamar sebelah, Gavin bisa menebak jika pasien di kamar sebelah sedang melakukan ritualnya yaitu menyanyi dengan asal sebelum mandi.
"Untung aja, dia sama sekali nggak terganggu." Gavin menghela napas lega, akhirnya dirinya bisa tenang meskipun cuma sebentar.
Sembari menunggu Zea bangun dari tidurnya, lelaki itu memutuskan untuk mendudukkan diri di atas lantai putih kemudian bersandar pada dinding dengan mata yang terpejam, merasakan lelahnya bekerja yang amat sangat.
Mendadak pikirannya jadi berkelana mengingat kembali kejadian kemarin ketika Zea berbuat ulah, perempuan itu memanjat dinding pagar rumah sakit jiwa yang beralasan dirinya ingin menjadi laba-laba.
Bukan hanya Vera saja yang rajin memberinya teguran, beberapa karyawan di rumah sakit jiwa ini juga. Alasannya apalagi jika bukan Zea yang kelewat sering berbuat ulah.
Masalah yang ditimbulkan oleh Zea adalah membuat koridor rumah sakit jiwa banjir, mengacak-acak tempat sampah, menuang sabun cair di atas kue bolu, menaburkan serbuk sabun pencuci baju di rambut beberapa karyawan rumah sakit jiwa, memecahkan lampu taman, dan masih banyak lagi.
Rasanya Gavin ingin marah pada Zea, tapi bukankah hal tersebut percuma saja? Yang ada nanti Zea malah ketakutan atau mungkin lebih parahnya mengamuk karena tidak terima.
"Gavin?"
Merasa namanya terpanggil, pemuda yang masih menyandarkan tubuhnya pada dinding menoleh ke arah pintu kamar Zea yang sengaja dibuka, di dekat ambang pintu ada rekan kerjanya yang berdiri dengan memegang dua minuman kaleng isotonik di tangannya.
"Kenapa, Bang?"
Gavin bertanya dan dibalas gelengan pelan serta cengiran lebar dari pemuda yang kini tengah berjalan menghampirinya. "Enggak apa-apa, gue cuma pingin nyamperin lo aja. Soalnya akhir-akhir ini lo kelihatan capek banget," ujarnya kemudian mendudukkan diri di samping Gavin.
"Iya, itu karena pasien gue terlalu aktif." Gavin menjawab diakhiri kekehan pelan.
Lelaki yang usianya dua tahun lebih tua dari Gavin memberikan satu minuman isotoniknya kepada Gavin, "Buat lo."
"Makasih, Bang." Gavin berkata, dan tidak lama kemudian ia membuka kaleng minuman tersebut untuk diminum karena kebetulan sekali Gavin memang tengah haus saat ini.
Keheningan sempat mereka rasakan. Namun, keheningan tersebut hanya sebentar karena pemuda yang masih duduk di samping Gavin bersuara. "Pasien lo, siapa namanya?" tanyanya setelah indra penglihatannya menatap lurus ke depan mengamati pasien Gavin yang tertidur nyenyak.