The Two Runaways

Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Chapter #1

Dilla: Slow Me Down

Jakarta, 2019


Kepalaku berdenyut-denyut. Pusat otakku terasa seperti balon yang bergerak kembang kempis—kian lama kian membesar, siap memburaikan sel-sel sarafku kapan saja.

Aku tersiksa, memohon pada diriku sendiri untuk mengambil kendali. Meskipun begitu, air mataku terus mengalir tanpa henti dan napasku masih memburu sejak tadi. 

Kukeringkan pipiku yang basah dengan beberapa helai tisu, kemudian segera kutegakkan posisi dudukku. Niatku ingin menenangkan diri, namun beberapa detik kemudian aku terisak lagi.

Adegan demi adegan yang menyesakkan kembali berputar di benakku, membuatku kembali tertunduk. Kata-kata pedas dari atasanku terngiang-ngiang di telinga—hatiku kembali sakit dibuatnya.

“Saya merasa kamu kurang cocok bekerja di sini, Fadilla. Kamu tidak mau coba ke tempat lain?”

Ruangan ini berbau sedikit pesing. Sampai kapan aku akan diam-diam mengunjungi tempat ini dan menangis diam-diam? Mengapa semua orang bisa beradaptasi tapi lain halnya denganku?

Gema derap sepatu dan pintu yang berderit membuatku terkesiap. Kamar mandi di sudut lantai 3 ini seharusnya sepi. Hanya ada dua bilik dan satu wastafel serta lampu putih yang menyedihkan. Itu sebabnya aku memilihnya sebagai tempat sembunyi.

Ada suara air mengalir selama beberapa detik, kemudian disusul dengan bunyi langkah dan pintu yang menutup. Setelah decit sepatunya perlahan menghilang, aku baru sadar bahwa sedari tadi aku telah menahan napas.

Mungkin salah satu pegawai perusahaan di lantai 3 ini yang mencuci tangan. Mungkin orang tersebut baru pulang makan siang atau sekadar merapikan riasan sebelum kembali bekerja.

Aku menurunkan pandangan, mencari jam pada pergelatangan tangan kiriku. Pukul 1 lewat 7 menit. Aku pun seharusnya sudah bergegas kembali ke kubikelku.

Mendadak, getaran halus menggelitik pinggang kiriku, membuatku setengah melonjak karena terkejut. Terburu-buru, kukeluarkan ponsel dari saku rok yang kukenakan. Sebuah foto profil seorang perempuan awal 40-an dengan rambut bob lurus muncul di layar. Panggilan dari Pristin Suryadi. Atasan di tempatku bekerja. Si pemilik suara menyebalkan yang kata-katanya terus terngiang sedari tadi.

Divisi kami baru saja mendapatkan teguran dari manajemen. Tidak langsung berhubungan denganku, tapi mood Pristin sedang sangat tak menyenangkan karenanya. Pristin pasti bermaksud menanyakan keberadaanku, kemudian memburuku untuk segera kembali ke kubikel. Denyut kepalaku terasa lebih menyiksa dari sebelumnya. Aku hanya membiarkan benda tersebut bergetar berkali-kali hingga akhirnya bergeming dengan sendirinya.

Perasaan malu memenuhi diriku. Orang dewasa macam apa yang tak bisa mengatur emosi? Orang dewasa mana yang memilih untuk dicap tidak profesional daripada menghadapi masalahnya di depan mata? Aku berdalih bahwa semua ini karena wajah sembap yang tak ingin kutunjukkan di depan Pristin dan kolega-kolegaku, tapi aku sendiri tahu bahwa itu bukanlah alasan utamaku.

Jari-jariku mengepal, teringat akan ketakutan terbesarku atas semua kegilaan ini.

Ah, Bunda. Kuharap dirimu tak akan pernah tahu betapa lemahnya aku. Kuharap Bunda tak tahu bahwa nilai-nilaiku semasa sekolah tak berarti apa-apa untukku. Bahwa IPK di atas rata-rata yang kumiliki tak cukup menyokong langkahku saat ini—pun berlembar-lembar sertifikat keahlian dan bukti partisipasi seminar yang kusimpan hati-hati.

Semua harapan dan perjuanganku di masa lalu seakan luluh-lantak. Aku merasa sia-sia karena telah belajar begitu tekun untuk mencantumkan berderet-deret kalimat di dalam riwayat hidup, hanya untuk berakhir di tempat ini.

Ponselku lagi-lagi memecah hening dengan getar samar. Sebuah pesan masuk. Jantungku berpacu lagi. Aku tak siap membaca apa pun yang dikirimkan oleh Pristin, namun notifikasi pada layar ponselku sudah menampilkan barisan awal kalimat yang menuntut perhatian. Kedua alisku bergerak naik. Aku tahu ini tak pantas, tapi keteganganku berkurang saat tahu bukan Pristin yang kembali menerorku kali ini.

------------------------------------------------------

Nurul :

Dil, bokap Rere meninggal...

------------------------------------------------------

* * *

Perasaan hatiku sudah begitu babak belur karena sindiran Pristin hari ini. Seharusnya aku tak perlu ikut melayat. Seharusnya aku menghindari ajakan bertemu Nurul seperti yang sudah-sudah.

Aku bahkan tak begitu dekat dengan Rere maupun Nurul. Kami hanyalah teman kuliah yang dahulu sering menghabiskan waktu makan siang bersama dan sering bekerja dalam satu kelompok tugas. Mereka bercerita banyak hal padaku, tapi diam-diam aku merasa kurang nyaman memberi tahu mereka masalah-masalah pribadiku.

Kendati begitu, aku berterima kasih karena keberadaan mereka sedikit banyak meramaikan kehidupan sosialku semasa kuliah. Itulah mengapa aku berusaha menjalin hubungan baik dengan keduanya sampai saat ini.

Itu pula yang menjadi alasan mengapa aku menyanggupi permintaan Nurul untuk menemaninya berkunjung ke rumah Rere. Aku memaksakan diri meski pikiranku sedang dipenuhi berbagai hal dan sekarang aku menyesal luar biasa.

Rupanya acara melayat malam ini berujung reuni kecil-kecilan. Aku dan Nurul bertemu dengan beberapa teman kuliahku yang lain di rumah Rere. Dari situ, seseorang mengajukan usul untuk minum kopi barang sejenak. Bisa ditebak, teman-temanku langsung bersemangat—termasuk Nurul yang tentu saja lagi-lagi mendaulatku untuk ikut serta.

Jadi di sinilah aku, menyunggingkan senyum palsu, duduk pada salah satu sofa empuk di sebuah gerai kopi waralaba di bilangan Rasuna Said. Interiornya ditata senyaman mungkin dengan sofa-sofa empuk bernuansa cream-coklat-hijau tua. Aroma kopinya begitu menggoda, tapi aku tak bisa merasa relaks karenanya. Satu-satunya yang kuinginkan saat ini adalah segera pulang. Aku hanya sedang menghitung waktu untuk itu, sembari mencoba untuk tidak menjadi pusat perhatian.

“Yang paling sukses traktir tanding futsal weekend ini!” celetuk salah seorang temanku, cowok mungil berwajah oriental dengan lanyard berlambang perusahaan IT multinasional yang masih dia gunakan bahkan setelah lewat jam kerja.

Beberapa di antara mereka mulai sibuk menujuk dan menyikut, lengkap dengan gelak tawa yang saling bersahut. Seseorang dengan kaus hitam berlambang marketplace yang sedang naik daun menggeleng malas saat dirinya dielu-elukan. Semua tahu startup miliknya baru saja mendapatkan investasi.

Cowok-cowok itu tetap saja berisik, sementara yang perempuan hanya tertawa dan saling berbisik. Salah satu dari mereka baru saja bertunangan, calon suaminya ikut datang menemani.

Ada rasa tertekan yang begitu besar. Semua terasa begitu menyesakkan.

“Dilla anteng-anteng aja... jangan-jangan karena gajinya udah dua digit, nih,” ucap si cowok bertampang oriental dengan nada bercanda. Cerewet, makiku dalam hati. Seperti yang kutakutkan, pertanyaan-pertanyaan usil lainnya pun mulai menyusul.

“Dilla masih di Petrovast?”

“Nanti ada niat ambil S2 gak, Dil?”

Nurul yang berada di sampingku membetulkan posisi duduknya. Sedikit banyak dia tahu hidupku tak semulus itu. Aku menyunggingkan senyum. Mataku fokus pada tembok di belakang seorang temanku yang barusan mengajukan pertanyaan. Aku tak kuasa memandang siapapun, bahkan Nurul. Alasan milikku bergulir, persis seperti apa yang sudah kuhapalkan: Sekarang di Murahmeriah.com. Pengen sih ambil S2, tapi masih belum pasti.

Kalimat demi kalimat itu keluar dari mulutku, tapi rasanya seperti orang lain yang mengucapkannya. Segera setelahnya, aku menurunkan pandangan, mengonsentrasikan pikiranku pada mug lebar berisi teh hangat beraroma peppermint dalam genggaman. Aku yakin saat ini teman-temanku sibuk mengasihaniku dalam hati. Kuusir jauh-jauh rasa pedih yang menusuk-nusuk. Tenang Dilla, tenang. Tak perlu mengatakan semuanya terang-terangan, yang terpenting adalah aku tak berbohong soal hal ini.

Koreksi, tak sepenuhnya berbohong soal pekerjaanku kali ini.

“Oh... di Murahmeriah.com? Pasti seru dong, ya.” Setelah satu-dua detik, salah satu temanku akhirnya membuka suara. Komentar itu terdengar begitu palsu. Aku tersenyum canggung selama beberapa saat, menyadari bahwa otakku mendadak membeku. Aku tak bisa mengingat respons netral yang sudah kusiapkan untuk situasi seperti ini. Tak lama, seseorang melempar topik baru tentang sepak bola. Mereka kembali sibuk saling bersahutan, tertawa dan menepuk bahu satu sama lain.

Perlahan namun pasti, segera kuletakkan cangkir milikku ke atas meja. Dengan pergerakan yang kubuat sehalus mungkin, aku berdiri dan mengalungkan tali tasku pada salah satu bahu. Soft case berisi laptop milikku kujinjing dengan tangan lainnya. Tanpa sengaja, mataku bersirobok dengan Nurul. Buru-buru aku membuang pandangan.

“Sorry semuanya. Takut kemaleman. Duluan, ya.” Pamitku terburu-buru seraya beringsut di antara celah sofa. Samar-samar, aku bisa mendengar Nurul yang memanggil namaku, tapi aku benar-benar tak sanggup lagi. Kudorong pintu kaca di hadapanku, bahkan untuk sekadar menengok pun aku tak bisa.

* * *

Di luar, aku baru sadar bahwa hujan turun cukup deras. Meski begitu, tidak ada sedikit pun niatku untuk kembali masuk ke kafe.

Setelah merutuki diri sendiri yang lupa membawa payung, aku mempercepat langkah. Kuseberangi area parkir terbuka yang menghadap langsung ke jalan protokol Rasuna Said. Rintik air semakin membasahi, tapi aku tak peduli. Sebelah tanganku terangkat untuk menutupi ubun-ubun sekenanya. Aku bergerak mendekati tangga penyeberangan yang akan membawaku menuju halte busway yang terletak di tengah-tengah lajur protokol dua arah.

Tangga jembatan penyeberangan yang kudaki terasa licin. Angin kencang yang membawa serta titik-titik air menggelitik ujung siku dan betisku. Pundak dan bajuku sudah basah sejak tadi. Aku bergerak ekstra hati-hati—berbeda dengan beberapa orang yang menyalipku. Semua orang terlihat tak sabar, tak sedikit yang bersenggol siku denganku. Suara langkah mereka begitu berisik, membentur-bentur pijakan yang terbuat dari lempeng baja tipis.

Dengan tubuh yang lelah serta perasaan tak keruan seperti ini, sudah jelas aku tergoda untuk memanggil taksi atau apa pun jasa transportasi online yang ada saat ini. Tapi kutepis jauh-jauh ideku itu. Aku sudah meniatkan diri untuk berhemat. Ada biaya tambahan yang harus kusisihkan sejak aku memutuskan untuk kos dekat kantorku yang sekarang. Aku juga harus lebih disiplin menabung. Belum lagi sepatu pantofelku yang menyakiti tumit, aku harus segera membeli yang baru atau—

Tiba-tiba, seseorang mendesakku dari arah belakang. Tubuhku terjepit ke arah kiri. Sebelah rusukku nyeri karena membentur besi pembatas jembatan. Aku bisa merasakan posisiku yang oleng. Buru-buru aku menahan berat dengan sebelah tangan—menyebabkan soft case berisi laptop milikku terlepas dari genggaman.

Refleks, aku mengarahkan pandangan pada benda berbentuk persegi panjang warna hitam yang sempat berdebum di lantai plat besi dengan posisi setengah mengambang di udara. Gravitasi menarik soft case berisi laptopku terjun bebas ke tengah lautan kendaraan yang melaju cepat di bawah sana.

Seperti gerakan lambat, aku melihat laptopku melayang, semakin lama semakin mengecil, sebelum akhirnya benar-benar tergeletak di jalanan aspal yang basah. Sebuah kendaraan sedan berwarna merah berhasil menghindar Namun, setelahnya laptop milikku sukses tergilas oleh mobil lain yang menyusul di belakangnya. Aku tahu bahwa benda berharga milikku itu tak terselamatkan lagi. Soft case yang melapisinya tak cukup tebal untuk menjaganya tetap utuh.

Bagaimana dengan data di dalamnya? Apakah bisa diselamatkan? Berapa uang yang hilang sia-sia? Apakah aku harus membeli laptop baru? Apa kantor akan mau menggantinya?

Lihat selengkapnya