Waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi saat gue memberhentikan mobil pada area parkir sebuah restoran 24 jam, tepat di samping sebuah bus wisata. Setelah berkendara 200 kilometer lebih, pundak dan pinggang gue jelas terasa kaku. Gue pikir ada baiknya gue beristirahat sejenak sebelum meneruskan perjalanan, lagipula gue memang perlu mampir ke toilet.
"Ini... di mana?" Sebuah suara serak bertanya dengan nada panik. Dilla akhirnya terbangun dari tidurnya. Cewek itu meringis kesakitan saat mencoba menegakkan posisi duduk. Dia melirik jam pada dasbor, kemudian dengan terburu-buru mengusap mata dan area sekitar mulutnya. Tingkah lakunya menggelikan.
Masih terlihat bingung, Dilla menunduk-nunduk canggung, berusaha mengintip pemandangan di luar kaca mobil.
"Cirebon," jawab gue pendek seraya mematikan mesin mobil dan membuka pintu.
Dari hening yang hadir selama beberapa detik sesudahnya, gue menebak kalau Dilla cukup terkejut dengan informasi yang gue berikan. Kami memang tidak sempat berbicara banyak setelah gue mengajaknya untuk ikut meninggalkan Jakarta. Gue belum menjelaskan tentang ke mana kami akan menuju dan mengapa. Gue merasa cewek itu butuh berpikir sendiri dalam diam, dan itulah yang gue berikan padanya. Dengkuran halus terdengar tak lama setelah mobil yang gue kendarai melewati daerah Cikarang, saat itulah gue tahu Dilla sudah tertidur.
“Kenapa? Kaget, ya?” tanya gue. Cewek itu refleks memberi gelengan samar, padahal gue tahu tebakan gue benar. Mungkin menyesal sudah bersedia ikut dalam perjalanan ini.
“Terus...” Dilla tidak meneruskan kalimatnya, kembali melempar pandangan pada sekeliling.
“Gue mau ke toilet terus mau cari minuman anget. Lo mau turun apa tetep di mobil?”
“Oh... saya ikut turun, aja.” Dilla merespons cepat, seraya buru-buru memeluk tasnya yang luar biasa besar dan soft case berisi laptopnya di dada.
“Ada barang yang ditinggal juga gak apa-apa, kok. Taro aja di bawah jok kalau takut kenapa-kenapa.”
Dilla terlihat bingung selama beberapa saat, sebelum menuruti saran gue. Cewek itu menyelipkan soft case berisi laptop miliknya pada sisi kiri kursi penumpang. Setelahnya, dia membuka pintu, kemudian ikut menjejakkan kakinya pada tanah. Posturnya yang mungil membuatnya harus setengah melompat untuk bisa turun dari jip.
Setelah mematikan mesin mobil dan mengunci pintu, gue berjalan menuju teras restoran yang dihiasi ukiran kayu dan bambu—khas rumah makan kuliner Sunda. Beberapa saat kemudian, gue baru menyadari bahwa Dilla menempatkan dirinya selangkah di belakang—mengikuti gue dengan takut-takut.
“Lo langsung cari tempat duduk aja, ya,” ujar gue seraya menoleh ke arahnya. Lagi-lagi cewek itu mengangguk ragu sebagai tanda setuju.
Setelah itu, gue segera memisahkan diri, berbelok mengikuti penunjuk arah tempat toilet berada. Saat gue mencuri lirik sejenak, gue melihat cewek itu berjalan canggung menuju salah satu meja dan menarik kursi perlahan.
Melihat sikapnya yang kikuk, gue tersenyum miris. Rasa tidak nyaman memancar begitu kuat darinya. Sikapnya mengingatkan gue akan seseorang, entah siapa.
* * *
“Lo kaget ya kita mendadak udah di Cirebon?” tanya gue pada Dilla segera setelah mendudukkan diri pada kursi yang terletak di sisi kiri restoran—dekat kasir. Sebelumnya, cewek itu terlihat sibuk meneliti selebaran peta jalur antarkota Jawa—sesuatu yang memang hampir selalu ada di rumah makan peristirahatan semacam ini.
Setelah mengatasi keterkejutannya, Dilla melipat lembaran peta dalam genggamannya dengan hati-hati sebelum bertanya pelan, “Teman yang Aryan bilang itu... di Cirebon?”
“Enggak, sih,” jawab gue pendek sambil menerima sodoran buku menu dari waitress berseragam kuning-merah. Gue memesan wedang jahe dan pisang goreng. Sementara Dilla hanya ingin teh manis hangat. Sepeninggal pelayan tersebut, gue meneruskan kata-kata, “Gue mau ke timur Jawa.”