The Two Runaways

Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Chapter #3

Dilla: A Pause

Aku merasa seperti kepingan puzzle yang tercecer. Bagaimana tidak? Ini hari Selasa, seharusnya saat ini aku sudah duduk di kubikel kantorku di bilangan Grogol, tapi aku malah berada di salah satu pom bensin di sisi jalan besar antar provinsi di Tegal.

Di hadapanku terhampar sawah hijau berlatarkan langit biru. Sinar matahari terasa begitu hangat menyapa kulitku. Kendaraan-kendaraan besar berlalu-lalang. Bunyi mesinnya menggelegar. Suara busi rodanya terdengar. Namun, semua ini masih terasa lebih lapang dan menenangkan dibandingkan padatnya lalu lintas Jakarta.

Ingin rasanya kunikmati suasana tempatku berada saat ini, tapi pikiranku terpecah kesana kemari. Kulirik kembali jam pada layar smartphone-ku. Pukul sembilan pagi lebih 30 menit. Kujejakkan kaki, dengan terburu-buru bangkit berdiri, untuk kemudian duduk kembali pada dinding rendah yang membatasi antara area parkir dan musholla tempatku berdiam sejak tadi. Benakku gelisah. Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan.

Haruskah aku mengontak kantor lebih dulu?

Mau bilang apa? Sakit? Izin karena keperluan mendesak?

Untuk mendapat izin sakit lebih dari sehari aku harus memberikan surat dokter. Apa lebih baik jika kukatakan aku izin untuk urusan keluarga?

Apa tidak apa-apa jika aku memberitahu mendadak seperti ini?

Sejatinya, ini tidak rumit. Aku hanya tinggal memberikan alasan yang tepat. Aku bisa saja membolos sehari, kemudian mencari tiket kereta atau bus menuju Jakarta supaya bisa segera bekerja lagi esok pagi. Tapi, entah mengapa jari-jariku tak kunjung bergerak mengetik pesan. Tak bisa diajak menekan satu tombol yang akan menghubungkan aku dengan Pristin, atasanku. Bahkan untuk mengirim pesan pun aku ragu.

Rasanya sesak. Seperti ada sesuatu yang mengganjal.

“Beli minumnya, Kak?”

Aku menengadah. Menemukan sesosok anak laki-laki yang menyodorkan sebotol air mineral padaku. Sebelah tangannya merangkul kotak berisi bermacam barang—minuman ringan serta berbagai macam camilan menyembul di antara bungkus-bungkus rokok. Kulitnya coklat gelap, kausnya berwarna putih kusam dengan kerah yang melar di sana-sini.

“Eh...” tadinya aku ingin menolak, tapi mungkin aku harus membeli satu, berjaga-jaga seandainya aku haus nanti. Lagipula minimarket satu-satunya di pom bensin ini masih tutup.

“Boleh. Air mineralnya satu, Dek,” kataku seraya membuka tote bag dan mencari-cari dompet milikku.

“Makanannya mau juga, Kak? Permen, kuaci, kacang, roti juga ada.”

Aku menggeleng pelan, kemudian memberikan selembar uang pecahan lima ribu. Anak yang kutebak baru berusia 9 atau 10 tahun itu memberikan minuman yang kupesan, kemudian merogoh kantong celana untuk mencari uang kembali. Aku baru sadar bahwa botol air mineral tersebut tidak bersegel. Mendadak aku menyesal, mungkin seharusnya aku bersabar dan menunggu minimarket buka saja. Meski begitu, aku tetap menerima selembar dua ribuan yang diberikan padaku.

“Kakaknya menunggu bis?” Kupikir anak laki-laki akan segera berlalu, tapi dia rupanya memutuskan untuk membuka pembicaraan.

Aku mengikuti pandangan anak itu yang mengarah pada sebuah bus wisata yang berhenti di sisi jalan dekat pom bensin. Beberapa orang terlihat bergantian turun dan naik dari dalamnya. Sebagian berjalan ke toilet, sebagian lagi berdiri, meregangkan otot yang kaku setelah lama duduk. Pertanyaan anak itu kujawab dengan gelengan pelan. Kali ini kusertai senyum tipis.

“Kakak ke sini naik apa?”

“Sama teman. Itu mobilnya,” ujarku sambil menunjuk jip putih tidak jauh dari tempatku duduk. Aku bisa melihat mata anak laki-laki itu terbelalak lebar, rautnya terlihat kagum. Kurasa hampir semua anak laki-laki akan menyukai jip Aryan yang gagah. Ruangan di dalamnya memang terhitung biasa saja, malah lebih kecil jika dibandingkan mobil keluarga, tapi roda-rodanya cukup besar dan tinggi.

Aryan memarkirkan jip miliknya di sudut pom bensin yang terlindung dari sinar matahari. Salah satu jendelanya terbuka sedikit. Aryan berada di dalamnya. Aryan akhirnya memutuskan untuk tidur setelah melanjutkan perjalanan dari Cirebon menuju Tegal selama kurang-lebih 2 jam. Aku pun tadi sempat beristirahat sejenak, sebelum terbangun oleh suara alarm handphone-ku sendiri yang menyebabkanku tak bisa memejamkan mata lagi. Otakku tak lagi bisa relaks, terlalu sibuk memikirkan situasiku kali ini.

“Wah, apik. Ganteng banget mobilnya. Kakak lagi jalan-jalan?” Anak laki-laki tersebut terus bicara, kali ini sambil memindahkan kotak dagangannya ke sisi tubuhnya yang lain.

Sedang berliburkah, aku? Apa benar aku akan mengikuti Aryan? Aku sendiri tak yakin akan itu. Tak urung aku pun memberitahu lawan bicaraku tentang perjalanan ke Malang. Sesuai yang diberitahukan Aryan semalam.

"Malang itu di mana?"

"Di Jawa Timur…"

“Di Malang-nya sampai kapan, Kak?”

Aku tertegun. Rasanya aneh mendengar pertanyaan demi pertanyaan yang sedari tadi kutelaah sendiri dalam hati, kini disuarakan oleh orang lain. Pertanyaan yang berapa lama pun kupikirkan, aku tak juga bisa menentukan jawaban. Rasanya sulit sekali menentukan apa mauku kali ini.

Belum sempat aku menjawab, anak laki-laki itu keburu berbalik pergi. Seseorang dari bus wisata memanggilnya, mungkin berniat membeli. Aku pun hanya bisa memandang punggung anak itu yang menjauh pergi untuk mengejar rizki—sesuatu yang seharusnya menjadi tugasku juga hari ini, tapi tidak kulakukan untuk alasan yang tidak kumengerti.

Aku melirik sisi kanan atas layar handphone-ku yang menunjukkan angka 18 persen. Aku sudah berniat untuk bertanya pada salah satu petugas pom bensin ini di mana aku bisa menemukan stop kontak listrik untuk mengisi ulang, namun belum juga kulakukan.

Mendadak smartphone-ku berdenting. Sebuah pesan WhatsApp masuk, nama Pristin Suryadi muncul di notifikasi. Rasa ngeri sontak membayangiku, maka dengan terburu-buru aku pun segera menekan tombol di sisi kanan smartphone-ku lebih lama. Layar benda elektronik dalam genggamanku itu pun berubah hitam kelam, tak lagi bersuara atau menunjukkan notifikasi apa pun.

Biarlah. Aku memang perlu menghemat baterai. Menjawab dan bertindak sekarang pun tak ada guna, salah-salah aku bisa menyesali tindakanku di saat panik seperti ini—rasa yang rutin kumiliki selama hampir tiga tahun belakangan.

* * *

Dua minggu setelah wisuda sarjana 5 tahun yang lalu, Petrovast merekrutku sebagai bagian dari management trainee mereka. Perusahaan minyak multinasional ternama itu memilihku dan 39 orang fresh graduates lainnya untuk mendapatkan pembekalan skill dan pengenalan organisasi. Pada akhirnya mereka akan memberikan penilaian untuk tahu divisi mana yang akan menjadi tempat terbaik bagi masing-masing dari kami untuk berkembang dan mengabdi.

Bunda begitu bangga. Pertama, karena anak perempuannya lulus cum laude, dan kedua, karena aku tak harus menunggu lama untuk mendapatkan pekerjaan. Aku pun turut bahagia, apalagi saat tahu bahwa Nurul juga ikut diterima di Petrovast. Aku lega bahwa aku tak akan sendirian, ada teman kuliahku yang akan belajar bersama denganku selama enam bulan lamanya sebelum kami resmi menjadi pegawai.

Atau begitulah yang kukira. Karena ternyata aku hanya sanggup bertahan selama tiga bulan lebih sedikit, sebelum akhirnya mengundurkan diri.

Tepatnya diminta mengundurkan diri.

Mentorku sendiri yang mengajakku bicara empat mata dan menjelaskan bahwa sepertinya aku kurang sesuai dengan apa yang dibutuhkan Petrovast.

Jauh di dalam hati, aku sadar kalau penilaian mentorku itu ada benarnya. Presentasiku kurang mengena, ide-ide solusiku kurang bicara, aku pernah memperlambat kinerja kelompok karena kegugupanku, dan banyak kelalaian lainnya. Ada banyak hal yang tidak kupelajari di dunia sekolah dan kuliah. Aku tidak tahu kepada siapa aku bisa bertanya.

Tadinya kupikir masih ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki performa. Namun, kalau sampai seseorang harus mengungkapkan hal itu secara pribadi padaku, kupikir mungkin memang aku harus tahu diri dan memberikan kesempatan pada orang lain yang lebih berpotensi. Bisa jadi ini cara mentorku mengungkapkan niat baiknya. Aku bisa saja dikeluarkan tanpa hormat dan itu akan jauh lebih memalukan lagi.

Setelah mengundurkan diri dari Petrovast, aku menghabiskan waktu cukup lama untuk melamar pekerjaan lainnya sebagai fresh graduate. Bukannya aku mengulur-ngulur waktu, tapi memang bagiku tidak semudah itu mencari lowongan yang tepat. Beberapa mensyaratkan tes skill yang gagal kulewati. Kalaupun langsung interview, kegugupanku akan membuat mereka mundur teratur dan tak menghubungiku lagi. Aku tak tahu mengapa Petrovast sempat menerimaku.

Setelah tiga bulan berlalu tanpa hasil, rasa panikku mulai berada di titik puncak. Pada sebuah wawancara kerjaku yang kesekian, aku tanpa sengaja bertemu dengan Kak Lina, senior kampusku yang telah bekerja lebih dulu di perusahaan tersebut. Maka atas rekomendasinya, aku diterima bekerja pada Introdata, sebuah IT Consultant yang berlokasi di Simprug, Jakarta Barat.

Sebenarnya dari segi jarak, Introdata terhitung sangat jauh dari rumahku, tapi karena aku merasa tak enak untuk menolak pertolongan seniorku, aku pun setuju untuk mencoba peruntunganku di tempat tersebut. Lagipula aku ditempatkan di sub-divisi yang sama dengan Kak Lina, jadi kali itu aku berpendapat bahwa mungkin aku akan baik-baik saja.

Lihat selengkapnya