Hal-hal tak terduga adalah bagian dari traveling. Seninya traveling, malah—kalau gue boleh menambahkan.
Dari mulai kiamat kecil seperti ketinggalan flight karena salah gate di Tokyo, kehabisan cash gara-gara pengemudi transportasi nakal di Bangkok, dikerjai hingga mabuk tak sadarkan diri di De Wallen, hingga menyaksikan teman seperjalanan hampir meregang nyawa di Semeru. Semua itu, dan masih banyak kejadian di luar rencana lainnya, menjadi pengalaman yang tak terbayarkan oleh apa pun—sesuatu yang diam-diam selalu menjadi kenangan manis-pahit dalam setiap petualangan. Semua, kecuali hilangnya nyawa seseorang dan cacat permanen.
Oh, dan kecuali macet.
Sayangnya, kali ini gue harus memaksa diri menikmati salah satu hal yang paling gue hindari itu. Karena macet bukan hanya di Jakarta, macet bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Termasuk di tengah jalur perbukitan Sukorejo, Waleri—pukul satu dini hari.
Gue memasukkan gigi sebelum menginjak gas perlahan, mengisi ruang kosong yang ditinggalkan Avanza silver di hadapan jip yang gue kendarai. Tak jauh—bisa dicapai dengan 10 langkah berjalan kaki. Namun ini adalah beberapa meter yang berharga, yang baru didapat setelah menunggu bermenit-menit lamanya.
Dua jam lebih terjebak macet dengan kondisi jalan berkelok-kelok dan naik-turun seperti ini, terus terang kaki gue mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Namun ini di tengah hutan, tidak ada rest area atau punggung jalan yang bisa menjadi tempat pemberhentian. Jadi, tak ada pilihan lain kecuali terus bergerak.
Untuk kali kesekian, rentetan klakson terdengar dari arah belakang—mungkin dua atau tiga kendaraan berselang dari jip yang gue kendarai. Reaksi yang biasa muncul dari pengguna jalan yang sudah kehabisan alasan untuk diam dan memutuskan untuk mengajak orang lain ikut naik pitam.
“Sabar we’ lah, sabar…! Ini tengah alas! Sabar we’, lah!” seru seseorang dari sisi kanan jip. Beberapa sosok terlihat duduk dan bersandar pada pepohonan di sisi jalan yang berbatas tebing pendek, masing-masing dari mereka membawa alat penerangan berupa senter atau lampu tempel. Raut mereka samar, disembunyikan oleh gelap—pria-pria lokal yang beralih profesi menjadi pengurai kemacetan di tengah situasi darurat seperti ini.
Gue memutuskan untuk memperbesar celah jendela, bertanya pada salah satu di antaranya.
“Maaf, Mas. Numpang tanya. Ini macetnya kira-kira sampai mana, ya?”
“Ada perbaikan jalan Mas, di bawah. Kurang lebih 2 kilo lagi dari sini.” Jawaban yang mirip dengan yang gue dapatkan saat gue menanyakan hal yang sama pada penjaga hutan lain 30 menit yang lalu. Hanya saja kali ini gue mendapatkan fakta baru: gue masih harus berkendara seperti siput sebanyak 2 kilo meter lagi.
Setelah mengucapkan terima kasih, berbasa-basi sejenak, dan menunggu lawan bicara gue berlalu, gue pun kembali menaikkan jendela. Tidak sampai rapat, hanya dua pertiga bagian. Pendingin udara sudah sengaja gue matikan sejam yang lalu. Lagipula malam, area perbukitan, dan gerimis yang datang dan pergi di tempat ini sudah cukup membekukan.
Ada rasa sesal yang menyusup ke hati. Gue sengaja mengambil jalur ini dan bukan jalur bebas hambatan karena ingin bebas mampir dan beristirahat di kota mana pun yang gue inginkan besok pagi. Sekarang malah jadi terjebak perbaikan jalan begini.
“Suara jangkriknya gak ada lagi.”
Kata-kata yang hampir seperti bisikan itu membuat gue menoleh ke arah kursi penumpang. Dilla sedang memandang ke luar jendela miliknya yang terbuka sepertiga bagian.
Gue tahu apa yang dia maksud. Gue juga mendengar suara jangkrik yang cukup keras beberapa menit yang lalu, tapi area ini cukup sepi dari bunyi serangga—menyisakan bising mesin kendaraan dan klakson-klakson samar yang kadang masih terdengar dari belakang sana.
“Kirain tidur.” Gue berkata dengan nada menggoda. Gue memasang rem tangan dan kembali mengistirahatkan kaki-kaki gue. Sepertinya butuh belasan menit lagi sebelum gue harus kembali menggunakan gas, rem, dan kopling.
“Gak, kok. Dari tadi bangun.”
“Takut ngorok?” kata gue lagi. Mendadak teringat kejadian lucu beberapa jam yang lalu saat kami bertolak dari Tegal.
Gue segera melirik, menemukan Dilla tersenyum kecil, kemudian cewek itu memandang lurus ke depan sebelum kembali mengedarkan pandangan pada hutan di sisi kiri dan kanan. Padahal gelap luar biasa, pohon-pohonnya pun tinggi, bulan tak terlihat di atas sana. Kalau tidak ada lampu-lampu dari barisan kendaraan, tempat ini mirip lokasi film horror.
Jadi ingat, gue pernah traveling bersama kakak sepupu gue dan teman-teman sekantornya yang kebanyakan perempuan. Mereka semua mengeluh dan memilih untuk menutup mata saat kami sengaja melewati Alas Roban, hutan yang terkenal angker di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Padahal itu siang bolong, tidak macet sama sekali, tapi hebohnya sudah seperti acara penelusuran tempat angker. Gue tidak bisa membayangkan kalau cewek-cewek itu harus berada di situasi sekarang.
Untunglah, Dilla tidak terlihat keberatan. Atau jangan-jangan sebenarnya dia takut tapi berusaha tegar? Lagipula dari pengalaman gue, hutan dan perbukitan memang punya dunianya sendiri. Ada hal-hal yang tidak sebaiknya dilanggar dan dicoba di tempat seperti ini. Melamun adalah salah satunya.
“Repot, ya. Perbaikan jalan kok di jam segini. Kenapa gak saat sepi?” gue berusaha membuka topik. Gue rasa gue sedikit was-was kalau-kalau teman seperjalanan gue terlalu larut dalam suasana.
Memang seharusnya beberapa jam yang lalu gue dan Dilla mengambil jalur utara melewati Kaliwungu menuju Semarang. Namun, entah mengapa jalur ditutup dan sementara dialihkan lewat area perbukitan yang mengarah ke Temanggung. Padahal gue sudah sengaja melakukan perjalanan di malam di hari kerja supaya terhindar dari hambatan semacam ini. Tapi yah, manusia bisa berencana—kepala daerah setempat yang menentukan.
“Kayaknya langsung dibenerin setelah musim mudik kemarin,” respons Dilla atas keluhan gue.
“Ya… gak perlu buru-buru juga, kan? Lagian kenapa juga ngerjainnya malem-malem?”
Dilla lagi-lagi tersenyum samar. “Aryan capek?” tanyanya lembut. Gue menyembunyikan ekspresi terkejut yang mendadak gue rasakan. Meskipun ini sepertinya bukan kali pertama Dilla menyebut nama gue sejak kemarin—cewek ini begitu sopan hingga menggunakan saya dan menyebut nama lawan bicara—tidak seharusnya gue bereaksi senorak ini.
“Iya. Mau gantiin?” balas gue asal.
Dilla terlihat berpikir, jelas-jelas ragu apakah dia harus mengiakan atau menolak.
“Bisa nyetir, gak?” lanjut gue lagi.
Dilla menggeleng pelan. Membuat gue geli. Kalau tidak bisa, kenapa harus berpikir lama dulu sebelum memberi jawaban? Benar-benar menggemaskan.
Tunggu. Apa barusan gue bilang? Menggemaskan?
“Mungkin nanti saya latihan dulu,” ujar Dilla lamat-lamat.
“Nunggu jago dulu sampai dapat SIM, baru gantiin gue nyetir, ya?”
Berarti maksudnya, lo mau jalan berdua lagi kayak gini sama gue? Tapi tentu saja kalimat terakhir tak gue suarakan.