The Two Runaways

Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Chapter #5

Dilla: Eyang

Ini kali kelima aku mengunjungi Solo.

Sebelumnya, aku mengunjungi kota ini saat nenek buyutku dari Bunda berpulang. Begitu mendadaknya kepergian nenek favoritku itu, sehingga aku dan Bunda langsung bertolak dari Jakarta menggunakan penerbangan pertama yang bisa kami tumpangi. Aku masih menggunakan seragam SMP saat berdiri di samping pusara Eyang Yut. Baru berganti pakaian saat Ayah serta kakak dan adikku menyusul malam harinya dengan koper berisi keperluanku dan Bunda.

Sejak itu, momen lebaran di keluargaku tidak lagi diisi dengan mudik setahun sekali ke Surakarta untuk bertemu keluarga Bunda. Sebelum aku lahir pun, semua keluarga besar Ayahku sudah tinggal di Jakarta, sehingga tidak perlu bersusah-susah menyambangi Palembang untuk bertemu sanak saudara. Sejak hari itu, kumpul keluarga besar setahun sekali hanya dilakukan di rumah kakek dan nenekku—orangtua Ayah—di Bogor.

Solo, kota yang damai dan bersahaja. Setiap sudutnya mengingatkanku akan Eyang Yut yang selalu tersenyum meski rematik menyerangnya di usia senja. Aku masih ingat cerita pamanku yang mengatakan Eyang Yut meninggal dalam keadaan tenang. Beliau tidur seperti biasa dan tidak membuka mata meski sudah dibangunkan keesokan paginya. Saudara-saudara Bundaku bilang itu hadiah bagi Eyang Yut yang tak pernah membentak, memaksa, bergosip, apalagi mengeluh dengan hidup.

Semua orang yang mengenal Eyang Yut mengingatnya sebagai figur yang baik dan penyayang. Sosoknya membuatku kagum dan hormat, ingin mengikuti jejaknya sebagai seseorang yang dielu-elukan karena kerendahan hati dan kelembutannya.

Siapa yang menyangka bahwa setelah dewasa aku malah mengecewakan banyak orang dan terus-menerus membuat kesalahan? Semoga Eyang Yut tidak melihatku dari atas sana. Rasanya malu mengingatnya.

“Ayo Dek, biar saya antar. Kasihan bawaannya banyak,” tawar seorang pria pengayuh becak saat aku baru menginjakkan kaki pada trotoar di luar gedung Pusat Grosir Solo.

Langit kota ini sedang berawan, meski tidak sampai mendung. Cuaca tidak membakar meski matahari sedang berada tepat di puncak kepala. Aku menolak tawaran pria itu dengan halus, kemudian menyusuri jalur pejalan kaki ke arah kiri. Tidak jauh di sana, tugu Slamet Riyadi berdiri tegap, sebelah tangannya mengacungkan pistol ke langit—aku ingat karena salah satu pamanku, adik Bunda, selalu memberitahuku setiap kali kami ke Solo dan melewati tempat ini.

Aku berhenti sejenak, membetulkan ujung pegangan plastik belanjaanku yang terbelit di jari, kemudian berbelok memasuki jalan besar dengan barisan pepohonan besar di kedua sisinya. Alun-alun Surakarta ditandai dengan gapura-gapura bercat putih yang kokoh. Ada sesuatu yang begitu menenangkan melihatnya.

Dengan langkah sedikit memburu, aku bermaksud untuk menyeberangi jalan di depan gerbang Pasar Klewer, tapi sebuah suara familiar memanggilku.

“Dilla!”

Aryan sedang duduk di salah satu kursi plastik, tepat di samping gerobak hijau bertuliskan Es Dawet Ayu.

Meski heran, aku pun menghampirinya. Aryan melirik plastik-plastik berisi belanjaanku sekilas sebelum menarik kursi kosong dan menempatkannya di hadapanku.

“Mobilnya di mana?” tanyaku seraya mendudukkan diri. Aryan sudah berjanji untuk menungguku di dalam jip yang seharusnya tepat di salah satu sisi luar Pasar Klewer. Tadinya aku berniat untuk menemui Aryan di sana.

“Masih di tempat yang sama. Gue haus, makanya emang sengaja duduk di sini. Nungguin lo.”

Aku tidak berkomentar apa-apa. Dalam hati sedikit lega karena Aryan benar-benar menemukanku melewati jalan ini. Untunglah aku tidak kehilangan jejak Aryan—karena itu berarti aku harus mengaktifkan smartphone yang sedianya hanya kubawa untuk berjaga-jaga.

“Beli sepatu juga, gak?” Aryan mengedikkan dagunya ke arah plastik-plastik belanjaan yang kuletakkan tepat di bawah kaki. Bapak penjual dawet menyapaku, bertanya apakah aku juga ingin memesan segelas. Aku mengiakan tawaran Bapak itu, kemudian mengiakan pertanyaan Aryan.

Gelas berisi dawet untuk Aryan datang lebih dulu, Aryan pun menikmati minuman dingin miliknya. Karena ingin memastikan, aku melongok ke dalam salah satu plastik belanjaan, menemukan sepasang sepatu flat yang terbuat dari karet—memenuhi spesifikasi yang Aryan berikan.

Aryan memang menghindar untuk memberitahuku detail perjalanannya di Batu, tapi dia sudah mendiktekan beberapa daftar barang yang harus kubawa: sepatu nyaman yang pijakannya tidak licin dan mudah dicuci, serta minimal tiga set pakaian ganti. Aku membeli tiga kaus, satu jaket bahan parka warna hitam, dua celana kargo selutut, handuk, dan pakaian dalam. Sebagian besar kudapatkan di Pasar Klewer dengan harga miring, tapi khusus untuk barang yang terakhir aku hanya mau membeli dalam kemasan yang kupastikan tertutup dan kurasa bersih—itulah mengapa aku mampir ke gerai Pusat Grosir Solo yang berada tidak jauh dari Pasar Klewer.

Hanya berjaga-jaga saja. Setidaknya aku sudah lebih hati-hati.

“Abis ini kita cari masjid aja, istirahat di sana,” beritahu Aryan. Dawet miliknya sudah tandas, sementara pesanan dawetku baru selesai dibuat.

Berbeda dari Aryan hanya terlihat sedikit lelah, selepas dari Ketep Pass tadi aku memang sudah sangat mengantuk. Mungkin cowok itu tahu bahwa aku memaksakan diri untuk tetap terjaga, makanya dia memutuskan untuk meneruskan perjalanan sejenak dan singgah di kota ini untuk beristirahat. Aku pun mengiakan rencananya, kemudian menyendokkan cairan coklat legit yang begitu menyegarkan.

Ah, aku memang sudah berada di Solo.

* * *

Dengan hati-hati, aku melipat rok selutut hitam dan atasan berwarna senada dengan corak titik-titik berwarna putih. Setelah menggulung dan memastikan bahwa ujung-ujungnya sudah rapi, aku memasukkannya ke dalam kantong plastik pink yang kudapatkan dari berbelanja di Klewer beberapa saat yang lalu, kemudian mengikat ujungnya menjadi simpul.

Aku mendongak, menemukan refleksi diriku pada cermin di hadapanku. Rambutku masih setengah basah. Meski begitu, wajahku sudah lebih cerah dibandingkan diriku setengah jam yang lalu yang kelewat kusut dan kuyu—jelas-jelas terlihat kurang tidur dan belum mandi.

Aku mundur selangkah, mematut diri. Membetulkan ujung bawah kaus abu-abu muda polos yang kubeli beberapa saat lalu. Bahannya sedikit kaku tapi aku tak peduli. Untungnya, celana kargo coklat selutut yang kukenakan cukup nyaman. Setelah menyelipkan ujung rambut ke balik telinga, aku menggunakan jaket parka hitamku yang baru, kemudian membawa plastik berisi baju dan peralatan mandiku keluar dari toilet wanita.

Setelah beringsut melewati beberapa orang yang mengantre untuk mengambil wudhu, aku menghampiri batas suci tidak jauh dari sana. Flat shoes karet warna khaki yang baru kubeli sudah menunggu di antara sepatu-sepatu lainnya.

Aku berbelok menuju tanah kosong di sisi masjid, tempat Aryan memarkirkan jipnya. Sebenarnya kami telah lebih dulu melihat Masjid Agung Surakarta—tidak jauh dari Pasar Klewer—tapi Aryan memutuskan untuk mencari masjid yang lebih kecil. Setelah memutari jalan dan berkendara masuk ke perumahan penduduk, kami menemukan masjid ini. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu ramai. Tempat yang sesuai untuk beristirahat sejenak sebelum meneruskan perjalanan.

Jip putih sudah terlihat di depan mata, tapi sosok Aryan tak ada di kursi pengemudi. Namun, aku menemukan pintu belakang kendaraan itu terbuka. Aku berjalan mendekat, berputar dan muncul di salah satu sisi belakang jip. Kemudian tanpa sadar aku menjerit tertahan dan segera membalikkan badan.

Aku melihat Aryan bertelanjang dada.

“Kenapa, Dil?” tanya sebuah suara yang jelas-jelas bernada meledek. Aku menggigit bibir, kemudian berbalik dengan gerakan pelan. Kali ini Aryan sudah mengenakan kaus berwarna merah tua.

“Gue cuma ganti baju. Santai, kali.” Aryan tersenyum lebar sambil memasukkan kaus lain ke dalam ransel besar miliknya. Aku mendekat perlahan. Cowok itu menempatkan ranselnya di antara kotak perkakas dan gulungan tali yang terlihat cukup berat. Selimut tebal, sepatu gunung, beberapa botol air mineral ukuran 1.5 liter, serta gulungan kain berbahan parasut warna oranye yang kutebak sebagai tenda tersimpan di bawah jok kursi belakang. Sepertinya cowok ini memang tak pernah bisa diam di satu tempat, bahkan sepatu gunungnya pun masih meninggalkan jejak tanah, untung Aryan melapisinya dengan terpal kecil dan kertas koran.

Mendadak Aryan menyerahkan sebuah tas travelling biru bermodel jinjing padaku. Sisi-sisinya kempis, bertanda tas kanvas itu kosong.

“Pakai ini aja buat naro baju lo.”

Lihat selengkapnya