The Two Runaways

Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Chapter #6

Aryan: On Hold

Setelah menggunakan jalur Pantura dari Jakarta hingga Waleri, kali ini gue meneruskan perjalanan via jalur tengah. Beberapa tahun lalu gue pernah mencoba roadtrip menyusuri jalur selatan pulau Jawa, tapi ini adalah pertama kalinya gue mencoba rute lainnya.

Dibantu petunjuk GPS dan Google, gue memutuskan untuk mencoba tol Trans-Jawa dari Solo hingga Surabaya sebelum melanjutkan ke Batu, Malang. Perjalanan lancar tanpa hambatan, lalu lintasnya tidak seganas rute utara yang merupakan sarangnya truk-truk kontainer besar yang dikendarai oleh sopir yang seringkali ugal-ugalan.

Jalur tengah lebih santai daripada Pantura yang mengharuskan gue untuk ekstra fokus dan berjaga supaya kendaraan tidak berjalan terlalu lambat. Justru karena terlalu santai, gue harus terus memutar musik, mengunyah makanan kecil, atau mengajak Dilla mengobrol. Kalau tidak, gue bisa mendadak bengong dan semua hal buruk yang tidak terbayangkan bisa terjadi.

Jalur tengah baru saja diresmikan beberapa bulan yang lalu. Banyak bagian jalan yang belum sempurna. Jadi gue harus berjaga-jaga kalau-kalau ada lubang atau mesin berat yang bertengger di tengah jalan. Itu, dan kemungkinan terburuk: perampok yang menyebar ranjau paku untuk menjebak pengemudi.

Meski begitu, demi alasan efisiensi gue tetap menggunakan jalur tengah. Lebih dekat dengan tujuan.

“Minum dulu, Yan,” tawar Dilla seraya menyodorkan sekaleng soda. Sejak perjalanan dari Cirebon kemarin, cewek itu sepertinya memang sudah bertekad untuk tidak tertidur demi menjadi operator GPS, informan Google, teman tebak-tebakan lagu, hingga pengawas kadar kelelahan gue. Kalau dirasanya gue sudah mulai terlalu hanyut dengan situasi, Dilla akan menawarkan makanan atau minuman kecil atau apa pun untuk memastikan gue tetap fokus pada perjalanan.

Bahkan membuka topik obrolan.

Percaya tidak percaya, kalau nyawa yang menjadi taruhan, seorang Dilla bisa saja mendadak bertanya tentang banyak hal yang tidak gue sangka. Dari mulai yang standar seperti makanan favorit (dia: bubur ayam, gue: ayam taliwang), film kesukaan (dia: Alice in Wonderland, gue: 127 Hours), hingga membahas pengalaman gue saat didaulat sebagai fotografer untuk tim peneliti sebuah organisasi lingkungan hidup selama sebulan di Jepang—karena ternyata Dilla memang sudah lama ingin mengunjungi negeri sakura tersebut.

Waktu menunjukkan pukul dua pagi saat gue mengarahkan jip yang gue kendarai untuk memasuki jalur tol Surabaya-Porong. Dilla masih berfokus dengan peta penunjuk jalan. Gue masih sesekali bercerita tentang kondisi distrik-distrik di sekitar Fukushima pasca insiden nuklir tahun 2011. Tiba-tiba, smartphone milik gue yang sedang berada dalam genggaman Dilla berbunyi. Gue melirik dan menemukan layar yang sebelumnya menampilkan rute menuju Malang berubah menjadi hitam dengan sebaris nomor tak dikenal.

Nomor asing di jam selarut ini? Ah, gue punya firasat buruk soal ini.

Dilla menyodorkan smartphone milik gue yang sedang berbunyi nyaring itu. Tanpa mengambil alih ponsel tersebut, gue hanya menekan tombol ‘mute’ sebelum kembali berfokus pada setir dan jalanan di hadapan gue.

“Gausah diangkat dulu. Biar aja.”

Dilla terdiam sejenak. “Gak takut penting?” tanyanya ragu-ragu.

Gue tertawa kecil. Tidak tahu harus menjelaskan dari mana. Bukan masalah penting atau tidak penting. Itu adalah panggilan yang paling ingin gue hindari saat ini. Faktanya adalah, si penelfon sudah sempat berbicara dengan gue kemarin siang, tak lama setelah Dilla pamit untuk membeli pakaian ganti di Pasar Klewer.

Pembicaraan gue dengan si penelfon kemarin itu berujung adu mulut seperti biasa. Seperti biasanya juga, kalau gue sudah mengukuhkan diri untuk mengabaikan panggilannya, biasanya orang tersebut akan mencari segala cara untuk menghubungi gue. Salah satunya adalah menelfon menggunakan nomor tak dikenal.

Meskipun memang orang tersebut tak pernah mencoba menghubungi di dini hari seperti ini. Atau mungkin itu adalah trik terbarunya?

Gue sedang mempertimbangkan banyak hal ketika smartphone gue berdenting pelan. Sebuah pesan masuk.

Dilla kembali menyodorkan smartphone tersebut pada gue. Notifikasi pesan berbentuk WhatsApp itu muncul di layar, jadi Dilla pasti sudah membacanya.

------------------

08212345XXXX

Aryan tolong telfon Mama begitu bisa. Kita perlu bicara.

-----------------

Gue menghapus pesan tersebut, kemudian meminta Dilla untuk lanjut memperhatikan rute perjalanan. Kaleng berisi soda gue tenggak habis sebelum kembali fokus mengendarai jip agar tetap stabil.

Urusan lain bisa menunggu nanti.

* * *

Lihat selengkapnya