Menjelajahi lereng gunung di luar jalur kendaraan normal. Yang dimaksud Aryan dengan mengajakku ‘kotor-kotoran’ adalah ikut berpartisipasi pada event offroad.
“Bisa bawa penumpang, kan?” tanya Aryan pada Mas Tyo, penyelenggara sekaligus teman yang mengundang Aryan untuk project tersebut. Tepatnya, mendaulat Aryan ikut uji coba track offroad besok pagi, acara aslinya baru akan diadakan lusa.
Mas Tyo yang kelihatannya berusia awal 40-an itu tersenyum lebar. Matanya menyipit dan kerut-kerut di sekitar pelipisnya semakin terlihat. “Bisa. Lagian lo kan gak bakal bawa tim on board, Yan. Masih banyak tempat buat Dilla. Anna juga pernah ikut waktu acara Jember-Bali beberapa tahun lalu.”
“Never again,” sahut perempuan bernama Anna yang baru saja memasuki ruangan. Anna membawa empat botol soda dan meletakkannya pada meja rendah di hadapan Dilla dan Aryan. Satu piring srabi notosuman buah tangan dari Aryan dan toples-toples kue kecil telah lebih dulu berada di sana, ikut menjadi jamuan. Anna kemudian mengambil posisi pada sofa di samping Mas Tyo, tangan mereka saling menyentuh. Mereka serasi, meskipun terlihat sangat kontras: Mas Tyo dengan kulit sawo matang dan rambut hitam legam, sementara Anna berkulit putih dan rambut keemasan.
“Oh, but afraid not, Dilla. Ini event kecil. Tidak berbahaya. Right, Tyo?” ujar Anna sesudahnya menggunakan campuran bahasa Indonesia yang fasih. Perempuan bermata biru itu melirik Mas Tyo kemudian berganti melemparkan senyum termanisnya padaku. Sejak awal berkenalan tadi, aku selalu merasa wajah Anna mirip seseorang. Sekarang aku tahu siapa. Anna sekilas menyerupai Julianne Moore, artis Hollywood ternama. Tapi meski begitu, penampilan Anna terlihat sangat wanita Jawa, lengkap dengan atasan berupa kemben hitam dan celana longgar semata kaki bermotif kain lurik. Mas Tyo yang hanya mengenakan kaus putih dan sarung bermotif kotak-kotak hijau-coklat pun terlihat seperti pria Jawa tulen. Penampilan keduanya sangat cocok dengan arsitektur rumah mereka yang ditata ala keraton Jawa lengkap dengan panggung, bale-bale, dan ukiran kayu.
“Oh, ya jelas. Ekspedisi Jember-Bali itu makan waktu hampir seminggu. Medannya juga ekstrim. Event yang besok ini cuma nyusurin Coban Rondo dan sekitarnya aja, kok. Pagi mulai, sore juga sudah selesai.”
“Beneran? Barusan gue cek rutenya kayaknya lumayan, tuh. Gue cuma bawa barang evakuasi seadanya, nih. Mesin juga belum gue cek," kata Aryan dengan semangat.
“Gampang itu. Besok itu kan kita test drive full team. Anggota gue bakal stand by di pos masing-masing. Peralatan lengkap. Nanti gue suruh orang tune-up jip lo kalau perlu. You’ll be fine.”
Aku menelan ludah. Offroad merupakan kata yang asing bagiku. Pernah mendengar, tapi tak pernah benar-benar tahu apa dan bagaimana kegiatan tersebut dijalankan. Dari penjelasan Aryan, aku tahu kalau Mas Tyo merupakan salah satu anggota perkumpulan offroad wilayah Jawa Timur, dan telah beberapa kali mengadakan ekspedisi alam bebas hingga ke Sulawesi. Pria itu bertemu dengan Aryan pada salah satu event miliknya di Sukabumi setahun yang lalu dan segera mengajak Aryan untuk ikut mencoba setelah tahu bahwa Aryan menyimpan jip di rumahnya.
“Yang bandel gitu gak boleh dianggurin doang, Yan. Mubazir,” ujar Mas Tyo untuk kesekian kalinya seraya melirik jendela besar di sisi kananku. Jip Aryan terparkir manis di garasi terbuka di luar sana, bersama dua jip lain dan sebuah motor besar milik Mas Tyo. Aku teringat betapa bersemangatnya Mas Tyo saat melihat jip putih Aryan memasuki halaman rumahnya. Matanya berbinar-binar, dan pria itu tak bisa berhenti berdecak dan berekspresi kagum. Aku sendiri tidak mengerti, tapi sepertinya jip putih milik Aryan tersebut cukup spesial di mata komunitas offroad .
“Warisan kakek gue tuh, Mas. Udah sempet disetel di Jakarta. Setelah kakek gue almarhum, cuma pernah dibawa trip Jakarta-Tangkuban Perahu sama om gue, dua tahunan yang lalu. Harusnya sih masih greng, ya,” ungkap Aryan dengan nada bercanda di akhir kalimat.
“Itu sama aja kayak lo punya macan tapi cuma lo suruh nyengir. Lo sering ikut offroad juga, kan? Kenapa gak dibawa dari dulu-dulu?”
“Gue kan biasanya tim penggembira aja, Mas. Foto-foto, seru-seruan, terus udah. Baru bener-bener mau nyoba ya sekarang, ini. Itu juga gara-gara lo undang.” Aryan membalas dengan senyum lebar. Dia mengangguk antusias saat Mas Tyo memberi gestur untuk ikut mencicipi minuman dan camilan yang telah tersedia. Aryan meraih soda miliknya dan meneguk langsung setengah botol. Aku memutuskan untuk menyesap isinya perlahan. Rasa citrus yang manis dan segar.
Pembicaraan berlanjut dengan cerita-cerita Mas Tyo tentang pengalaman pertamanya ikut offroad sepuluh tahun lalu di Megamendung, Jawa Barat—terjebak di lumpur selama dua jam, tanah licin karena hujan, batu runcing yang merusak mesin, dan jalur yang mendadak tak bisa dilewati yang berujung negosiasi dengan penduduk setempat untuk merubuhkan beberapa gubuk agar rombongan bisa tetap melanjutkan perjalanan.
Aku tersenyum dan ikut tertawa mendengarkan obrolan mereka, namun sebenarnya jauh di dalam hati aku merasa gugup luar biasa. Apa benar tidak apa-apa? Apa benar semua akan baik-baik saja? Aku pun masih merasa canggung dengan fakta bahwa Aryan mendadak memperkenalkanku pada dua orang baru dan mengajakku ikut serta dalam acara mereka. Mas Tyo ramah dan terlihat tidak keberatan, tapi aku tetap saja merasa tidak nyaman.
Apa sebaiknya aku mundur dan membiarkan Aryan mengikuti acara offroad tersebut tanpaku? Aku merasa bodoh karena tidak bertanya lebih detail sejak di Ketep Pass kemarin. Aku tak pernah menyangka Aryan akan mengajakku offroad , kupikir hanya sekadar mengunjungi pantai atau melihat air terjun saja. Lagi-lagi sikap sungkanku membuatku terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan.
Seorang pria tua mendadak masuk ke ruangan dengan membungkuk-bungkuk. Pria tersebut menghampiri Mas Tyo dan berbisik pelan. Sang tuan rumah pun menepuk tangan dan tersenyum lebar.
“Oke. Paviliunnya sudah siap. Kalian berdua sebaiknya istirahat dulu, ya. Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi.” Kata Mas Tyo sambil beranjak bangkit. Anna dan Aryan juga ikut berdiri. Aku tertegun sesaat.
Tunggu. Aku dan Aryan akan menginap di sini? Tapi kupikir—
Pandanganku bertemu dengan Aryan. Cowok itu menaikkan kedua alisnya, sesaat menunjukkan raut heran. Tak sampai sedetik kemudian, Aryan seakan baru menyadari sesuatu dan melemparkan pertanyaan pada Mas Tyo dan Anna yang sudah berjalan menuju pintu.
“Sorry, Mas. Dilla kamarnya di mana, ya?”
Mas Tyo dan Anna menoleh padaku dan Aryan, kemudian saling melirik dan tertawa maklum.
“Ah, iya. Dilla nanti ke lantai dua, ya. Sedang dibersihkan sebentar. Nanti biar Anna yang antar.”
Aku bisa merasakan wajahku memerah perlahan. Sadar bahwa aku mungkin telah berbuat bodoh dengan mengiakan ajakan Aryan untuk datang ke tempat ini.
* * *
Seharusnya aku bertanya lebih jauh. Seharusnya aku memastikan terlebih dahulu kemana kami akan menuju dan di mana kami akan bermalam. Seharusnya aku tidak begitu saja mengikuti rencana Aryan.
Seharusnya aku tidak berada di sini.
Aku membuka mata. Langit-langit kayu kecoklatan dengan gurat-gurat ukiran menyapa penglihatanku. Kupandang jendela yang terbuka lebar di sisi tempatku berbaring. Langit biru berawan, dengan angin sepoi-sepoi yang bertiup santai, menggoyangkan dahan-dahan pohon tinggi di luar sana. Dari bayangan yang jatuh ke jendela, aku menebak bahwa waktu telah lepas tengah hari. Matahari seharusnya masih cukup terik, tapi cuaca tetap sejuk bahkan tanpa pendingin udara.
Aku meraba seprai dingin tempatku merebahkan diri, mengedarkan pandangan ke seisi ruangan. Padanan warna putih dan coklat begitu menenangkan, begitu damai. Kamar yang disiapkan Mas Tyo dan Anna untukku cukup luas, lengkap dengan kamar mandi pribadi dan tempat tidur ukuran double. Anna bilang ini kamar yang biasa digunakan oleh orangtua Mas Tyo kala berkunjung.
Mendengarnya aku semakin tak enak hati. Tapi lagi-lagi, keenggananku hanya bisa kusimpan sendiri. Saat mengantarku menuju kamar tadi, Anna terus berbicara dan menunjukkan sikap ramahnya. Perempuan itu bahkan menyiapkan air jahe hangat saat tahu bahwa pernapasanku sedikit bermasalah akibat terpaan udara dingin tadi pagi, lalu meninggalkanku di kamar ini untuk beristirahat.
Tapi sudah dua jam berlalu dan aku masih belum bisa terlelap. Mataku terpejam tapi pikiranku melayang kemana-mana, membuatku tetap terjaga.