The Two Runaways

Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Chapter #8

Dilla: Road Not Taken

“Pegangan, Dil.”

Tanpa diminta pun, aku sudah lebih dulu menggenggam erat kedua sisi kursi penumpang yang kududuki. Gravitasi perlahan menarikku ke belakang seiring jip Aryan yang bergerak mendaki—kami sedang berusaha menaiki sebuah tanjakan curam di tengah hutan pinus.

Mobil yang kutumpangi menggerung keras. Kerikil-kerikil kecil menimbulkan bunyi gemerutuk, cipratan tanah berterbangan di sisi kanan dan kiri jip. Belajar dari pengalaman, aku telah menutup jendela di bagian penumpang, sementara Aryan terlihat tak peduli dengan tanah dan lumpur yang menelusup masuk ke dalam kendaraan. Sebagian lengan kausnya yang putih telah bernoda kecoklatan sejak tadi.

“Gas, Mas. Banting kiri dulu, baru lurus lagi,” instruksi seorang pria bertopi kupluk dari sisi kanan jip. Sebuah HT tergantung di salah satu sisi pinggangnya. Bapak itu mengenakan sarung tangan tebal dan rompi bermotif army. Dua orang pria lainnya berdiri di belakang, ikut mengawasi jip yang Aryan kendarai.

Setelah hampir lima menit mencoba, Aryan menggeleng-geleng sembari tertawa. Aku merasakan kendaraan yang kutumpangi perlahan mundur dan berhenti di dataran yang lebih rata. Aryan mengatur persneling dan memasang rem tangan. Mas Tyo muncul di sisi jip dengan raut geli, kemudian mengeluarkan perintah pada beberapa pria yang barusan membantu Aryan, “Kita pakai whinging aja.”

“Pemula nih, Mas. Sorry, ya. Jadi ketahan deh lo ma gue,” ujar Aryan seraya menyunggingkan senyum.

“Sante, Yan. Gue juga paling ntar pakai whinging. Tanahnya emang lebih licin. Habis hujan kan, soalnya.”

Aku melirik ke arah belakang, menemukan jip Mas Tyo yang berwarna merah dengan banyak tempelan sticker berhenti beberapa meter dari kami. Hanya ada tiga jip yang melakukan uji coba jalur offroad  hari ini, jip lainnya yang berwarna biru dikemudikan oleh anggota tim Mas Tyo—berperan sebagai pembuka jalan dan tengah menunggu di puncak tanjakan.

Tak lama, aku mendengar bunyi denting besi yang saling beradu. Pria tua dengan kupluk yang barusan berbicara dengan Mas Tyo muncul di hadapan jip kami dan meneriakkan perintah pada anggota tim lainnya. Mobil yang dikemudikan Aryan dan bumper belakang jip biru yang mendadak muncul di puncak tanjakan dihubungkan oleh whinging—tali berbahan kuat yang digunakan untuk menarik kendaraan di medan seperti ini. Tali itu perlahan mengetat, Mas Tyo memanjat menaiki tanjakan curam dan menghampiri pengemudi jip biru. Aryan kembali mengatur persneling. Saat aba-aba diberikan, Aryan menginjak gas dan membebaskan rem tangan. Dibantu dengan tarikan dari jip biru, kendaraan yang kami tumpangi berhasil memanjat tanjakan tersebut dalam waktu kurang dari semenit.

Setelah memastikan jip merah milik Mas Tyo berhasil melewati tanjakan yang sama, iring-iringan pun kembali melanjutkan perjalanan. HT di mobil Aryan berbunyi, suara Mas Tyo terdengar dari dalam benda tersebut.

“Santai dulu, ya. Sepuluh menit ke depan masih adem-ayem, kok. Rileks, lihat-lihat pemandangan dulu.”

Aryan menekan tombol samping pada HT dan menjawab dengan nada bercanda, “Versi adem-ayem lo beda, Mas. Kecele mulu nih, gue.”

Mas Tyo terlihat tertawa dari ujung sana. Keduanya lanjut membahas rute dan jalur yang akan diambil, sementara aku membuka jendela hingga hidung dan rambutku bisa merasakan angin semilir. Udara sejuk menyentuh pipiku, indera penciumanku menemukan aroma tanah. Cuaca sedikit gerimis saat kami sampai di titik keberangkatan pagi tadi. Kalau semuanya berjalan lancar, Mas Tyo menjanjikan bahwa kami akan bisa kembali sebelum sore.

Aku melirik Aryan. Cowok itu duduk sedikit lebih tegak dengan kedua tangan memegang setir. Meskipun tidak ekstrim, jalanan tanah yang kami lewati berbatu dan cukup berlubang sehingga Aryan memang tetap harus waspada untuk mencegah kerusakan mesin dan ban. Di depan jip, aku melihat dua motor trail berjalan mendahului rombongan—anggota-anggota tim Mas Tyo yang barusan membantu Aryan.

“Capek?” tanya Aryan padaku seraya tersenyum, sepertinya sadar dirinya sedang diperhatikan.

Gugup merayapiku sesaat, tapi aku tetap berhasil menjawab dengan tenang, “Saya gak ngapa-ngapain. Cuma duduk aja.”

“Capek mental maksudnya,” balas Aryan memancing senyumku.

Perjalanan ini memang cukup membuatku berdebar-debar. Terutama saat rombongan kami harus menyeberangi sungai beberapa saat yang lalu. Arusnya tidak terlalu deras, namun jalurnya berbatu dan cukup dalam. Air berwarna kecoklatan masuk ke dalam jip hingga kurang lebih semata kakiku. Aryan terlihat cukup tegang meski tetap bersemangat, sementara aku hanya bisa mematung dan diam-diam berdoa dalam hati.

Memang cukup memacu adrenalin, tapi setelah mendengar cerita-cerita Mas Tyo tentang perjalanan offroad lainnya, aku tahu bahwa rintangan yang kami hadapi belum ada apa-apanya.

Aku melirik peta pada smartphone milik Aryan. Titik GPS menunjukkan bahwa saat ini kami berada di kaki gunung Kawi. Mas Tyo memang sudah mengatakan bahwa tujuan akhir kami adalah salah satu air terjun setempat, namun bukan Coban Rondo yang sudah cukup dikenal wisatawan lokal.

“Ini sebenernya agak mirip jalur pas kita di Sukorejo kemarin ya,” komentar Aryan kemudian. Cowok itu memelankan laju kendaraan saat bertemu gundukan batu yang cukup besar. Dengan sedikit manuver, kami berhasil melewati rintangan tersebut tanpa banyak kesulitan.

“Tapi kan itu jalanannya udah aspal.” Sanggahanku membuat Aryan mengangguk-angguk seraya tertawa kecil. Smartphone milik Aryan berdenting dalam genggamanku. Sebuah pesan masuk, tapi aku tak lagi memberitahu Aryan tentang hal tersebut. Sebenarnya aku sempat tanpa sengaja melihat isi pesan yang masuk di malam kami menuju Batu, Malang. Sepertinya ibu Aryan menggunakan nomor asing untuk menelfon dan mengirim pesan. Mungkin Aryan kurang akur dengan orangtuanya, dan aku tak ingin membuat cowok itu kehilangan mood seperti saat itu.

Ah, aku jadi teringat Bunda. Malam tadi aku terbangun di kamar yang disediakan Mas Tyo dan Anna untukku. Masih dua jam lagi sebelum azan subuh berkumandang, tapi aku tak lagi bisa memejamkan mata, jadi aku memberanikan diri untuk kembali menyalakan smartphone milikku sendiri. Benar saja, Bunda mencoba menghubungiku malam sebelumnya dan mengirimku pesan singkat yang kontan membuatku meneteskan air mata.

------------------------------------------------------

Bunda

Dilla kenapa gak bisa ditelfon? Bunda kangen, Nak. Sore ini pulang ke rumah?

------------------------------------------------------

Sejak menjadi anak kos, aku memang menyempatkan untuk pulang ke rumah di akhir minggu. Semuanya terasa bagai mimpi, aku bahkan baru sadar bahwa ini adalah hari Jumat. Hari ke-4 aku melarikan diri dari Jakarta dan mengikuti Aryan hingga ke tempat ini. Aku membalas pesan Bunda pagi tadi—memberi alasan bahwa aku sedang ada urusan dan mungkin baru bisa pulang minggu depan. Rasa bersalah terhadap Bunda merayapiku, tapi semua masih bisa kukendalikan hingga tanpa sengaja aku ujung mataku menemukan nama Mel, HRD Murahmeriah.com. Mel mengirim beberapa pesan sejak hari Selasa yang lalu, kemudian mengingatkanku bahwa ketidakhadiran tanpa alasan diharapkan tidak lebih dari lima hari kerja.

Mel dan aku tidak dekat, tapi Mel memang ramah dan baik pada semua orang. Aku bahkan belum menjadi pegawai tetap, tapi dia tidak lupa menanyakan kesehatan dan kondisiku—khawatir karena pesan WhatsApp yang tak kunjung kubaca dan telfon yang tak kunjung kuangkat.

Dan malam kemarin pun aku masih tak kuasa memeriksa chat WhatsApp dari atasanku, Pristin Suryadi, yang telah bertambah menjadi 10 pesan.

Guncangan mendadak di sisi penumpang membuatku spontan berteriak. Dengan refleks Aryan menarik bahuku, menahanku agar tidak membentur jendela.

“Dil? Gak apa-apa?”

Aku mengerjap. Siku kiriku sedikit nyeri, tapi tidak ada luka fatal. Mobil masih berguncang kemudian. Dengan sigap, aku memegang erat sisi-sisi kursi. Rupanya aku terlalu asik melamun sampai tak sadar bahwa Aryan baru saja melewati tanjakan lainnya—tak lebih tinggi dari yang sebelumnya, tapi ada turunan curam setelahnya.

“Sorry, gue gak liat batu yang itu,” ujar Aryan sesudahnya. Aku mengangguk pelan, kemudian membetulkan posisi dudukku. Aku bisa merasakan Aryan melirik ke arahku, aku membalas tatapannya.

Lihat selengkapnya