Manis.
Itu adalah hal pertama yang muncul di benak gue saat melihat Dilla keluar dari kamar Anna menggunakan atasan tanpa lengan berwarna putih. Sebenarnya yang seharusnya menjadi perhatian utama adalah celana selutut bermotif batik pemberian Anna pada Dilla—salah satu produk yang sedianya akan dikirim Anna ke butik milik temannya di Australia. Atasan putih yang belakangan gue baru ingat bernama tanktop tersebut hanya bonus, supaya warnanya sesuai dengan bawahan baru Dilla. Namun, gue harus benar-benar berjuang untuk tidak terus-menerus memandang kulit putih Dilla yang terekspos dunia luar.
Sejak melihatnya menangis dan menyentuh pipinya kemarin di Coban Baung, gue memang jadi sedikit kampungan soal Dilla. Perjalanan pulang kami dari kaki Gunung Kawi setelahnya menjadi jauh lebih rumit. Pertama, karena ada beban mental untuk tidak menyetir sembarangan dan membawa Dilla masuk ke jurang. Atau, lagi-lagi memperlihatkan kelemahan gue dan membuat jip terguling hingga 90 derajat. Kedua, gue tidak bisa berhenti melirik ke arah cewek itu sepanjang perjalanan dan gue menjadi semakin takut membuat kesalahan pertama.
“Benar tidak apa-apa, Anna?” tanya Dilla lagi. Cewek itu menyebut soal atasan yang dua hari yang lalu baru saja diberikan Anna secara cuma-cuma dan betapa dia merasa Anna sudah terlalu banyak memberinya hadiah. Anna hanya tertawa. kemudian mengibaskan sebelah tangannya dengan santai—secara tidak langsung meminta Dilla untuk tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Tiba-tiba, seperti teringat sesuatu, Anna berjalan kembali ke dalam kamar miliknya dan keluar dengan beberapa kotak mika berisi aksesoris. Gue bisa melihat ekspresi Dilla yang semakin sungkan, membuat gue diam-diam tertawa dalam hati.
Kalau gue pikir lagi, sejak kami datang ke tempat ini, Anna tidak berhenti memuji dan berdecak kagum dengan wajah dan postur Dilla yang mungil. Istri Mas Tyo itu terus-menerus mengagumi rambut Dilla yang halus dengan ujung ikal, bibir Dilla yang merah muda, kulit Dilla yang putih bersih. Mungkin Anna menganggap Dilla tak ubahnya boneka porselen yang bisa didandani dan dikoleksi, yang mana menurut gue memang hampir tak ada bedanya. Baik Dilla dan boneka porselen sama-sama mini dan terlihat rapuh.
Namun, untuk yang terakhir gue memang harus berpikir ulang, cewek ini tidak serapuh yang gue duga. Sejak mengungkapkan isi hatinya di Coban Baung kemarin, Dilla menjadi lebih terbuka, lebih berani mengungkapkan pendapatnya. Dia bercerita tentang banyak hal, sebagian besar tentang pekerjaan. Salah satunya adalah ketidakcocokannya dengan tempat-tempat kerja yang merekrutnya setelah lulus kuliah, dan betapa keahlian yang dia kumpulkan selama sekolah seakan menghilang tanpa jejak. Kalau mengutip kata Dilla: “Seakan saya belajar semuanya tapi lupa mempelajari hal paling penting dan sampai sekarang pun tidak tahu apa”.
Lamunan gue terinterupsi oleh sorot mata Dilla yang melirik ke arah gue. Sebelah tangan cewek itu terulur ke hadapan Anna yang sedang mengaitkan rantai gelang dengan bandul-bandul motif ukir. Tahu bahwa cewek mungil itu sedang berharap gue berbicara sesuatu untuk mencegah Anna memberinya lebih banyak hadiah lagi, gue berpura-pura memeriksa jam pada pergelangan tangan kemudian bersuara cukup tegas, ”Gotta go, Anna.”
Anna menghela napas, “Kalian berdua benar tidak mau menginap sampai hari Minggu besok? Tyo bilang dia mau ajak kalian lihat perkebunan apel. Dia bilang mungkin dia bisa usahakan kembali besok pagi.”
Saat ini Mas Tyo sedang menjadi host untuk tamu-tamu besarnya di klub offroad Jawa Timur. Gue sendiri sudah pamit langsung pagi-pagi buta tadi sebelum sobat gue itu bertolak bersama anggota timnya yang lain. Sama seperti Anna, Mas Tyo juga mengatakan hal yang sama, tapi gue tak ingin merepotkan kedua orang itu lebih banyak lagi.
Lagipula, meskipun kemarin Dilla juga sempat mengungkapkan bahwa dia tak berencana untuk meneruskan pekerjaannya di Murahmeriah.com, rencana awalnya tetap adalah mengantar cewek itu kembali ke Jakarta.
“We got things to do in Jakarta, but we will surely meet again, Anna. Thank you for everything. You and Tyo have been so kind to us.” Gue perlahan berdiri dan menunggu Dilla dan Anna melakukan hal yang sama. Anna memeluk dan menyentuhkan sebelah pipinya pada Dilla, kemudian melakukan hal yang sama pada gue—hanya saja versi lebih singkat.
“I’m so happy to have you two here. It’s always great to have new faces in the house,” ujarnya seraya menepuk pundak gue dan Dilla.
Gue menanggapi kata-kata Anna dengan senyum lebar seraya mengikuti Anna dan Dilla bergerak menuju teras depan rumah. Jip kesayangan gue sudah terparkir manis tidak jauh dari sana. Bersih dan prima, seakan tidak pernah terguling berlumur lumpur dan cedera ban—hasil polesan anak buah Mas Tyo yang andal dan cekatan.
Seorang pesuruh mengantar backpack dan tas jinjing milik gue dan Dilla. Saat bapak tua itu membantu gue menyimpan barang-barang tersebut di jok belakang, gue bisa melihat bahwa Anna juga menyelipkan beberapa bungkus makanan kering khas Malang.
Setelah bertukar salam perpisahan untuk kesekian kalinya, Dilla masuk ke dalam mobil terlebih dulu. Gue sedang berjalan berputar menuju sisi pengemudi, ketika Anna menangkap sebelah siku gue dan berkata samar, “You two seem like having so much to think about right now. I don’t know what, but I hope everything would be just fine in the end. Pay us a visit whenever you feel like it. Give us a call and we’ll prepare everything for your stay.”
Gue tersenyum lebar. “Dilla memang sedang banyak masalah saat ini. Thank you, Anna. I’ll tell her that.”
“Oh, Aryan. Bukan hanya Dilla. You are lost too, and I hope the best for you as well.”
* * *
Langit berubah kemerahan tak lama setelah gue dan Dilla bertolak dari rumah Mas Tyo dan Anna. Gue selalu berpendapat bahwa perjalanan terasa lebih damai dan nyaman di malam hari, lagipula gue memang berencana untuk melihat sunrise di kota mana pun yang kami sambangi besok pagi. Mungkin gue akan kembali ke Solo, atau mungkin gue akan mencoba melihat keindahan bukit dan teluk Pacitan di pagi hari.
“Mau lewat mana, Yan?” tanya Dilla seraya membuka aplikasi penunjuk jalan pada smartphone miliknya. Gue tersenyum simpul. Cewek ini sedikit demi sedikit telah berani menyentuh hal-hal yang tadinya membuatnya takut luar biasa.
Pagi tadi saat gue memanggilnya untuk sarapan, gue melihat sebuah laptop hitam di atas nakas samping tempat tidurnya. Soft case kosong berwarna senada tergeletak pasrah di daun bingkai salah satu jendela yang terbuka. Gue memutuskan untuk tidak bertanya lagi perihal kondisi laptop Dilla yang sempat terjatuh dari ketinggian dan tergilas mobil di area Kuningan hari Senin yang lalu—bukan itu yang terpenting.
Lagi-lagi gue merasa kampungan, karena diam-diam gue bangga dengan keberanian cewek yang satu ini.
Dari sudut mata, gue menyadari Dilla yang melirik gue dengan raut menunggu karena gue tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Cari tempat makan dulu aja, deh,” jawab gue pada akhirnya.
Dilla tidak menjawab, hanya menaikkan kedua alisnya, menanti penjelasan lebih lanjut dari gue.
“Cari kuliner enak deket sini. Kita makan malam terus nanti gue googling dulu rute perjalanannya. Biar sekalian bisa cari lokasi buat foto-foto.”
* * *
Seporsi pecel ala Blitar yang habis tandas dan gue baru sadar bahwa ini adalah malam minggu. Semuanya berjalan baik-baik saja, namun kemudian seorang pegawai yang membawa minuman hangat pesanan gue menyapa gue dan Dilla sebagai sepasang kekasih. Gue hanya tertawa datar sebagai balasan, tidak terlalu menanggapi, tapi jantung gue pun mendadak seakan berhenti saat melihat pipi Dilla yang sedikit bersemu.
Sial. Gue harus mati-matian bersikap santai setelahnya.