------------------------------------------------------
Pristin Suryadi (Selasa, 16 Juni 20xx) :
Fadilla di mana?
Ini sudah hampir jam makan siang Fadilla, di mana?
Pristin Suryadi (Rabu, 17 Juni 20xx) :
Hai Fadilla, saya coba hubungi tapi tidak diangkat
Apa bisa kamu upload file yang kamu kerjakan? Saya mau minta Hedi untuk ambil alih
Fadilla?
Pristin Suryadi (Kamis, 18 Juni 20xx) :
Hi Fadilla, hari ini ke kantor?
Ini hari ke-3 kamu tidak bisa dihubungi, kalau kamu tidak bisa membalas pesan ini, tolong minta teman atau keluarga kabari ke kantor
------------------------------------------------------
Dari semua orang yang pernah menjadi atasanku, Pristin adalah yang terburuk. Bukan karena bicaranya merendahkan. Bukan karena dia mengakui jerih payah orang lain. Bukan juga karena dia suka berkata kasar. Percayalah, ketiga kualitas itu pernah ada dalam kolega dan atasan-atasanku sebelumnya, tapi Pristin bukanlah tipe pemimpin yang seperti itu.
Aku membencinya, karena dia adalah satu-satunya mantan bosku yang tahu kondisiku. Dia pernah memergokiku menangis di kamar mandi kantor pada bulan pertamaku bekerja. Tak lama setelah dia menegurku soal pekerjaan di depan anggota tim lainnya. Aku tidak juga kembali bahkan setelah jam istirahat berakhir dan saat aku akhirnya keluar dari kubikel dengan mata sembap, Pristin melihat ke arahku dengan raut yang tak bisa kutebak.
Aku berharap, dia akan lupa, atau mungkin berpura-pura tidak tahu. Namun tidak, Pristin punya caranya sendiri untuk menanggapi. Keesokan harinya, seluruh anggota divisiku tahu rahasia yang hampir dua tahun lebih mati-matian kujaga—semua karena Pristin menyindirku di akhir sebuah rapat kerja.
“Kalau ada masalah terkait pekerjaan boleh dibicarakan dengan saya atau HRD, ya. Jangan stress, jangan nangis diam-diam di kamar mandi ya, Dilla?”
Wanita itu mengakhiri kalimatnya dengan gelak halus seakan semuanya hanyalah candaan belaka. Kolegaku yang lain pun ikut tertawa meskipun aku bisa melihat raut ragu di wajah mereka.
Detik itu, aku tahu bahwa aku tidak baik-baik saja.
Mungkin terdengar seperti melebih-lebihkan, aku sendiri pun tidak benar-benar percaya dengan apa yang Pristin lakukan kali itu. Fakta bahwa seseorang dengan terang-terangan menganggap kondisiku sebagai hal yang lucu terasa seperti sesuatu yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Ini bukan taman kanak-kanak, kami bukan anak ingusan. Tidakkah seharusnya semua orang paham bagaimana membedakan mana hal yang boleh dibahas dan yang sebaiknya diabaikan?
Namun Pristin sekali lagi membuktikan padaku bahwa akan ada orang-orang yang tak peduli dengan apa yang kurasa. Yang memberitahuku bahwa aku hanyalah anak manja jika dibandingkan kolegaku yang lainnya. Dan dia mengingatkanku akan itu setiap hari, dengan tuntutan-tuntutannya, sindiran-sindirannya, sorot matanya, pesan-pesannya di grup WhatsApp yang menuduhku terlalu lama di toilet dan memintaku untuk segera kembali ke kubikel karena ada deadline pekerjaan yang tak bisa ditunda.
Dia mendesakku, membuatku terpojok, menghitung jam kehadiranku, dan itulah yang membuatku tak tahan dengannya.
Ada total 7 pesan yang Pristin kirimkan selama 3 hari awal aku menghilang. Selanjutnya Mel dari divisi HRD yang rutin terus mencoba menghubungiku. Hari ini akhirnya aku membalas pesan-pesannya. Meminta maaf karena aku tak membalas hampir seminggu lamanya dan menyampaikan maksudku untuk mengundurkan diri.
------------------------------------------------------
Melisha Maulida:
Baik, Dilla, aku mengerti
Nanti aku akan bantu urus untuk pengunduran dirimu
Aku cuma mau minta tolong sedikit saja
Me:
Apa Mba Mel?
Melisha Maulida:
Tolong tulis surat pengunduran diri resmi ya, via email saja tidak apa-apa
Me:
Aku kirim ke Mba Mel?
Atau harus aku kirim ke Bu Pristin juga?
Melisha Maulida:
Tertujunya ke HRD Murahmeriah.com saja tidak apa-apa Dilla
Nanti bisa aku saja yang teruskan ke bu pris
------------------------------------------------------
Aku menghela napas. Ada lega yang teramat besar sekaligus rasa bersalah.
Apa benar tidak apa-apa aku menghilang seperti ini? Haruskah aku memaksakan diri untuk setidaknya mengirimkan pesan perpisahan atau penjelasan pada Pristin? Seperti apa cara yang paling pantas mengakhiri semua ini?
Membayangkan aku harus mengirimkan surat pengunduran diri pada Pristin langsung membuatku gentar. Aku tak ingin tahu apa reaksinya padaku.
------------------------------------------------------
Me:
Iya, Mba Mel
Akan aku kirimkan secepatnya
Melisha Maulida:
Besok juga tidak apa-apa, Dilla
Gak perlu buru-buru
Me:
Oh, maaf banget mba
Aku udah ngerepotin
Melisha Maulida:
Gak apa-apa
Jangan sungkan, Dilla J
Btw, kamu baik-baik saja? Di rumah atau di kos?
------------------------------------------------------
Aku menelan ludah. Ini bukan pertama kalinya Mel menanyakan hal yang sama. Belasan pesan yang sempat tak kubaca sebelumnya rata-rata bernada khawatir. Ingin tahu apakah saat ini aku dalam kondisi yang aman. Aku belum benar-benar menjawab keingintahuannya
------------------------------------------------------
Me:
Aku gak apa-apa Mba Mel
Sedang ada urusan di luar kota
Maaf sekali aku baru bisa memberi kabar
Melisha Maulida:
Yang terpenting, kamu baik-baik saja
Gak perlu minta maaf lagi
Kalau nanti kamu perlu bantuanku, kabari saja, ya
Sehat-sehat Dilla
Me:
Makasih banyak Mba Mel
Jaga kesehatan juga, Mba
Melisha Maulida:
Sama-sama, Dilla
Oh, Dilla, satu lagi
Bu Pristin menanyakan kabarmu setiap hari
Bu Pristin bahkan minta minta aku menghubungi keluargamu
Sepertinya beliau cukup khawatir
------------------------------------------------------
Aku membaca baris pesan terakhir dari Mel. Tadinya aku berpikir bahwa mungkin aku tak perlu membalasnya lagi dan mengganggu Mel lebih lama, tapi kata-kata terakhir Mel membuatku merasa gamang. Setelah berpikir beberapa saat, aku menekan tombol back dan menutup aplikasi WhatsApp pada ponsel yang kugenggam.