“Kenapa ‘saya-kamu’?”
Kedua alis Dilla bergerak naik. Semilir angin meniup sisi rambutnya yang ikal. Sebelah tangan cewek itu memasukkan beberapa helai ke belakang telinga. Jari-jari gue terasa gatal mendadak. Tanpa menyentuh pun gue tahu helai demi helai rambutnya akan terasa halus luar biasa—persis seperti milik bayi yang baru lahir.
“Kenapa kalau ngomong pakainya ‘saya-kamu’? Bukan ‘gue-elo’?” ulang gue saat Dilla belum juga memberikan jawaban. Cewek ini memang butuh waktu untuk memberikan tanggapan tentang hal-hal yang berhubungan dengan dirinya.
Dilla menggigit bibir. Gue memasukkan sebuah pisang goreng ke dalam mulut. Pisangnya empuk, rasanya luar biasa manis dan adonannya kenyal. Enak. Mungkin gue akan mampir lagi ke warung pinggir pantai tempat gue membeli jajanan ini barusan.
“Saya...” Dilla berhenti sejenak, rautnya sekilas berubah malu, “…gak tahu. Dari kecil gak bisa pakai ‘gue-elo’, udah coba, tapi gak bisa. Sampai dulu sering diledek sama temen-temen.”
“Diledek karena…” gue membiarkan kalimat gue mengambang. Di kejauhan, sekumpulan burung bergerak menuju garis laut. Tidak ada ombak besar pada jam ini, semuanya terlihat tenang, hanya riak-riak kecil di bibir pantai.
“Karena terlalu formal. Katanya saya sok jadi anak baik.”
Gue tersenyum kecil. Dilla pernah bilang bahwa dia tak mudah berteman. Selalu merasa berbeda, dan tak pernah benar-benar tahu bagaimana menyesuaikan diri. Nurul dan Rere adalah dua teman pertamanya yang bisa dibilang cukup dekat dan lama.
“Tapi kalau ngomong sama Fajar saya pakai ‘gue-elo’, sisanya ‘aku-kamu’, atau sebut nama.”
Fajar, adik laki-laki Dilla satu-satunya, mahasiswa tahun pertama. Dilla juga punya satu kakak perempuan, Febi, yang sudah menikah dan sekarang tinggal bersama suami dan satu anak perempuan di Padang. Dilla pun sudah pernah memberitahu gue soal itu.
“Kenapa sama Fajar bisa ‘gue-elo’ tapi ke yang lain enggak?” gue menyodorkan kantong kresek berisi camilan pisang goreng. Dilla bergerak mendekat, mengambil satu, kemudian mendudukkan diri di atas pasir berwarna coklat tua. Sisi Pantai Pancer di Teluk Pacitan tempat kami berada memang lebih indah dilihat dari atas, di luar itu semua terasa biasa saja. Dalam hati, gue berjanji untuk menyempatkan diri membawa Dilla ke Pantai Srau nanti—salah satu pantai di area Pacitan yang terkenal akan dan karang-karang besar, mata air tawar, serta air laut berwarna biru kehijauan.
Dilla menggeleng, cewek itu tersenyum sungkan. Seakan dia ingin berkata bahwa dia memang aneh, dan itu adalah satu-satunya jawaban yang bisa dia berikan.
Gue menarik napas dalam, kemudian merebahkan diri pada hamparan pasir yang terasa hangat. Matahari belum mencapai puncak kepala, tapi satu-dua jam lagi semuanya akan terasa panas membakar. Jadi gue rasa gue akan memanfaatkan momen sempurna ini.
“Gue rasa lo cuma terlalu mikirin orang lain,” kata gue lagi.
Dua detik kemudian, Dilla memberikan respons, “Mungkin.”
“Jadi kalau kesel gimana?”
Dilla tak menyahut, sepertinya tak cukup paham dengan pertanyaan yang gue ajukan.
“Kalau lagi kesel sama orang gimana? Ngomongnya tetep sopan gitu? Pakai ‘saya-kamu’?”
Kali ini gue tidak langsung mendapatkan jawaban, jadi gue membuka mata dan menoleh ke arah Dilla. Dari sisi ini gue bisa melihat sebelah lengannya yang putih dan mungil, pinggang dan punggungnya yang tipis—seakan cewek itu bisa lebur dengan pasir tempatnya duduk dan terbawa ombak kapan saja.
“Kalau terlalu kesel ya biasanya diem aja, kalau bisa gak usah ngobrol,” ujar Dilla kemudian, sadar bahwa gue masih menunggu.
“Gak pernah marah? Gak pernah kelepasan maki orang, gitu?”
Gue melemparkan pernyataan itu tanpa banyak berpikir, tapi respons Dilla berikutnya cukup membuat gue terkejut.
“Saya maki orang juga, kok.”
Otak gue langsung menampilkan wujud Dilla, dengan tubuh kecil dan bibir mungilnya, membentak orang dengan kata-kata semacam “brengsek” atau makian lain yang lebih kasar. Gue sampai bangkit kembali ke posisi duduk karena tertarik dengan penjelasan cewek itu mengenai hal tersebut.
Pandangan kami saling bertemu dan Dilla pun meneruskan kalimatnya dengan raut datar, “Dalam hati. Saya maki orang dalam hati.”
Gue tertawa terbahak dan hampir tersedak oleh air liur gue sendiri.
* * *
Butuh waktu sehari semalam untuk berpindah dari Banyuwangi hingga Pacitan. Sebelum gue mendadak menculik Dilla ke Kawah Ijen tadinya gue akan membawa cewek itu menyambangi Dieng, tapi Dilla terlihat sedikit kurang enak badan. Jadi gue pikir, mungkin akan lebih baik jika gue dan Dilla mengunjungi tempat yang tidak terlalu ekstrim dulu, tidak terlalu membutuhkan banyak mendaki dan memanjat. Gue bermaksud membiarkan Dilla santai, agar bisa sekadar melihat pemandangan dan menikmati kuliner lokal.
“Garis pantai selatan Jawa itu lebih tua dari pantai utara-nya, Neng. Luwih dalem. Luwih luas. Itu makanya ombaknya juga lebih besar.”
Gue menahan tawa saat melihat Dilla mendengarkan dengan raut serius. Cewek itu sampai menghentikan kegiatannya menyantap semangkuk bubur kacang hijau. Aki Salam, kakek pemilik warung kecil tidak jauh dari batas Pantai Pancer tempat gue dan Dilla singgah dan mengobrol sore ini, berdiri dengan postur sedikit membungkuk. Pria bertubuh kurus dengan rambut putih itu meletakkan secangkir kopi pesanan gue, kemudian duduk pada sebilah kursi rotan di dekat pintu yang tidak jauh dari meja kami.
“Pantai utara Jawa itu adanya dari daratan yang makin lama makin dalem. Sungai mbentuk, pulau Jawa sama pulau Kalimantan, Sulawesi, sama pulau-pulau lain jadi misah. Makanya pantai utara itu tenang. Gak kayak di sini.”
“Waktu itu pernah ada ombak besar ya, Ki? Tahun lalu, ya? Di Pacitan bukan?” gue ikut nimbrung ke dalam obrolan. Perlahan gue menyeruput kopi dari gelas bening kecil. Luar biasa hangat dengan jejak legit gula jawa dan aroma jahe serta pandan. Lumayan juga, lebih enak dari yang gue minum minggu lalu di Ketep Pass.
“Ooo… yang tahun lalu masuk tipi itu di Kebumen, deket dari sini. Ombaknya sampai delapan meter!”
Gue melihat kedua alis Dilla bergerak naik. Pandangannya perlahan melirik pemandangan laut di kejauhan. Warung Aki Salam ini memang terletak di jalan perbukitan yang sedikit tinggi jika dibandingkan wilayah pantai, tapi debur ombak masih terdengar samar-samar. Bentuk warungnya lebih mirip bale-bale dengan dinding bambu setinggi pinggang dan atap rumbia, mempersilakan udara sejuk masuk dan meniup anak-anak rambut.
“Ah tapi itu mah belum apa-apa. Aki malah dulu waktu kecil pernah lihat ombak lebih tinggi lagi. Beberapa minggu gak ada yang brani nglaut. Almarhum kakek Aki waktu itu bilang, nyai ratu Kidul lagi ngamuk. Anak-anak kecil sama perempuan-perempuan pada dikurung di rumah.”
Gue dan Dilla sama-sama tidak menyahut, masih meresapi cerita Aki Salam.
“Pacitan itu paket lengkap. Gunung ada. Pantai banyak. Goa-nya lebih lagi, luwih banyak. Ini Mba Dilla sama Mas Aryan pada mau kemana abis ini? Pantai lainnya? Gunung Lanang? Atau ke Teluk Pacitan?”
Gue memang sudah pernah mendengar soal Gunung Lanang dan sedikit tertarik untuk mencoba melihat pemandangan dari puncaknya. Namun, seperti rencana gue semula, gue ingin memberi waktu Dilla untuk beristirahat dan bersantai, jadi kemungkinan besar gue akan mengambil alternatif lokasi wisata lainnya.
Mungkin tidak hari ini. Mungkin besok, atau lusa.
“Katanya Goa Gong-nya Pacitan terkenal ya, Ki?” celetuk Dilla tiba-tiba.
Mendengar nama goa paling terkenal di seantero Pacitan, Aki Salam mulai asik bercerita tentang indahnya Goa Gong yang menjadi rumah bagi mata air yang katanya bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Kakek tua itu juga menyebutkan Goa Tabuhan, dan Goa Kakak yang katanya merupakan tempat pesugihan dari salah satu pejabat besar negara.
Dilla terlihat tertarik mendengar cerita Aki Salam. Cewek itu kerap bertanya tentang akses menuju goa-goa tersebut, yang dijawab dengan penuh semangat oleh Aki Salam. Saat seorang pengunjung masuk dan duduk di ujung warung lainnya, Aki Salam pun terpaksa menghentikan obrolannya sementara untuk melayani pesanan.
“Emang mau ke sana?” tanya gue tak lama setelah Aki Salam berlalu.
Kedua bola mata Dilla membesar. Bibirnya menipis, cewek itu terlihat mempertimbangkan sebelum merespons kata-kata gue dengan balik bertanya, “Aryan udah pernah ke sana, ya?”
“Goa Kakak sih belum.”
Dilla bergumam sebelum meneruskan kata-katanya, “Ya kalau gitu ke tempat yang Aryan belum pernah, aja.”
“Sebenernya bisa sih kalau mau mampir Goa Gong. Tapi, emangnya gak capek? Gak pengen nyantai dulu?”
Sesaat, cewek itu terdiam, terlihat sedikit tergoda dengan tawaran gue, membuat gue tak tahan untuk tersenyum lebar.
“Dari kemarin udah ngikut maunya gue terus, kali ini terserah lo deh mau kemana.”
“Tapi… saya gak tahu mau ke mana…”
Gue menghela napas. Sejak awal, cewek ini mengingatkan gue akan seseorang. Selalu mengikuti keinginan banyak orang dan melupakan dirinya sendiri.
“Yaudah, pokoknya sekarang kita turun ke kota dulu, aja. Sekalian cari tempat cuci baju.”
* * *
Bertahun-tahun menjadi traveller, gue sudah terbiasa dengan stok pakaian seadanya di ransel. Bagi gue dan teman-teman petualang gue lainnya, mobilitas jauh di atas segalanya. Lagipula, selalu ada jalan keluar jika baju yang menempel di tubuh sudah tak layak pakai. Selalu ada penduduk dan fasilitas lokal yang bisa memberikan solusi. Mencuci dan menjemur pakaian dalam di mata air di pun biasa gue lakukan demi alasan praktis.
Bukan karena gue pria. Teman-teman traveller perempuan gue pun rata-rata punya prioritas yang sama. Namun jelas, mereka sudah lebih terbiasa.
Untuk Dilla, jelas berbeda.
Tadinya, gue berniat untuk mencari jasa laundry di Pacitan kota. Gue sudah menemukan beberapa tempat via Google dan sempat berhenti untuk bertanya pada penduduk lokal. Namun, saat gue kembali ke mobil dan menemukan Dilla duduk di kursi penumpang jip milik gue dengan posisi setengah meringkuk, gue tahu ada yang tidak beres.
“Dil, gak apa-apa?” tanya gue setengah memburu setelah membuka pintu pengemudi. Sadar dengan kehadiran gue, Dilla membetulkan posisi duduknya yang tadinya bersandar pada jendela di sisinya, kedua kakinya pun kembali menjejak jok. Cewek itu memaksakan senyum dengan wajah yang terlihat lebih lesu dari biasanya, bibirnya bahkan berwarna pink pucat.
Tanpa menunggu jawaban, gue menempelkan sebelah tangan gue ke dahi dan leher Dilla. Suhu tubuhnya normal, namun sedikit lembap karena keringat, padahal pendingin udara mobil gue biarkan menyala. Gue tahu cewek itu memang terlihat tidak enak badan sejak kemarin, tapi gue pikir kondisinya sedikit membaik.
“Gak apa-apa, Yan. Cuma, pusing aja.”
“Cari dokter? Di sini ada rumah sakit, kok. Tadi kan kita sempet lewat—”