Aku bisa mendengar dengkur halus Aryan.
Cowok itu terlelap seraya bersandar pada meja kecil di sisi tempat tidur tempatku berada saat ini. Punggungnya berganjalkan bantal, sementara kepalanya terkulai ke kanan, bertumpu pada sisi kasur yang dialasi jaket miliknya.
Kami hanya berjarak kurang dari setengah meter.
Secercah cahaya putih kekuningan mengintip dari sela tirai, sinarnya jatuh ke kaki peraduanku. Suara-suara berisik yang mengganggu semalam itu tak lagi ada, digantikan suara motor yang sesekali membunyikan klakson di jalan di luar sana.
Hari apa ini? Kurasa sudah seminggu lebih sejak aku pergi dari Jakarta.
Aku mengerjapkan mata, mencoba menjernihkan pikiran.
Kamis. Hari ini hari Kamis. Aku berusaha mengingat apa yang biasanya kulakukan di hari seperti ini, tapi aku tak terlalu bersemangat untuk meneruskan.
Dengkur Aryan terdengar lagi. Aku meneliti sisi samping wajahnya. Batang hidungnya pendek dan sedikit bengkok, namun mancung. Alisnya tidak terlalu tebal, tapi bulu matanya lentik.
Aku membetulkan posisi tidurku, berbantalkan siku kananku, aku memandangi Aryan dengan lebih seksama.
Kalau kupikir lagi, sebenarnya ini bukan kali pertama kali aku dan Aryan tertidur di ruang yang sama. Awalnya aku dan Aryan selalu bergantian untuk tidur di luar saat yang lainnya beristirahat di dalam jip. Aku biasanya akan mengenakan mukena dan tidur di karpet masjid di tempat yang kami singgahi. Aku akan memilih area yang cukup terang, kemudian terlelap berbantalkan tas selempang hitamku. Terkadang Aryan yang tertidur di musala pom bensin sementara aku yang tertidur di mobil. Baru setelah bertolak dari Malang kami mulai santai memilih tidur di jip bersamaan—biasanya di halaman parkir rumah sakit dengan jendela setengah terbuka.
Tapi kali ini terasa berbeda. Aku seperti ingin membiarkan Aryan tertidur lebih lama, ingin mendengar dengkurannya tanpa melakukan apa-apa.
Rasanya aneh, aku tak pernah menyangka Aryan menyimpan beban seberat itu. Semalam, selama Aryan bercerita tentang bagaimana ayahnya pergi dengan begitu tiba-tiba, aku hanya bisa terdiam mendengarkan. Lambungku serasa diremas saat Aryan mengambil napas beberapa kali, sebelum menyebutkan dengan lirih, “Beberapa tahun sesudahnya, gue baru tahu bahwa bapak gue bunuh diri.”
Aku tak tahu harus berkata apa. Ketika akhirnya tangis Aryan pecah, dituntun naluri, aku memeluknya, membiarkannya menangis dalam rangkulanku. Rambut Aryan berbau asin laut, begitu yang kuingat. Rambutnya halus, ujung bahunya yang kusentuh begitu liat. Saat Aryan memeluk pinggangku dengan salah satu tangannya dan merapatkan jarak, aku merasa begitu mungil, tapi di saat itu, Aryan lah yang terasa lebih rapuh.
Sewaktu kuliah dulu, aku ingat Nurul pernah sambil lalu berkata bahwa dia menyukai Aryan. Ini jauh sebelum Nurul berpacaran dengan Petra—kekasihnya sejak kuliah tingkat akhir sampai hari ini. Kala itu, aku tak pernah tahu bagaimana menanggapi Nurul yang begitu menggebu-gebu menceritakan obrolan-obrolan kecilnya bersama Aryan pada pertemuan-pertemuan kerja kelompok mereka yang singkat, atau bagaimana Aryan sesekali muncul untuk berkumpul bersama senior-senior unit pecinta alam yang diikuti Nurul di kampus. Biasanya aku hanya mendengarkan, Rere-lah yang lebih aktif menggoda Nurul.
Tapi aku sedikit banyak bertanya-tanya, apakah Nurul, Rere, juga teman-teman kampusku yang lain juga tahu bahwa Aryan serapuh ini? Aku mencoba mengingat kembali, tapi hanya bisa menemukan kata-kata ‘baik’, ‘konyol’ dan ‘menyebalkan’ yang seringkali diucapkan Nurul dengan penuh senyum saat dia bercerita tentang Aryan.
Nurul dan Aryan sudah berteman lama. Setahuku keduanya masih sesekali bertegur sapa bahkan setelah lulus kuliah, tapi apakah Aryan pernah menyebutkan tentang kisah keluarganya pada Nurul?
Tapi jika tidak, aku tak bisa membayangkan untuk mengenal seseorang dan merasa dekat, hanya untuk menyadari bahwa orang itu telah mengalami banyak hal yang tak pernah kita tahu.
Mendadak aku juga jadi bertanya-tanya: apa yang orang lain pikirkan tentangku selama ini? Apa yang dipikirkan Nurul, Rere, dan Bunda tentangku?
Apa yang Aryan pikirkan tentangku?
Suara dengkur Aryan menghilang tiba-tiba. Cowok itu perlahan meluruskan duduk, mengusap-usap bagian mulut dan wajahnya dengan sebelah tangan. Refleks, aku berpura-pura memejamkan mata, memundurkan sedikit posisi tidurku.
Tanpa melihat, aku mendengar suara Aryan yang perlahan berdiri. Aku mendengarnya merutuki beberapa sendi. Suasana hening setelahnya. Aku berpikir apakah Aryan memutuskan untuk pindah ke kamarnya sendiri. Setelah beberapa menit tanpa suara pintu yang terbuka atau suara dengkur Aryan lagi, aku perlahan membuka mata.
Aku tidak menemukan sosok Aryan, tapi menemukan salah satu ujung lututnya yang menyembul dari pinggiran kasur.
Perlahan aku duduk, melongokkan wajah. Aryan tengah tidur hanya beralaskan lantai dengan bantal serta lipatan jaket yang menyangga lehernya.
Tersadar bahwa aku telah bangun, Aryan kembali membuka mata, pandangannya bertemu denganku.
Masih dengan posisi telentang, Aryan tersenyum kecil, kedua matanya masih terlihat bengkak, untuk pertama kalinya cowok itu terlihat bingung dan tidak bisa berkata-kata.
Aryan membuka mulut, tapi aku mengeluarkan suara terlebih dulu.
“Di atas saja, Aryan.”
Cowok itu diam. Meneliti rautku. Aku sendiri tak tahu mengapa, tapi aku mengulangi kata-kataku.