The Two Runaways

Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Chapter #13

Dilla: Ayah

Mimpi itu lagi.

Aku bermimpi tentang roda yang menggelinding di atas jalan aspal yang tidak rata. Seseorang berteriak “Cepat. Lebih cepat lagi! Yang seimbang! Jangan sampai jatuh!”. Mengejar waktu, benda itu menggelinding lebih banyak dari sebelumnya. Gigi dan seluruh tubuhku terasa ikut bergemerutuk seiring gesekannya.

“Lebih cepat, Fadilla!” teriak seseorang lagi. Aku baru sadar bahwa roda itu merupakan bagian dari sepatu roda yang kukenakan sewaktu aku kelas 1 SD. Semuanya terasa berwarna sephia. Aku dengan kaos dan celana pendek selutut, lalu helm dan pelindung sendi di tangan dan kaki. Bunda berdiri di garis finish bersama Febi, kakak perempuanku. Waktu itu Fajar belum lahir. Ayah masih tegap, rambutnya masih hitam, belum ada secuil uban pun di sana.

Aku menggigit bibir, melihat sosok Ayah berlari mengikutiku dari sisi lapangan, menyemangatiku yang sedang menjadi peserta lomba sepatu roda. Aku merunduk, mengayunkan tangan, berusaha meraih kecepatan. Lalu salah satu peserta menduluiku. Aku kenal dia. Rani, anak perempuan Tante Alin teman arisan Mama yang hanya terpaut 1 tahun lebih tua dariku. Aku menengok ke arah lain, menemukan raut Ayah yang memandang anak Tante Alin dengan gemas. Kemudian melirikku.

Detik itu aku kehilangan keseimbangan. Kemudian terjatuh ke depan. Sebelah pelindung lututku terlepas dan nyeri menyerangku. Aku hanya ingat berdoa dalam hati supaya Ayah tak melihat. Saat aku berusaha untuk berdiri, peluit berbunyi nyaring. Pemenang lomba kali ini sudah ditentukan.

Di sela napasku yang tersengal, aku mencari-cari sosok Ayah. Aku melihat beliau masih memandang garis finish dengan pandangan menerawang. Tangannya bertolak pinggang, tubuhnya tegap. Aku bisa melihat sisi wajahnya, alisnya terlihat tajam menukik.

Melihat itu, aku terburu-buru berusaha untuk berdiri. Kupikir bahwa kalau dia melihatku hanya duduk diam saja tanpa melakukan apa-apa, aku akan membuatnya lebih kecewa.

Tapi aku tak benar-benar tahu harus berbuat apa.

* * *

Aku terbangun dengan peluh di pelipisku. Sebelah leher kiriku terasa nyeri. Aku melihat sekeliling dan menemukan Aryan tertidur di kursi pengemudi, di sampingku. Kursinya dimundurkan dan kedua kakinya naik ke atas kemudi. Mesin mobil mati dan 4 sisi jendela sudah dibuka secukupnya sehingga kami mendapatkan udara.

Parkiran rumah sakit umum daerah Dr. Darsono Pacitan tempat jip Aryan berada cukup lengang. Tempatnya tidak jauh dari Alun-alun Pacitan dan kantor polres setempat. Kami sengaja memilih area dekat lampu terang di pintu masuk lobi. Jika ada yang mengetuk mobil dan bertanya, kami akan beralasan sedang menunggu keluarga yang sedang dirawat.

Aku membetulkan posisi duduk. Jam di dasbor menunjukkan pukul setengah 4 pagi. Entah sejak kapan aku terlelap. Seingatku, aku dan Aryan sedang mengobrol tentang banyak hal sebelumnya setelah kami bosan berada di Alun-alun Pacitan, kurasa aku tertidur lebih dulu.

Setelah membasahi tenggorokan dengan air mineral, aku kembali merebahkan diri pada kursi penumpang. Kali ini aku berbaring menyamping menghadap Aryan. Kutekuk kedua lututku, dan kulebarkan jaket milik Aryan untuk menutupi bahu hingga lututku. Dengkur tipis Aryan membuatku sedikit tenang.

Mimpi itu lagi. Mimpi tentang Ayah.

Kenangan akan lomba sepatu roda itu terjadi hampir 15 tahun yang lalu. Aku ingat, bahkan setelah aku kalah di perlombaan tersebut, Ayah tetap menuntutku untuk berlatih sepatu roda sesudahnya. Perintah Ayah kulakukan dengan sepenuh hati setiap Sabtu. Febi seharusnya ikut berlatih bersamaku tapi kakak perempuanku itu biasanya hanya berpura-pura memutari blok perumahan kami sebentar sebelum menekan salah satu bel rumah di ujung jalan. Febi lebih suka bergosip dengan teman sebayanya. Aku tetap berlatih, meski Ayah tak melihat.

Itu semua kulakukan karena Ayah selalu bilang bahwa aku tak boleh mudah menyerah. Harus berlatih lebih banyak supaya bisa menang di perlombaan berikutnya. Aku selalu menuruti apa yang Ayahku inginkan.

Bahkan setelah Fajar adikku cukup besar untuk menggunakan sepatu rodaku, sehingga aku terpaksa merelakan sepatu roda hadiah dari Ayah untuk adik laki-lakiku, aku selalu menuruti apa yang Ayah perintahkan. Aku tak pernah sempat menunjukkan hasil latihanku pada Ayah, tak ada perlombaan sepatu roda berikutnya untukku.

Ayah juga memintaku untuk belajar dengan rajin di sekolah. Ayah tahu bahwa aku cukup pandai berhitung dibanding teman-temanku, maka beliau selalu memeriksa hasil ujianku. Febi sempat merasa iri karenanya, kakak perempuanku itu tak begitu suka belajar. Tanpa peduli dengan permintaan Febi yang ingin sekolah di sekolah swasta populer, Ayah memasukkan Febi ke SMK administrasi, kemudian menyuruhnya ikut Akademi Sekretaris. Ketika Febi memutuskan tidak meneruskan studinya di akademi untuk menikah dan ikut dengan suaminya ke Padang, Ayah langsung setuju.

Mungkin itu sebabnya Ayah berharap banyak padaku. Beliau memastikan agar aku masuk ke sekolah negeri terbaik. Selalu menuntutku untuk belajar dari kesalahan dan tidak mudah menyerah.

Aku tak pernah membantah, bahkan saat Ayah melarangku untuk pergi ke pesta-pesta sweet seventeen teman-temanku di SMA atau prom night, aku menurut saja.

Lihat selengkapnya