The Two Runaways

Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Chapter #14

Aryan: Benteng

Gue mengangkat gimbal dengan sebelah tangan, memastikan kamera gue berada setinggi dada. Mata gue tetap fokus pada hasil rekaman gue di layar yang sengaja gue putar sedikit mendongak ke atas. Di sana, Dilla sedang berjalan di antara pilar-pilar melengkung berwarna abu-abu kecoklatan.

Kalau hasilnya cukup bagus, ini akan menambah video perjalanan gue dan Dilla. Cinta gue memang pada fotografi, tapi sebenarnya sudah lama gue berminat untuk mencoba lebih banyak merekam dan mengedit video. Gue sampai rela membawa serta kamera mirrorless gue dalam perjalanan ini. Memory card tambahan yang gue beli di Semarang sudah tersimpan rapi di tas kamera, di antaranya sudah penuh terisi video perjalanan gue dan Dilla setelah Pacitan: Semarang, Jombang, dan Pati.

Gue tidak terlalu menghitung berapa kota yang sudah gue singgahi bersama Dilla. Mungkin 9 kota? Belum termasuk kota yang hanya kami lewati tanpa mampir terlalu lama. Kalau begitu, Ngawi, tempat kami berada saat ini, merupakan kota ke-10.

Tak banyak turis yang berkunjung ke Benteng pendem Van Den Bosch hari ini. Mungkin karena ini hari kerja. Tidak jauh dari lokasi gue dan Dilla ada sepasang turis perempuan berambut pirang dan coklat, kemungkinan Eropa, terlihat menikmati situasi sambil sesekali menyentuh dinding pilar. Lalu ada seorang pria Asia—mungkin Jepang atau Korea—yang juga membawa kamera dan baru saja menuju bagian dalam benteng.

Gue menekan tombol pada kamera, kemudian kembali memandang Dilla di kejauhan. Cewek itu sedang asik mengambil gambar dengan kamera DSLR milik gue yang gue pinjamkan padanya. Gue cukup terkejut saat Dilla dengan antusias menerima tawaran gue untuk mencoba hobi fotografi.

Belakangan ini, Dilla terlihat lebih ringan dan santai dari sebelumnya. Tanpa perlu gue katakan pun, gue rasa dia tahu bahwa dia punya banyak waktu untuk mencari tahu apa yang benar-benar dia inginkan. Setelah gue tahu kondisi terkini Ayahnya, situasi keluarga, serta bagaimana dia dididik dan dibesarkan, gue cukup paham mengapa Dilla tumbuh menjadi pribadi yang sering menahan diri dan selalu berusaha memberikan yang terbaik pada semua orang.

Gue bukannya menghakimi, gue tahu orang tua Dilla pasti memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, termasuk Dilla. Tapi menurut gue, yang Ayah dan Ibunya, juga orang-orang sekitarnya lupakan adalah Dilla juga punya identitas sendiri. Dia butuh percaya pada dirinya sendiri. Dia butuh tahu apa yang membuatnya bahagia sebelum dia memberikan itu pada orang lain.

Gue tersenyum kecil, mendadak teringat almarhum Papa. Teringat betapa tersiksa dan menderitanya beliau saat harus menuruti tuntuan lingkungan dan keluarga—seperti Dilla.

Merasakan mata yang mulai memanas, gue pun menarik napas dan mendongak. Gue bertahan seperti itu selama beberapa detik, merasakan hangat sinar matahari pagi yang masih hangat menyapa.

Cengeng banget lo, Yan.

Senyum gue terkembang semakin lebar mendengar suara di kepala gue sendiri.

“Aryan,”

Gue menoleh, menemukan Dilla yang berjalan menghampiri. Kamera DSLR hitam milik gue dipegangnya dengan kedua tangan di depan dada. Senyumnya terkembang.

Ah gue memang lebih cengeng belakangan ini. Gue tahu mengapa.

“Ke sana, yuk,” ujarnya seraya menunjuk bagian dalam benteng. Gue mengangguk, kemudian kami berdua berjalan bersisian. Gue menunggu Dilla berhenti sejenak untuk mengambil gambar salah satu pilar benteng di hadapan kami sebelum kami berlanjut memasuki bagian tengah benteng.

Sejak gue dan Dilla mulai kenyang dengan air terjun, pantai, dan goa, kami memang mulai mencari tempat wisata yang lebih memiliki banyak cerita atau budaya di dalamnya. Kami mengunjungi pasar lokal di Jombang dan Pati, menyempatkan diri untuk mencari museum, klenteng, masjid atau gereja besar, juga tempat-tempat bersejarah seperti benteng.

Van Den Bosch adalah benteng pertama yang Dilla kunjungi. Tempat ini mengingatkan gue akan Museum Fatahillah di Jakarta, tapi terlihat lebih tua dan tak terawat. Dinding-dinding Van Den Bosch ditumbuhi lumut dan ada beberapa area yang masih menyisakan retakan karena serangan bom serta akar dan batang pohon yang perlahan mulai mengambil alih.

Seperti banyak lokasi yang menjadi saksi penjajahan lainnya, Van Den Bosch juga dilengkapi cerita seram dan mistis. Konon, ada dua sumur yang menjadi tempat pembuangan korban saat Jepang datang dan menduduki area ini kala itu. Gue juga sudah menebak pasti ada cerita penampakan. Gue dan Dilla sempat membaca beberapa artikel sebelum kami berkunjung ke tempat ini pagi tadi.

Mengekori Dilla, gue berjalan semakin jauh ke bagian pusat benteng yang seperti lapangan. Rumputnya hijau dan terlihat cukup subur, tapi tidak dibiarkan tumbuh memanjang. Mungkin ada yang rutin memangkas, atau mungkin juga gerombolan kambing dan biri-biri yang gue lihat sebelumnya yang dengan rajin menjaga rumput benteng ini tetap enak dipandang mata. Sejauh mata memandang, bangunan benteng setinggi dua lantai yang bercat putih dengan pilar-pilar kokoh melengkung menyerupai deretan pintu terlihat mengelilngi.

Van Den Bosch, seperti banyak benteng pendem lainnya, dibangun lebih rendah dari tanah. Dilla sempat merasa heran, bukankah ini berarti Van Den Bosch akan lebih mudah dikepung musuh?

Gue sendiri juga tidak paham strategi perang Belanda, tapi gue tahu pasti ada alasan kuat di baliknya. Kalau tidak mengapa ada banyak benteng pendem di sekitar Jawa?

Seakan bisa membaca pikiran gue, Dilla berkata, “Katanya benteng ini dibangun di pertemuan Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun. Jadi berfungsi untuk menahan banjir juga.”

Gue menoleh ke arahnya, menemukan wajah herannya. Dia sedang meneliti layar ponsel yang dia pegang dengan tangan kanan, sementara kamera dipegangnya dengan tangan lainnya.

Kami bertatap mata sesudahnya. Senyum Dilla terkembang.

Gue mundur selangkah dan mengambil fotonya, Dilla mengalihkan pandangannya ke arah lain, menolak menatap kamera, tapi senyumnya masih tergambar. Gue mengabadikan momen itu.

Setelahnya, kami saling mengangguk, kami tahu ke mana kami akan menuju berikutnya.

Mungkin kami akan mencoba melihat pertemuan dua sungai yang baru saja kami bicarakan itu.

* * *

Sungai Tempuk yang merupakan pertemuan Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun tidak semenarik yang gue dan Dilla bayangkan, tapi kami bisa melihat bagaimana Ngawi menjadi kota pusat perdagangan rempah di masanya, dan mengapa kota ini perlu dipertahankan.

Tidak banyak hiburan di Ngawi yang membuat kami tertarik. Kami dengar ada perkebunan teh Jamus di Ngawi yang konon indah dan berada di lereng Gunung Lawu, tapi hari sudah mulai siang, dan kami belum mencari tahu lebih lanjut tentang area tersebut. Gue dan Dilla sepakat untuk menyimpan tempat itu sebagai salah satu tujuan wisata kami besok pagi – kalau kami masih memutuskan untuk menetap malam ini Ngawi.

Gue menelfon teman gue, Gunar, yang menjadi alasan mengapa gue dan Dilla menyempatkan diri untuk mampir ke Ngawi. Gue bertemu Gunar di NGO tempat gue pernah bekerja freelance 2 tahun lalu. Gunar merupakan salah satu relawan bencana yang kala itu sedang bertandang ke Jakarta untuk nantinya dikirim ke Sumatera. Usianya tiga tahun lebih muda dari gue, dan gue pernah berjanji untuk mengunjunginya kalau gue melewati kota kelahirannya.

Setelah memastikan lokasi tempat pertemuan gue dan Gunar, gue lanjut menyetir jip, sementara Dilla mengecek peta untuk mengarahkan perjalanan. Kami sepakat untuk bertemu Gunar di sebuah restoran dekat pusat kota Ngawi – sebenarnya tidak terlalu jauh dari Benteng Van Der Bosch, hanya butuh waktu sekitar 15-20 menit.

Masih memiliki banyak waktu sebelum jam 1, gue dan Dilla memutuskan untuk memilih tempat duduk lebih dulu dan memesan minum. Dilla mencoba dodol yang diletakkan begitu saja di meja tempat kami berada dan berbagi porsi dengan gue. Karena lengket, Dilla berinisiatif menyuapi gue sepotong dodol manis. Gue tidak bisa menyembunyikan senyum, tapi gue tidak peduli.

“Aryan… sering dapet order foto dari NGO gitu, ya?” tanyanya sambil memainkan sehelai plastik berisi sisa dodol. Gue baru saja menceritakan detail pertemuan gue dan Gunar sebelum kami sampai ke tempat ini.

“Kebetulan gue emang ada kenalan traveler yang juga aktivis NGO dan public figure. Dia tahu gue suka foto-foto dan traveling, jadi suka dia rekomendasiin.”

Dilla menyipitkan mata dan tersenyum, memberikan ekspresi seakan dia meragukan gue, sesuatu yang mungkin tidak akan pernah dia lakukan 2 minggu lalu. “Public figure? Siapa?”

Gue menyebutkan nama seorang aktor muda yang baru-baru ini dielu-elukan media karena perannya di sebuah film lokal yang mendapatkan perhatian dari kritikus film internasional. Aktor yang sama yang aktif menyebarkan konten wisata di youtube-nya serta vokal dengan dukungan-dukungannya terhadap konservasi laut. Dilla mengangguk-angguk.

“Apa rata-rata traveler itu environmentalist, ya?” Tanya Dilla seraya menarik sebelah jari telunjuk tangan kiri gue mendekat, kemudian melilitkan plastik yang sedang dia mainkan di sana. Gue tersenyum lagi, membiarkannya melakukan itu. Diam-diam gue berharap kami bisa lebih memendekkan jarak, supaya gue bisa menghidu rambutnya yang beraroma manis samar, menyentuh ujung-ujungnya yang lembut.

“Gue gak akan menyebut diri gue environmentalist. Tapi semakin jauh gue melihat dunia—Indonesia terutama—semakin banyak sampah dan perusakan alam yang seharusnya gak ada.”

Gue butuh menghela napas sejenak, teringat betapa banyak harapan yang pupus dan kehilangan yang gue rasakan di mata penduduk area wisata lokal yang mata pencahariannya terputus atau kesehatannya terganggu akibat pencemaran di tempat tinggal mereka. Beberapa kali gue berkesempatan untuk mengabadikan ekspresi-ekspresi itu lewat kamera.

Dilla mengangguk, dia juga sempat melihat serakan sampah di tempat yang tidak seharusnya, saat kami berkunjung ke goa, air terjun, bahkan di Kawah Ijen. Sedikit-banyak dia pasti mengerti.

Cewek itu terdiam sesaat, melepaskan lilitan plastik dari jari gue, kemudian perlahan melilitkannya kembali dengan lambat, lalu diam di sana. Jari-jemari kami bersentuhan. Gue bisa melihat garis-garis samar biru di antara urat dan kulitnya yang putih.

Dia pasti merasakan tatapan gue, karena kali selanjutnya Dilla menaikkan pandangannya sejenak pada gue, kemudian menunduk dan tersenyum sedikit sendu.

“Saya… belum tahu bagaimana rasanya,” katanya lamat-lamat.

“Belum tahu apa?”

Lihat selengkapnya