The Two Runaways

Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Chapter #15

Dilla: Egois

--------------------------------------------------------------------------

Rere:

Dil, hari ini Nurul ultah kan ya?

Sabtu weekend ntar kita ajakin ketemuan, yuk

Gue juga pengin patungan kado, enaknya Nurul kita kasih apa ya?

---------------------------------------------------------------------------

Pesan dari Rere yang kubaca di WhatsApp chat-ku membuatku sadar bahwa hari ini tanggal 20 Juli—yang berarti sudah genap 25 hari aku melarikan diri dari Jakarta.

Hampir sebulan aku menumpang mobil Aryan berkeliling Jawa, melepaskan pekerjaanku di murahmeriah.com, diam-diam menipu keluargaku berkata bahwa aku sedang sangat sibuk sehingga tidak sempat pulang ke rumah Ayah dan Bunda saat akhir minggu.

Alasan apa lagi yang harus kuberikan pada Bunda saat beliau bertanya mengapa aku tak kunjung menampakkan muka? Beberapa hari yang lalu, akhirnya aku memutuskan untuk mengirim sebagian uang tabunganku pada Bunda. Kusertakan alasan bahwa aku sedang ada uang lebih. Setelah apa yang adikku Fajar katakan tentang Bunda yang sedang berusaha keras mencari biaya tambahan untuk obat Ayah, jelas aku tak tega.

Tapi bagaimana dengan kebutuhan Ayah berikutnya? Bagaimana aku yakin bahwa kakakku Febi dan suaminya akan bisa kembali membantu keuangan Ayah dan Bunda?

Kalau aku kembali ke Jakarta sekarang, aku masih memiliki tabungan untuk meneruskan sewa kos, bertahan hidup, dan mencari pekerjaan baru tanpa perlu memberitahu Bunda selama 2 bulan ke depan. Kalau aku benar-benar hemat, mungkin aku bisa bertahan 3 bulan. 

Kembali melamar kerja. Kalimat itu kembali membuat dadaku terasa sesak.

Rasanya baru kemarin aku bertekad untuk berhenti memaksa diri untuk bekerja di murahmeriah.com. Aku merasa, mungkin memang aku tidak akan pernah bisa menyesuaikan diri dengan ritme kantor, di mana pun aku berada. Aku lelah merasa berbeda. Lelah terus-menerus membebani orang lain dengan kehadiranku. Sekarang, lagi-lagi aku terbentur kenyataan.

Aku berpikir bagaimana jika aku mencari pekerjaan lain, yang tidak mengharuskanku berada di sekeliling orang-orang seperti Pristin. Tapi di mana? Menjadi apa? Kalaupun aku membuka usaha, modal dari mana? Mengingat kondisi Ayahku saat ini, aku sangsi aku akan bisa mencari biaya tambahan. Apakah akan ada waktu jeda ekstra bagiku beristirahat dulu sebelum tahu kemana aku harus melangkah?

Kemungkinan besar, aku harus segera mencari bekerja kembali di tempat yang tidak kusukai. Mungkin kalau aku sudah tahu bidang apa yang ingin kudalami, aku bisa bekerja sambil kuliah atau kursus.

Tapi bagaimana jika aku tetap tak bisa menyesuaikan diri di pekerjaan atau tempat yang baru?

Ah. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan.

Merasakan air mata yang sedikit lagi akan tertumpah, aku buru-buru berusaha menata emosi. Dengan cepat, aku membalas pesan Rere seadanya, memintanya untuk memilih kado yang sekiranya paling sesuai. Kemudian aku membuka WhatsApp Chat-ku dengan Nurul.

Pesan balasanku pada Nurul seminggu lalu masih juga belum mendapat respons. Mungkin aku yang salah. Berkali-kali dia mengirim pesan sejak dia menitipkan ponselku pada Aryan, tapi aku hanya menjawab sepatah-dua patah kata, sering kali aku tidak menanggapi. Karena khawatir, Nurul sampai mengunjungi kantor murahmeriah.com, berharap bertemu denganku, tapi malah mendapat kabar bahwa aku sudah lama menghilang tanpa kabar.

Mungkin bagi Nurul aku sudah bersikap sangat menyebalkan. Kalau dia sekarang mengabaikanku, kurasa aku pantas mendapatkannya.

Aku berpikir sejenak. Berusaha mencari cara untuk menyapa Nurul. Rasanya sungguh tidak nyaman. Aku takut dia masih kecewa padaku. Tapi Nurul hari ini berulang tahun, dan aku lebih tak enak lagi jika tidak mengucapkan apa-apa. Kalau kuingat-ingat, Nurul dan Rere tak pernah sekalipun melupakan ulang tahunku selama 7 tahun kami berteman.

Karena ragu, kuputuskan untuk mengirim pesan pada Nurul malam nanti. Kurasa sudah terlalu lama aku berpikir, dan ini bukan saat yang tepat. Kusimpan ponsel pada tas selempang milikku, kemudian kupejamkan mata dan kuhirup udara dalam-dalam. Aku bisa mencium bau asin laut bercampur bau semacam besi. Bau tanah. Aku membuka mata perlahan, menemukan bentangan jalur sungai berwarna abu-abu kehijauan yang sisinya dipagari pohon-pohon rimbun berdaun hijau pekat. Tak banyak daratan tanah yang bisa ditangkap mata, tangkai, akar, dan batang pohon-pohon itu terendam air cukup tinggi. Beberapa pohon terlihat seperti berada di atas singgasana yang terbuat dari akar.

Aku menumpukan kedua siku pada salah satu sisi jembatan bambu tempatku berada saat ini. Jembatan ini tidak terlalu tinggi, mungkin hanya berjarak 1,5 meter dari permukaan air. Hanya cukup untuk berjaga sekiranya laut pasang.

Ini pertama kalinya aku berkunjung ke hutan mangrove. Pertama kalinya aku melihat kumpulan pohon bakau. Kalau kuingat lagi, beberapa kali aku melihat pohon serupa di pantai yang kukunjungi, tapi tidak sebanyak ini, tidak seindah ini.

Aku melirik ke arah kiri, menemukan Aryan di ujung jembatan lainnya, sedang mengobrol dengan temannya, seorang vlogger berkebangsaan Vietnam. Usianya mungkin sekitar 30 tahun-an, namanya Nam.

Nam tahu Aryan sedang melewati area Probolinggo. Dia juga berniat mengambil foto hutan bakau. Nam pun memutuskan untuk menemui Aryan di tempat ini sejenak dari Surabaya. Aku sedang ingin sendiri sedari pagi, terutama sejak aku menerima pesan dari Rere beberapa saat lalu, dan Aryan sepertinya mengerti itu. Saat kubilang aku akan mencoba melihat sisi hutan bakau di bagian lainnya dia hanya mengangguk dan berkata “Nanti kutelfon saat sudah selesai, jangan terlalu jauh.”

Aku bergerak, berjalan sangat pelan ke sisi berlawanan. Sebelah tanganku menyentuh sisi jembatan yang terbuat dari kayu. Permukaannya kokoh berwarna coklat gelap. Terlihat kuat. Aku bertanya-tanya apa mungkin jembatan ini juga terbuat dari kayu bakau.

Aryan pasti tahu, batinku.

Terkadang, Aryan membuatku merasa sangat kecil. Dia tak pernah terlihat memikirkan kata orang-orang di sekelilingnya. Aryan tahu apa yang dia inginkan, dan dia menekuninya dengan sepenuh hati. Hubungannya dengan orang lain pun terlihat sangat tulus. Selama perjalananku bersamanya, dia selalu memiliki seseorang yang bisa dia temui dan mintai tolong di kota-kota yang kami lewati. Dia melihat lebih banyak hal dariku, bertemu dengan lebih banyak orang, tapi tak pernah terdengar sombong atau menggurui.

Diam-diam, aku merasa begitu kerdil, karena bahkan setelah tahu cerita Aryan tentang trauma masa kecilnya, aku masih merasa Aryan bisa hidup sebebas itu karena nasibnya lebih beruntung dariku. Jelas saja dia tak pernah perlu memikirkan nilai akademik, karena dia tak pernah harus membuktikan sesuatu pada siapa pun. Jelas saja dia bisa pergi ke mana saja, karena dia tak perlu memikirkan uang. Kapan pun dia memutuskan untuk berhenti menekuni fotografi untuk memilih jalur karir lainnya atau bersantai, dia bisa.

Setelah semua yang Aryan lakukan untukku, bagaimana mungkin aku berpikir seperti itu tentangnya? Kurasa aku menjadi jauh lebih egois setelah masalah keuanganku dan keluargaku kembali membuatku harus teringat pada kenyataan yang kutinggalkan di Jakarta.

Aku kembali memandang hutan bakau di sekelilingku. Deretan bangunan kayu berwarna coklat dengan atap berbentuk limas berwarna putih terlihat begitu indah di salah satu ujungnya. Ada lebih dari satu bangunan, semuanya identik satu dan yang lainnya. Setelah kuteliti lagi, aku baru menyadari bahwa itu adalah cottage-cottage tempat wisatawan menginap untuk menikmati pantai dan hutan mangrove.

Beejay Mangrove Cottage. Aryan memberitahu nama tempat ini padaku tak lama saat dia memarkirkan jipnya. Ada banyak kawasan ekowisata hutan mangrove di Jawa Timur, tapi dia memilih untuk mengajakku melihat hutan mangrove di kawasan pantai utara Jawa.

Setelah puas melihat gua dan pasar di area Jawa Tengah, kami kembali menjelajah timur Jawa. Kami tak lagi memilih lokasi tujuan berikutnya berdasar kedekatan area atau searah perjalanan pulang ke Jakarta. Kurasa, pada satu titik, kami memang tak ingin kembali ke Jakarta. Tapi aku dan Aryan berbeda. Aryan bebas, aku…

… masih ada Ayah, Bunda, dan Fajar yang terus mengganggu pikiranku.

Aku memutuskan untuk menelusuri bagian yang lebih ramai pengunjung, ada semacam spot berfoto yang khusus dibuat oleh pihak pengelola cottage di bagian tengah jembatan. Beberapa perempuan berusia 30-an dengan baju senada berwarna putih berfoto bersama, mereka tertawa-tawa, mungkin kelompok arisan yang berlibur bersama. Ada beberapa orang mengantri menunggu giliran foto: seorang remaja laki-laki dengan kedua orang tuanya, lalu di belakangnya pasangan lanjut usia. Tidak jauh dari sana, ada restoran yang bersambung dengan gedung utama dengan atap limas putih lebih besar dari bangunan lainnya.

Hari ini hari Kamis. Mungkin itu sebabnya tidak banyak orang yang berlalu-lalang di cottage hari ini. Kudengar tempat ini cukup terkenal, tidak jauh dari sini ada area tambak udang yang juga menjadi wisata favorit pengunjung juga spot air terjun yang bisa dicapai dengan berjalan kaki.

Aku sedang berdiri di dekat spot foto, memandang jauh ke arah laut, ketika sepasang lansia yang barusan kulihat mengantre mengajakku bicara.

“Dik, bisa bantu fotokan kami?” ujar yang perempuan di antara mereka. Mungkin keduanya sudah lelah menunggu giliran.

Aku segera mengangguk dan menerima uluran ponsel milik sang nenek. Keduanya berjalan cukup cepat ke arah sisi jembatan, kalau kutaksir usia mereka mungkin baru awal 70-an. Keduanya menghadap kamera ponsel yang sedang kugenggam, memutuskan untuk membelakangi pemandangan pantai.

Aku mengambil foto mereka 3 kali. Berjaga setidaknya ada yang buram atau kurang bagus.

Setelahnya, sang nenek kembali menghampiriku dan mengucapkan terima kasih.

“Siapa namanya, Dik?” kata si nenek sambil memasukkan ponsel miliknya ke dalam tas. Aku baru menyadari bahwa perempuan di hadapanku itu menggunakan anting dan kalung dengan aksen batu merah tua yang sama. Ia juga mengenakan selendang berujung rumbai warna merah tua yang dia sampirkan menyelimuti pundak. Rambutnya beruban, dicepol ke belakang, pipinya tembam, dan jarinya gemuk berkerut. Aku merasa nyaman berada bersamanya.

“Fadilla, Bu,” jawabku. Ragu aku harus memanggilnya dengan sapaan apa.

“Saya Nuri, panggil eyang saja tak apa-apa. Ini suami saya, Bahri.” Eyang Nuri menggandeng lengan Eyang Bahri untuk mendekat. Eyang Bahri tesenyum lembut, kumis dan alisnya putih beruban, rambutnya disisir rapi. Dengan terburu-buru aku menempelkan dahiku pada masing-masing punggung tangan mereka karena sebelumnya merasa kurang sopan.

“Dengan siapa ke sini?” tanya Eyang Bahri dengan suara yang tegas. Aku sempat sedikit terkejut mendengar suaranya.

“Dengan… teman, Eyang.”

“Mana temannya?” tanyanya lagi.

Aku pun menjelaskan bahwa teman seperjalananku, Aryan, sedang mengobrol dengan temannya yang lain di jembatan bagian barat. Mereka sedang membicarakan tentang fotografi dan aku sedang ingin melihat-lihat pemandangan saja.

Seraya mengobrol tentang hutan mangrove di sekitar kami, Eyang Bahri dan Eyang Nuri mengajakku untuk duduk di salah satu kursi papan yang berada di antara area resto dan spot foto. Kursi tersebut cukup panjang. Eyang Nuri duduk di antara aku dan Eyang Bahri. Aku duduk dengan posisi sedikit menyamping untuk memandang mereka. Aku benar-benar takut bersikap kurang pantas.

“Fadilla bekerja sebagai apa?” tanya Eyang Bahri kemudian setelah aku selesai menjawab pertanyaan Eyang Nuri tentang kedua orang tuaku yang masih hidup dan tinggal di Jakarta.

Aku sempat terdiam sesaat. Pada satu titik, pertanyaan ini akan hadir. Tapi aku tahu bahwa keduanya tidak bermaksud buruk. Sedang apa, apa kabar orang tua, dan pekerjaan adalah pertanyaan standar dari orang yang lebih tua pada yang usianya lebih muda sepertiku.

Setelah menenangkan diri, aku memutuskan untuk menjawab jujur, “Baru keluar dari pekerjaan yang lama, Eyang.”

Aku berlanjut menjelaskan bahwa aku kurang betah dengan situasi kantor. Sudah kucoba bertahan, tapi aku masih merasa tidak nyaman. Aryan, temanku, membawaku berkeliling Jawa untuk menjernihkan pikiran.

Di luar dugaanku, Eyang Bahri dan Eyang Nuri tidak terlihat heran. Keduanya mengangguk-angguk sambil tersenyum sopan. Aku tak tahu apakah betul mereka merasa itu tidak aneh atau keduanya sudah terlatih untuk tidak membuat orang lain merasa tidak nyaman. Maksudku, mereka memang sudah hidup lebih lama dariku. Mereka pasti lebih pandai mengendalikan diri dan tahu lebih banyak hal dariku.

“Saat muda dulu, saya sangat keras kepala. Semua masalah ingin saya pecahkan sendiri,” ujar Eyang Bahri sambil mengarahkan pandangan ke jauh ke pemandangan laut di depan sana. Eyang Nuri tersenyum geli, jelas tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi tidak berkata apa-apa.

Aku mengikuti arah pandangan Eyang Bahri, merenung. “Kadang bukannya tak ingin dibantu, hanya… tak mau merepotkan, dan tidak tahu harus mulai dari mana dan bertanya pada siapa,” kataku, lebih pada diri sendiri. Tapi Eyang Nuri menyentuh sebelah sikuku dengan lembut.

“Apa pertanyaanmu?” ujar Eyang Nuri.

“Eh?” balasku spontan.

“Katanya kamu punya pertanyaan, tapi tak mau merepotkan. Apa pertanyaannya?”

Banyak, ujarku dalam hati. Aku ingin bertanya banyak hal pada teman-temanku, pada orang yang pernah memperkerjakanku. Pada dosen di kampus, pada Rere, pada Nurul, pada Fajar, Feby, pada Bunda, pada Ayah. Kata demi kata bermunculan, terasa menggantung di tenggorokanku, di ujung lidahku.

Banyak sekali.

Aku merapatkan bibir. Merasakan mataku yang memanas. Aku merasa tak sopan. Eyang Nuri mengelus sebelah pundakku, setengah memelukku dengan satu tangan. Pelukannya lembut, hangat, menenangkan.

“Boleh khawatir, boleh takut, tapi harus jelas alasannya.”

Aku memandang ke bawah, semilir aroma bunga anggrek dari Eyang Nuri menggelitik ujung hidungku. Ah, aku rindu Eyang Putri. Beliau selalu suka aroma bunga melati.

Sesaat kemudian, Eyang Nuri melepaskan pelukannya, beliau membuka tas dan memberikan sehelai tisu padaku. Aku baru sadar bahwa air mataku sudah menetes.

Aku mengeringkan sebelah pipiku yang basah dan menahan agar tidak ada air mata susulan yang menetes. Kami tak bergeming selama beberapa saat, sementara di sekeliling kami aku bisa mendengar pengunjung berbicara dengan satu sama lain, menikmati pemandangan mangrove.

Saat menoleh ke arah kanan, aku menemukan Eyang Nuri dan Eyang Bahri yang memandang jauh ke laut. Kupikir aku akan mendapatkan pandangan kasihan dari mereka, ternyata tidak.

Aku tak tahu harus berkata apa, jadi aku hanya bisa diam dan turut memandang laut yang sama.

“Dilla?”

Aku bisa mendengar suara Aryan yang menyapaku. Cowok itu berjalan menghampiriku dengan sebelah tangan menenteng kamera. Tidak jauh di belakangnya, Nam terlihat sibuk dengan kamera miliknya yang ditempatkan pada tongkat panjang. Cowok berjaket dan topi merah menyala itu komat-kamit sambil menunjukkan pemandangan di sekelilingnya, terlalu sibuk untuk bergabung denganku dan Aryan.

Seraya berdiri perlahan, aku menengok ke arah Eyang Bahri dan Eyang Nuri.

“Ini temannya Fadilla?” tanya Eyang Bahri dengan suara tegasnya.

Sama seperti aku, Aryan juga terlihat sedikit terkejut, entah karena intonasi Eyang Bahri atau fakta bahwa seseorang mengajaknya bicara seakan dialah orang asing yang menyapaku dengan seenaknya. Aryan mencium tangan kedua teman baruku itu sambil menyebutkan nama.

“Tadi Fadilla bantu mengambil foto kami,” jelas Eyang Nuri.

Aryan mengangguk-angguk sambil bertanya apakah Eyang Nuri dan Eyang Bahri juga ingin diambilkan foto olehnya? Aryan berjanji untuk mengirimkan hasil cetak fotonya ke alamat mereka, sekiranya mereka berkenan.

Eyang Nuri terlihat tersenyum sumringah, dan Eyang Bahri pun tak menolak. Mereka memilih untuk berpose di tempat mereka duduk. Aku berjalan menjauh, berdiri sedikit di belakang Aryan yang menunduk untuk mengambil foto.

Setelahnya, aku menanyakan alamat dan nomor telfon Eyang Nuri, sementara Aryan mengobrol dengan Eyang Bahri di dekat sisi jembatan, aku melihat Nam ikut bergabung dan menyapa Eyang Bahri.

Setelah selesai mencatat di notes ponselku, Eyang Nuri menyentuh pundakku dan memandangku dalam-dalam.

“Hidup itu tidak selalu mudah, tapi ada satu yang jelas: kalau tidak yakin, ya tanya.”

Aku menelan ludah, merasakan buncahan emosi yang semakin penuh.

“Saya tidak mau jadi manusia yang egois, Eyang,” kataku lirih.

Lihat selengkapnya