The Two Runaways

Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Chapter #16

Aryan: Bebas

----------------------------------------------

Nurul:

Pokoknya, jangan bilang sama Dilla kalau gue ngomong begini ama lo

Nanti dia jadi gak enak

Beneran ya, Yan

Aryanpret! Bales napa!

-----------------------------------------------

Gue tersenyum kecil. Setelah merespons pesan Nurul sekenanya, gue mematikan pendingin udara jip. Gue membuka sedikit jendela di sisi penumpang dan pengemudi, kemudian merebahkan sandaran kursi. Penunjuk waktu di dasbor menunjukkan pukul 1 pagi di Rembang. Lumayan juga, hampir setengah jam Nurul menceramahi gue soal Dilla.

Sebenarnya gue sedikit lega. Sudah 2 hari belakangan Dilla terlihat lebih lesu dari biasanya. Gue bahkan sempat berpikir untuk mencari penginapan yang pantas—bukan losmen—supaya Dilla bisa beristirahat dengan puas. Tapi gue sedikit bingung, haruskah gue memesan 2 kamar terpisah atau 1 kamar saja?

Satu kamar seharusnya tidak masalah bukan? Selama ini bukankah kami tidur berdekatan? Dan bukankah memesan satu kamar berarti menghemat pengeluaran—sesuatu yang diharapkan Dilla?

Payah lo, Yan.

Baiklah, mungkin gue akan mencari penginapan dengan dua kamar yang lebih privat saja. Mungkin besok atau lusa.

Seharusnya gue mendapatkan ide brilian ini sejak tadi.

Gue membuka aplikasi Instagram dan mengisi username serta password sebelum menekan tombol login. Gue tidak terlalu suka menghabiskan waktu di media sosial, tapi kata-kata Nurul membuat gue sedikit penasaran.

Halaman timeline Instagram memenuhi layar, memperlihatkan kehidupan teman-teman gue, tapi gue langsung menekan tombol eksplor dan mencoba mengetikkan nama: Fadilla Dwi Andriani. Sebuah akun tanpa foto profil muncul. Ketika gue klik, postingan terakhirnya 2 tahun lalu—foto sebuah boneka landak dengan hidung merah muda. Cewek ini hanya pernah 5 kali posting selama hidupnya, kebanyakan benda-benda kecil yang lucu seperti gantungan kunci, sendok teh dan bunga. Followersnya ada 36 dan followingnya hanya 50. Tulisan di bio: kosong.

Ok, seharusnya gue tidak heran.

Dilla itu rapuh, Yan. Hati-hati.

Dari Nurul, gue tahu bahwa Dilla selalu menolak pria mana pun yang berusaha mendekatinya saat kuliah dulu. Alasannya karena Dilla merasa takut ketahuan oleh Ayahnya yang galak. Pernah Nurul dan Rere memaksa Dilla untuk menerima ajakan kencan dari seorang cowok jurusan lain, tapi Dilla merasa sangat tidak nyaman. Akhirnya Nurul dan Rere mengalah dan membuat rencana triple date dengan pacar mereka masing-masing, tapi tetap saja perkenalan Dilla dengan si cowok yang menyukainya hanya berhenti di situ saja.

Saat mendengar itu dari Nurul, gue tersenyum kecil. Berada dekat dengan Dilla secara intens membuat gue sadar bahwa Dilla itu tidak bisa diprediksi. Awalnya gue juga melihat Dilla sebagai seseorang yang lemah, sangat tertutup, tapi ada banyak hal yang membuat gue percaya bahwa itu semua hanya karena Dilla masih belum betul-betul memahami dirinya sendiri.

Nurul sempat bertanya kapan gue dan Dilla berencana kembali ke Jakarta. Gue akhirnya hanya menjawab sekenanya bahwa gue masih ada keperluan untuk mengambil foto. Nurul terdengar kurang puas, tapi gue tak peduli.

Gue memejamkan mata, menarik dan melepaskan napas, berusaha untuk relaks. Selain soal Dilla, seharian ini gue juga memikirkan banyak hal lainnya. Sofi menelfon gue pagi-pagi tadi dan menyampaikan bahwa Mama berencana untuk mempertimbangkan keinginan gue—apa pun itu. Dengan satu syarat: gue mau menjawab telfonnya.

Gue melengos, dengan wanita itu, tidak ada istilah ‘hanya menjawab telfon’. Lagipula, dia tahu apa yang gue inginkan, gue sudah menyampaikan dan Mama begitu keras kepala untuk membuat gue mengikuti apa yang dia mau. Meskipun gue tidak mengungkapkan, Sofi sepertinya tahu suasana hati gue yang semakin memburuk, karena setelahnya, kakak perempuan gue satu-satunya itu kembali mencekoki gue dengan berbagai nasihat, tapi gue tetap bungkam.

Setidaknya gue berharap lo punya solusi untuk masalah lo dan Mama, Yan. Menghindar gak menyelesaikan apa-apa.

Kata-kata Sofi itu diam-diam menggelitik harga diri gue. Perilaku gue saat ini mungkin di matanya terlihat seperti anak kecil yang merajuk, tapi gue sedang tidak dalam aksi tutup mulut untuk mendapatkan apa yang gue mau. Gue hanya tidak ingin Mama ikut campur lagi dengan hidup gue. Titik.

Gue mengusap muka dengan kedua tangan. Mata gue sudah perih karena lelah, tapi otak gue masih belum mau berhenti berpikir. Rasanya gue ingin melepaskan diri dari semua masalah, ada satu kegiatan yang gue ingin lakukan saat ini.

Gue rasa Kudus bukan tujuan yang tepat, besok gue akan membawa Dilla ke tempat yang lebih seru.

* * *

“Kenapa?” tanya Dilla saat gue mengatakan bahwa rencana kami ke Kudus batal.

Gue menyeruput kopi tubruk yang baru saja gue pesan. Malam tadi berakhir dengan gue sulit tidur dan baru bisa terlelap 1 jam menjelang azan subuh. Setelah jam 7 pagi, suasana jalan di tempat gue memarkirkan jip mulai ramai dan udara mulai menuju panas, sehingga gue terpaksa bangun.

Saat ini gue dan Dilla duduk di kursi dan meja kayu di sisi sebuah taman di Rembang yang terlihat rindang dan nyama. Jip gue parkirkan tepat di sebelah gerobak makanan yang menjual bubur asin dan manis, tempat kami berada. Dilla menikmati semangkuk bubur kacang hijau dan teh manis panas, sementara gue memesan kopi tubruk dan bubur ayam.

“Ada yang seru di Jogja. Jadi kita kesana dulu.” Gue tersenyum mengingat rencana hebat gue semalam. Sekarang gue sedang berpikir apakah gue harus memberitahu Dilla tentang apa yang akan kami lakukan di Jogja nanti saat cewek itu tiba-tiba menyeletuk, “Offroad?”

Gue tertawa kecil, mendadak teringat saat jip berisi gue dan Dilla terguling ke samping di tengah hutan di Jawa Timur. Untung saja waktu itu ada Mas Tyo dan timnya, kalau tidak, gue tidak tahu harus berbuat apa. Sudah berapa lama sejak hal itu terjadi? 3 minggu?

Dilla masih menunggu respons gue dengan raut yang tak tertebak, jadi gue menjawab dengan sedikit misterius: “Kalau diajak offroad lagi, mau?”

Cewek di hadapan gue itu menyuapkan sesendok bubur kacang hijau miliknya, kemudian menjawab pertanyaan gue dengan gumaman samar.

“Kayaknya ada yang trauma, nih,” tebak gue geli.

Gue tidak tahu apakah ini efek cuaca pagi di taman Rembang yang lumayan hangat dan indah, atau karena mood Dilla yang terlihat lebih ceria, tapi cewek itu memberikan senyum terlebar dan termanis yang pernah gue lihat. Jantung gue melompat sedikit dan gue merutuki diri sendiri karena bisa merasakan raut muka gue yang tegang.

“Gak trauma. Offroad seru, kok,” jelas Dilla. Belum sempat gue menjawab, seorang ibu penjaja kue kecil melewati kami dan menawari kami dengan dagangannya. Dilla terlihat tertarik dan gue pun butuh alasan untuk meredakan degup jantung gue sejenak, jadi gue membeli camilan dodol dan kue pia dari ibu tersebut.

Setelah sebungkus kue pia dan dodol gue letakkan di meja, gue berdeham dan menyeruput kembali kopi tubruk yang gue pesan.

“Terus kalau gak trauma, kok kayaknya ragu diajak ke Jogja?”

Dilla mengambil jeda sebelum menjawab pertanyaan gue itu, “Karena… saya pikir Aryan ada perlu di Kudus.”

“Keperluan apa?” balas gue tanpa banyak berpikir.

“…foto? Aryan keliling Jawa untuk mengumpulkan pesanan foto bukan?”

Terus terang, pekerjaan foto gue tidak dibatasi deadline. Isla, teman gue yang bekerja di majalah Adventuro tempat gue biasa menyetorkan karya, hanya mengatakan bahwa mereka sedang membutuhkan beberapa foto wisata Jawa yang belum banyak diketahui turis asing di bulan November nanti. Beberapa sudah gue kirimkan, dan Isla senang-senang saja.

“Oh, kita bisa ke Kudus nanti. Sekarang ke Jogja dulu, ada yang mau gue foto juga di sana.”

Gue tidak berbohong. Itu betul adanya. Gue memang tertarik memotret tempat yang akan gue kunjungi bersama Dilla.

Cewek di hadapan gue itu terlihat tidak keberatan. Hanya sedikit kurang antusias, gue rasa. Dia bahkan tidak menanyakan apa yang akan kami lakukan di Jogja.

“Nanti mau foto-foto lagi, gak?”. Gue ingat bahwa terakhir kali Dilla berlatih memotret menggunakan kamera DSLR gue adalah saat kami di Benteng Van Der Bosch kemarin.

Dilla tersenyum dan mengangguk malu-malu. Sedetik kemudian rautnya berubah khawatir.

“Tapi kalau Aryan mau pakai, gak usah.”

Lihat selengkapnya