The Two Runaways

Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Chapter #17

Dilla: Terbang

Aku tidak tahu apakah aku benar-benar mau melakukan ini.

Tapi Aryan sudah membawaku jauh-jauh dari Rembang, mempersiapkan momen ini untukku, hanya untuk supaya diriku berada di sini, hari ini, saat ini.

Namun, jujur, kali ini aku merasakan ngeri. Lebih dari yang kurasakan saat mobil yang dikendarai Aryan terjungkir saat kami offroad di Malang, atau saat seorang pemabuk mengetuk kamarku di losmen Pacitan itu.

Rasa ngeri yang ini terasa datang bukan dari pikiranku, tapi seakan mengakar dari perut, menyebar ke seluruh organ tubuhku.

Seorang pria dengan topi cap warna abu-abu menarik tali yang melingkari pinggang, punggung dan pahaku. Sontak, aku berjengit.

“Terlalu ketat?” tanyanya padaku.

Aku menggeleng, mungkin pria itu bertanya sambil tersenyum ramah, berusaha membuatku tenang, tapi aku bahkan tak bisa mengingat detail wajahnya. Aku hanya menyadari tangannya yang kecoklatan dan topinya yang berwarna kelabu. Aku terlalu panik, semuanya terasa seperti film yang dipercepat, hanya adegan-adegan tertentu saja yang bisa kulihat jelas.

Seperti tautan-tautan besi dan teralis bercat putih yang kupegang erat saat ini. Coklatnya air di bawah sana. Angin berembus meniup hawa sejuk ke pipi dan rambutku. Suara-suara berisik motor yang berlalu-lalang, menyambut sibuknya pagi. Lalu suara orang-orang di sekitarku, memberi perintah pada satu sama lain.

Aku menarik napas dalam, berusaha mengalihkan perhatian. Di ujung sana, ada sebuah pasar. Aku lupa apa namanya. Aryan bilang, pasar itu menjual durian. Setelah dari sini, aku dan Aryan akan mampir sejenak untuk membeli beberapa buah. Aku tak pernah makan durian. Aryan berkata aku bisa mencoba.

Seseorang menggenggam siku kiriku. Aku menoleh, menemukan raut Aryan di sana.

Aku menelan ludah. Sama seperti mengunjungi pasar, menyicipi durian, Aryan juga berkata bahwa aku bisa mencoba momen ini. Bisa, bukan harus. Sekali lagi aku melirik derasnya aliran air di bawah sana. Berapa meter ketinggian jembatan gantung ini? Tadi salah seorang pria yang membantuku mengenakan pelindung kepala dan mengencangkan tali sempat menjelaskan, tapi aku melupakan semuanya.

Saat ini tempatku berada terasa sangat jauh dari permukaan air di bawah sana, aku tak ingin tahu berapa jarakku dengan aliran dingin berwarna kecoklatan itu.

Tanpa bicara, Aryan menyentuh tali yang melilit perut dan pundakku. Seakan memastikan semuanya telah aman.

Mendadak, seseorang memegang sikuku yang lainnya. Mereka mengarahkanku untuk berpijak pada undakan kayu.

“Angkat kaki satu-persatu, pegangan ke besi yang ini.”

Tubuhku terasa begitu berat, tapi aku berusaha keras mendengarkan setiap instruksi yang diberikan padaku.

Aku menundukkan tubuh, memeluk palang besi. Aku bisa mencium bau logam dan cat saat pundakku menempel erat dengan permukaan dingin rangka. Aryan memegang pinggangku, menjagaku tetap stabil sementara seseorang mengarahkan sebelah kakiku untuk berpijak di sisi luar penghalang besi.

Saat akhirnya kakiku menyentuh permukaan yang rata, aku berusaha keras menjaga pandanganku agar tidak menangkap pemandangan di bawah sana. Aku memegang palang besi lebih erat, punggungku terasa dingin karena mendadak merasakan embusan angin yang kencang. Di hadapanku aku bisa melihat beberapa orang berlalu lalang dengan sepeda motor. Ada si topi abu-abu dan dua orang pria lainnya, lalu Aryan yang menatapku, rautnya tak bisa kutebak.

Saat ini kami sedang berhadapan. Dia berdiri di dalam palang jembatan, aku di luar.

Aku berusaha menarik napas, mendadak paru-paruku tidak berfungsi seperti yang seharusnya.

“Takut?” tanya Aryan.

Aryan baru memberitahuku tentang rope jumping saat kami mencapai Jembatan Gantung Duwet di area Kulon Progo, Yogyakarta. Kami berdua berangkat pukul 8 pagi dari guest house milik Agustina, teman Aryan, dan sampai sekitar pukul 9 pagi. Aku adalah orang ketiga yang mengenakan perlengkapan pengaman dan berniat untuk terjun hari itu. Aryan sengaja memundurkan giliranku agar aku bisa melihat langsung bagaimana proses rope jumping berlangsung.

Aku sendiri bertanya-tanya mengapa aku mengiakan saat Aryan bertanya apakah aku berminat untuk mencoba. Aku juga diam-diam heran mengapa Aryan membawaku ke tempat ini. Mengapa aku tidak berputar dan lari saja, sekarang, saat ini?

Apakah aku takut? Takut akan mengecewakan Aryan?

Apakah ini artinya aku lagi-lagi menyerah pasrah pada situasi?

Apa aku ingin Aryan melihatku sebagai sosok yang berani?

Aku tahu Aryan tak akan memaksa, dia akan segera mengajakku pergi saat aku berkata bahwa aku tidak ingin berada di tempat ini.

Tapi tidak, aku hanya diam saja.

“Kalau sudah siap, bilang, ya,” ujar si pria bertopi abu-abu yang berdiri di samping Aryan. Barusan dia menjelaskan bahwa nantinya aku akan ditarik kembali ke atas setelah posisiku lurus dan talinya tidak terlalu banyak berayun. Aku hanya perlu menjaga otot-otot tubuhku sesantai yang aku bisa. Jika gugup, aku disarankan untuk menggunakan posisi memeluk tubuhku sendiri.

Aku memejamkan mata.

Apakah aku akan menyesali keputusanku? Saat aku terjun ke bawah sana? Apakah aku akan membenci Aryan? Membenci diriku sendiri?

Degup jantungku memburu, rasanya ada batu panas yang berguling-guling di lambungku.

Lihat selengkapnya