“Heyy…!”
Aku baru saja menutup pintu jip saat kudengar suara ceria Agus menyapa aku dan Aryan. Langit belum benar-benar gelap, azan maghrib baru saja berkumandang. Agus berdiri menyambut kami dari teras guest house miliknya. Kerudungnya ikut bergerak-gerak karena perempuan itu melambaikan kedua tangan seraya meloncat-loncat kecil.
“Heboh banget lo, sumpah,” komentar Aryan saat kami menghampiri Agus.
Mendengar itu, Agus hanya mendengus sambil menepuk keras sisi lengan Aryan. Keduanya tertawa lepas.
“Udah jangan marah, ini lo gue bawain duren. Nyesel gue dititipin ma lo, jip gue jadi bau duren gara-gara sesiangan gue biarin dalem mobil,” omel Aryan. Kami memang baru saja melihat-lihat kawasan Candi Borobudur siang tadi sekembalinya dari Jembatan Duwet dan Pasar Ngluwar.
Melihat interaksi antara mereka berdua, aku jadi membayangkan seperti apa masa SMP Aryan dan Agus dulu. Betapa menyenangkannya memiliki teman yang masih memperlakukanmu dengan begitu akrab meski bertahun-tahun tak bersua.
“Ayo, Dilla, masuk, aku bawa mi demek!” ujar Agus sambil menggandengku. Di belakang kami Aryan menyusul seraya menenteng 2 buah duren yang diikat tali rafia.
“Awas aja kalau ga enak, gue tadinya udah mau ajak Dilla makan malam gudeg yu djum!” ancam Aryan yang hanya ditanggapi Agus dengan juluran lidah.
Sebelumnya Aryan memang hanya berniat untuk menginap di guest house ini semalam saja. Setelah melakukan rope jumping, Aryan sudah berencana untuk bertolak ke kota lain. Tapi pagi tadi Agus setengah memaksa kami untuk menginap gratis semalam lagi di guest house miliknya.
Guest house ini cukup nyaman, dengan langit-langit tinggi dan dinding berwarna putih gading dan kuning pucat, juga kebun di area depan teras dan belakang rumah. Rumah ini tidak bertingkat, tapi ada total 3 kamar dengan 2 kamar mandi dan dapur serta ruang makan yang cukup besar. Ruangan utama hanya dipisahkan oleh sekat-sekat pembatas kayu ukir. Agus menyewakan rumah ini per kamar, tapi dua hari ini tidak ada tamu lain selain aku dan Aryan.
“Kalian tuh harus cobain… gue sama temen gue rencananya bulan depan mau buka usaha mi demek gitu…” ujar Agus.
“Mau buka di mana?” tanya Aryan seraya menguntit Agus memasuki dapur kotor. Tak lama, aku mendengar suara pemantik kompor, Aryan dan Agus masih bercanda.
Karena area dapur kotor cukup sempit, aku memutuskan untuk memandangi foto yang tergantung di dinding dan lemari pajangan di dekat meja makan.
Agus memanggil kakek dan neneknya Eyang Romo dan Eyang Putri. Ada banyak foto keduanya di rumah ini. Aku cukup lama memandangi foto sephia kakek dan nenek Agus saat masih tegap, duduk dikelilingi 7 anak: 6 laki-laki dan 1 perempuan. Kata Agus, ini adalah rumah yang dibeli 6 bulan setelah kakeknya meninggal. Neneknya, yang sebelumnya tinggal di Jakarta, memutuskan untuk menjual rumah lamanya untuk dibagikan sebagai warisan, kemudian membeli rumah di Yogyakarta agar lebih dekat dengan ibu Agus yang sudah pindah lebih dulu saat Agus masih kuliah. Saat neneknya meninggal 2 tahun yang lalu, rumah ini dipercayakan pada Agus dan suaminya kala itu. Ibu Agus sendiri memutuskan untuk tinggal bersama kakak perempuan Agus.
Sehari-hari Agus bekerja sebagai personal assistant seorang fashion designer kondang seraya mengurus guest house ini. Agus tinggal di tempat ini, tapi jika semua kamar terpakai, dia akan menginap sejenak di rumah kakak perempuannya di selatan Jogja.
Suara berisik Agus dan Aryan terdengar lebih keras, keduanya muncul dari dapur beberapa saat kemudian. Kedua tangan Aryan masing-masing memegang piring hidangan mi berwarna kuning dengan kuah putih, sementara Agus membawa sebuah nampan besar berisi sepiring mi yang sama, bakwan, cabai rawit, dan risol.
“Dilla, ayo duduk. Kita makan,” Agus berkata ramah padaku. Aku mengangguk dan menarik kursi di sebelah Agus. Aroma gurih menguar menggeletik indera penciuman dan indera perasaku.
“Jelas aja enak, lo tambahin risol! Sekalian aja pake kornet,” ledek Aryan, dia mencomot satu risol dari piring.
Agus tertawa kecil, “Konsepnya tuh emang bukan ngejar yang lezat ala-ala restaurant Michelin. Yang penting bikin kenyang, terjangkau, dan tempatnya enak buat nongkrong.”
“Tapi kenapa mi demek?”
“Karena bisa dimakan kapan aja, terus bahannya gak ribet nyarinya,” Agus menyodorkan kotak berisi peralatan makan padaku. Belum sempat aku mengulurkan tangan, Aryan sudah sigap mengambilkanku sendok dan garpu, kemudian mengambil sepasang untuk dirinya sendiri.
Aku melihat senyum kecil Agus, tapi untungnya dia tidak banyak berkomentar.
“Kalau emang bukan michelin kenapa lo suru gue nyoba?” Aryan menyuapkan sesendok ke mulutnya dan kemudian memejamkan mata. Aku tahu kenapa, mi demek buatan Agus cukup lezat, kaldunya kuat dan hangat di perut. Biasanya aku tak begitu suka makanan pedas, tapi yang ini cukup membuatku penasaran.
“Bagi lagi rawitnya,” kata Aryan yang mengundang senyuman sinis dari Agus.
“Selain mi demek, kita mau jual mi goreng juga, wedang, roti bakar…”
“Makanan-makanan penawar hang over, ya?” potong Aryan.
Agus menggeleng-geleng dengan raut tak percaya, kemudian membalas: “Yang penting cuan tapi halal, Aryanpret!”
Lalu keduanya tertawa renyah. Aku sering melihat Aryan tertawa bersama kenalan-kenalannya sepanjang perjalanan kami, atau dengan teman kuliah, tapi bersama Agus tawanya berbeda, lebih lepas.
Seandainya aku mengenal Aryan selama Agus mengenalnya. Aku berkali-kali memikirkan hal itu sejak kemarin. Apakah aku sedikit cemburu? Tapi Agus memang pribadi yang sangat ramah, bukan hanya pada Aryan, padaku pun dia tak ragu memeluk.
“Gue udah bisa nebak sih, lo jaman kuliah juga pasti sering bolos. Iya gak, Dil?”
Mereka sedang membandingkan Aryan di masa SMP dengan kuliah. Aku mengangguk seraya tersenyum lebar. Di sebelahku, Aryan tertawa renyah.
“Gabut lo emang. Nih, ya, Dil. Kukasih tau, si Aryan nih jaman sekolah kerjaannya mabal terus,”