“Ngapain di sini?”
Dari sudut mata, gue bisa melihat raut Sofi yang mengernyit. Gue tahu kakak gue itu terkejut dengan kalimat pertama yang gue ucapkan. Dia bahkan belum sempat berkata apa-apa saat dia membukakan pintu untuk gue barusan.
Gue akan dengan senang hati menyambut kedatangan Sofi, tapi tidak dengan sesosok wanita di hadapan gue yang saat ini sedang duduk santai di sofa kamar suite tempat kami semua berada. Wanita itu terlihat menaikkan kedua alis kemudian meletakkan cangkir di atas meja kopi.
“Aryan…” ucapnya pelan seraya menolehkan wajah dan bahunya, menatap gue dalam-dalam. Kedua alis wanita itu menyatu, matanya berkaca-kaca. Tapi gue tak mau menyimpulkan emosi apa yang tengah dialami wanita itu. Gue tak ingin tertipu lagi.
“Pulang. Sekarang.”
Seakan tidak mengabaikan kata-kata gue, wanita itu berdiri, bermaksud menghampiri. Tapi gue berjalan melewatinya, menempatkan diri gue di dekat jendela besar yang menunjukkan pemandangan kota Solo di waktu malam dari lantai 15. Gue menempuh perjalanan Yogyakarta-Solo kurang dari 1 jam, menyetir seperti orang gila.
“Aryan… dengar dulu,” dia kembali berjalan mendekat tapi berhenti di ujung sofa.
“Mendingan pulang sekarang,” ulang gue sekali lagi.
“Ini udah malam, Aryan,” Sofi yang masih berdiri mematung di dekat pintu memandang gue lekat-lekat dengan raut tak setuju. “Lagipula gue dan Mama baru juga sampai.”
Wanita yang dipanggil Mama oleh Sofi itu mengangguk pelan. Memeluk kedua lengannya dengan tangan, bertingkah seperti korban.
Gue menangkupkan jari-jari gue pada wajah, berusaha mengatur napas.
“Jangan emosi, Aryan. Duduk dulu,” gue bisa mendengar suara Sofi yang berusaha menenangkan, membuat gue semakin tidak sabar.
“Ngapain ke sini?” gue kembali mengucapkan pertanyaan yang belum terjawab di awal kedatangan gue.
“Aryan…” panggil wanita itu lagi.
“Mau apa? Anda mau ngancurin hidup siapa lagi?” gue membalikkan badan, menemukan wanita itu dan Sofi berdiri berdampingan, keduanya memandang gue nanar.
“Aryan!” tegur Sofi, tapi gue tidak berniat untuk berhenti.
Wanita itu berdiri di antara aku dan Sofi, seakan berusaha untuk melerai.
“Mama mau ketemu kamu, Aryan… kamu bahkan… kamu gak datang waktu Mama ulang tahun…” ucapnya.
“Kenapa semua hal harus sesuai keinginan Anda?” potongku tidak sabar.
“Aryan, gak perlu kasar begitu. Bukan begini caranya,” kali ini Sofi bergerak maju. Salah satu pintu kamar terbuka, dari baliknya muncul Mas Gani, kakak ipar gue, suami Sofi. Rautnya terlihat waspada, tapi Mas Gani diam, tidak berkomentar.
“Lo tau gak Mba, kenapa dia ke sini?” gue menunjuk wanita itu dengan geram, tapi pandangan gue penuh iba pada Sofi. Lagi-lagi, kakak gue itu dimanfaatkan.
“Mama minta gue sama Mas Gani temani dia ke Solo, Mama mau ketemu Tante Iris sama Om Wing buat bisnis.”
Gue tertawa sinis, Tante Iris dan Om Wing adalah sepupu jauh Mama. Keduanya bahkan tidak tinggal di Solo.
“Terus lo percaya?”
“Aryan! Gue bahkan gak kasih tahu lo kalau gue sama Mama di sini. Gue gak ngerti kenapa lo semarah ini.”
“Sudah… sudah… Sofi, Mama yang barusan kirim pesan ke Aryan. Mama yang bilang kita ada di sini.”
Wajah Sofi memerah penuh emosi. Mas Gani bergerak mendekat dan menyentuh sebelah pundaknya, berusaha meredam kegundahan Sofi.
Mama membalikkan badan, memandang gue. Kali ini ekspresinya seperti Mama yang lama gue kenal. Tenang, siap berperang.
“Mama cuma mau bicara, Aryan,” katanya mantap.
“Soal apa?
“Jangan kabur lagi. Kembali ke Jakarta sama Mama.”
Gue tertawa tak percaya. Betul-betul tak habis pikir.
“Mama gak mau bicara, Mama cuma mau kasih perintah.”
“Kalau kamu terus-terusan menghindar, kapan kita bisa diskusi? Kalau telfon dan pesan Mama saja tidak kamu balas, Mama harus bagaimana?”
“Kita sudah pernah bicara. Dan saya sudah tahu hal busuk apa yang Mama lakukan pada hidup saya selama ini.”
“Maksud Mama baik, Aryan.”
“Oh tentu saja, baik. Sama seperti yang Mama lakukan pada Papa. Lihat hasilnya apa?”
Kalimat itu seperti bom, karena kali berikutnya Sofi terduduk lemas pada sofa, sebelah tangannya menangkup mulut. Mas Gani pun hanya mematung, terlihat tidak nyaman. Hanya Mama yang sudah jelas lebih marah dari biasanya.
“ARYAN!” bentak wanita itu, akhirnya mulai menunjukkan tabiat aslinya.
“Kalau niat Anda memang baik, saya minta Anda pergi dari tempat ini sekarang juga. Jangan buat semuanya lebih kacau lagi.”
Mama memejamkan mata, mengurut kening dan dahinya. Sebelah tangannya bertolak pinggang. Rambutnya pendek coklat tua, tak terlihat sehelai pun uban di sana. Kuku-kukunya dipulas merah sewarna bibir. Tunik warna hitam dengan bordir bunga hijau di kerahnya pun terlihat tetap elegan. Apa pun yang dia lakukan, wanita itu terlihat tetap kuat dan tegar. Gue benci itu.
Gue berjalan menuju pintu keluar, berniat untuk pergi. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, gue merasa perlu memperdengarkan keseriusan gue sekali lagi.
“Kalau sampai saya tahu Anda menghubungi orang-orang itu. Saya gak akan tinggal diam.”
“Kamu itu kekanakan, kamu gak tahu apa yang kamu lakukan,” gue mendengar suara balasan yang dingin. Bernada meremehkan.