------------------------------------------------------
Agustina:
Dilla, kalau nanti ketemu Aryan jangan lupa jitakkin…
Maaf banget aku tadi harus langsung berangkat pagi-pagi
Nanti kapan aku ke Jakarta kita ketemu, ya…
------------------------------------------------------
Aku segera membalas pesan dari Agus, mengingatkannya bahwa aku sudah menitipkan kunci guest house pada Bu Luki, tetangga Agus yang juga pemilik warung kelontong. Aku tadinya berniat untuk mengantar kunci pada Agus langsung, tapi Agus melarang dan berkata bahwa dia sedang dalam perjalanan menuju selatan Jawa, dan dia tidak tahu akan sampai kapan. Bosnya yang merupakan seorang influencer mendadak ingin membuat konten di sana.
Kumasukkan kembali ponsel milikku ke dalam tas, dan kupandangi pemandangan di luar jendela bis. Jam menunjukkan pukul 1 siang, hanya ada 5 penumpang lainnya dalam bis yang kutumpangi. Beberapa saat lagi aku akan sampai di Stasiun Purwosari, Solo.
Aku memutuskan untuk menyusul Aryan.
Tahu bahwa Aryan kemungkinan besar akan melarang, aku sengaja tidak memberitahu kedatanganku. Tadinya aku berniat menunggu, tapi setelah mendengar suara Aryan pagi ini, dan Aryan yang mendadak mengakhiri panggilan telfon, aku merasa tidak tenang.
Sekarang aku sedikit menyesal, mendadak merasa aku telah bertindak berlebihan.
Kucek ponsel sekali lagi, melihat lokasi terakhir yang Aryan bagikan padaku pagi tadi. Aryan bilang, dia berada di jalan Dr. Radjiman, tapi saat kulihat lagi, sebenarnya dia berada di sebuah jalan kecil yang bercabang dari jalan Dr. Radjiman yang lebih besar. Aku ingat, kami pernah mengunjungi tempat itu, saat itu kami membeli banyak sekali Srabi Solo untuk oleh-oleh Mas Tyo dan Anna.
Apakah Aryan masih berada di sana?
Aku berencana untuk menelfon Aryan nanti sesampainya aku di Solo.
Sejak kapan Fadilla bertindak spontan?
Aku tersenyum, seakan bisa mendengar Aryan menanyakan hal itu padaku. Aku bisa membayangkan raut gelinya, kedua alisnya yang naik karena menemukan topik yang menarik.
Terbang dulu, Dilla.
Jika rasa gelisah yang kurasakan saat menunggu dalam diam sama resahnya dengan ketakutan yang kurasakan saat aku bergerak, kurasa lebih baik aku mengambil jalan yang belum pernah kulakukan.
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan yang tidak kumengerti. Dadaku panas, ada sesuatu yang memberati lambungku. Aku baru sadar bahwa selama ini aku telah menyia-nyiakan banyak kesempatan karena aku selalu memilih untuk pasif. Mendadak, aku ingin melihat apa yang terjadi jika aku tak hanya berpangku tangan, pasrah menunggu orang lain membuat keputusan akan hidupku.
Kurasa itu yang terjadi saat seseorang menghabiskan begitu banyak waktu bersama orang lainnya. Kau mulai berpikir seperti orang tersebut, kau mulai merindukan orang tersebut, dan kau mulai menuntut untuk bisa mengenal orang tersebut lebih dari orang lainnya.
Aku ingin bertemu dengan Aryan dan memastikan dia baik-baik saja.
Setelah menghela napas, aku menekan tombol-tombol pada ponselku dan mencari nomor WhatsApp Aryan. Jantungku sedikit berdebar saat aku melakukan panggilan. Cukup lama hingga akhirnya suara ‘klik’ terdengar dari sana.