The Two Runaways

Rainy Amanda
Chapter #21

Dilla: Rahasia

Jantungku masih berdebar sedikit lebih cepat saat Aryan melepaskan kaus miliknya. Cowok itu baru saja membeli satu stel batik dari pedagang di Pasar Mantingan. Setelah memintaku memilih corak dan membayar tanpa menawar, kami kembali ke jip yang kami parkirkan di sisi jalan. Segera sesudahnya, Aryan membuka pintu belakang jip dan berganti pakaian.

Dengan terburu-buru aku mengalihkan pandangan dari kaca spion tengah pada pengemudi becak yang menurunkan pelanggan untuk berbelanja. Aku tak mau Aryan tahu aku mengintipnya dari kursi penumpang.

Tak lama, Aryan menutup pintu belakang dan kembali ke kursi pengemudi. Dia mengganti dalaman kaus hijau tua yang dikenakannya barusan dengan kaus hitam polos. Aku tidak tahu banyak tentang corak batik, jadi aku hanya memilihkan warna yang sesuai dengan kulitnya yang coklat. Sebuah batik sederhana bermotif sulur warna coklat tua dengan akses kuning keemasan dan hitam. Jenggot dan kumis tipisnya yang mulai melebat sepanjang perjalanan kami pun sudah tercukur rapi.

Aku masih ingat tekstur dagu dan pipinya yang kusentuh semalam, dan mendadak aku merasa kehilangan.

“Udah siap kondangan, kita?” tanyanya padaku dengan ceria. Aku tersenyum tipis, menyentuh lututku yang kali ini terbalut rok batik bermotif bunga-bunga hitam-putih sederhana pemberian Anna. Siapa yang menyangka bahwa aku akan menggunakannya kembali secepat ini. Untuk atasan, aku hana menggunakan blus kerjaku yang berdasar putih dengan motif titik-titik air, —pakaian yang kukenakan saat setuju untuk berkeliling Jawa bersama Aryan. Untunglah baju kerjaku itu sudah kucuci bersama baju-baju lainnya saat kami di Pacitan dulu.

Aku tahu penampilanku sedikit tidak matching, tapi pilihanku hanya ini atau kaus dan sneakers yang sudah belel karena kupakai berjalan kesana kemari.

Aryan menyalakan lampu sen, kemudian perlahan mengarahkan jip untuk masuk ke jalan utama. Aryan tidak menyalakan aplikasi Google Maps, karena lokasi Masjid Besar Ar-Rahman berada tepat di sebelah Pasar Mantingan.

“Harusnya tadi malem kita tidur di sini aja, ya,” katanya geli saat mengarahkan jip masuk ke pelataran Masjid. Kami sudah berdiskusi semalam dan kami sepakat bahwa akan sedikit kurang nyaman jika Mala atau Gun menemukan kami di sana sebelum acara dimulai, jadi kami bermalam di parkir masjid lainnya di dekat alun-alun Ngawi.

Beberapa mobil sudah terparkir di sana, tamu-tamu undangan dengan batik dan baju muslim berwarna-warni terlihat memenuhi area depan masjid. Saat akhirnya Aryan dan aku keluar dari jip, ada beberapa orang yang menyapa Aryan dari kejauhan. Aryan berbisik padaku, “Teman dari NGO juga,” sebelum memeluk sebelah pundakku dan membawaku menyapa mereka.

Saat salah satu dari teman Aryan menggodanya dengan pertanyaan kapan menyusul. Aryan menggenggam tanganku dan berkata, “Doain, aja.”

Aku tahu mungkin dia hanya memberikan jawaban standar untuk pertanyaan yang biasa ditanyakan saat momen seperti ini, tapi tak urung sesuatu seperti berputar dan bergulat di perutku.

Aku merapikan rambutku yang kutata seadanya. Setidaknya wajahku tidak berminyak karena aku sudah menyempatkan diri menggunakan pelembap dan bedak, tapi aku masih merasa terlalu pucat. Seharusnya aku benar-benar membeli lipstick yang kulihat di pasar tadi.

Kami melepaskan sepatu saat memasuki area masjid dan berjalan menuju area belakang saf. Di dekat mimbar sudah ada meja rendah berlapiskan taplak putih, tidak jauh dari situ diletakkan hiasan bunga di salah satu sisi yang kutebak sebagai spot foto setelah ijab qabul. Aryan berkomentar bahwa cukup banyak orang yang hadir, padahal ini merupakan acara akad yang biasanya lebih sepi dari resepsi.

Kami duduk bersebelahan beralaskan karpet masjid. Merasakan ruangan masjid yang terasa sedikit pengap karena banyaknya orang yang berkumpul. Suara dengungan orang mengobrol terdengar di sana-sini. Sepintas aku mendengar suara seseorang berbisik di sebelah kiriku.

“Divonis tinggal 6 bulan…”

“Saya gak kebayang perasaannya Mala gimana saat ini…”

Aryan pasti mendengar kata-kata itu juga, karena aku bisa melihat matanya berkedip sekali. Raut mukanya berubah sedikit sendu.

Apa yang akan kulakukan, seandainya aku hanya punya waktu 6 bulan lagi untuk hidup?

Pertanyaan itu terus terbayang oleh diriku sejak pertama kali mendengar cerita Gunar dan Mala. Meski tahu bahwa mereka kemungkinan besar akan berpisah lebih cepat, Gunar dan Mala tetap memilih untuk bersama. Jika Gun tidak mendapatkan vonis tersebut, apakah mereka akan mengambil keputusan yang sama?

Apakah tadinya mereka sempat berpikir untuk menunda pernikahan karena merasa tidak siap dengan kehidupan setelah pernikahan?

Dan sekarang, setelah tahu bahwa mereka memiliki waktu lebih pendek dari pasangan lainnya, mereka memutuskan bahwa mereka telah cukup siap menghadapi bahtera rumah tangga?

Aku sendiri terkejut saat pikiran itu muncul di benakku. Kusimpan pikiranku itu dari Aryan karena ini adalah pernikahan sahabatnya.

Diam-diam aku mencuri lirik pada Aryan. Gun baru saja memasuki ruangan, berjalan tertatih didampingi dua pria berkopiah Beskap Gun berwarna putih, sementara keluarganya yang lain menggunakan jas hitam. Gun terlihat sangat kurus.

Aku melihat Aryan menahan napas, matanya meredup semakin sendu, dan aku memikirkan pesan Sofi padaku.

Selepas bicara denganku kemarin, Sofi meminta Pak Dayat untuk mengantarku kembali ke Yogyakarta. Sofi mengatakan padaku bahwa Aryan sedang syok, ada masalah keluarga yang membuatnya seperti itu. Ibunya telah lama mencari Aryan, dan tadinya meminta Sofi serta Gani untuk membawa Aryan kembali saat mereka tahu di mana Aryan berada.

Tapi Sofi tak ingin Aryan menjauh lebih dari ini.

Jadi dia menitipkan ponsel Aryan padaku dan memastikan aku kembali ke Yogyakarta dalam keadaan selamat. Saat aku menghubungi Agus dan memberitahu bahwa aku mengubah rencana untuk menunggu Aryan di guest house karena Aryan tak bisa dihubungi, Agus tidak keberatan sama sekali.

Lihat selengkapnya