Continue straight for 500 meters,
Mengikuti petunjuk suara dari google maps, gue mengarahkan mobil untuk berjalan lurus. Jam menunjukkan pukul 7 malam, dan area yang gue lalui cukup ramai kendaraan. Gue melirik smartphone yang baru gue beli. Garis jalur di peta menunjukkan warna kuning, jalanan sedikit padat merayap. Tak lama lagi gue harus mengarahkan jip untuk berbelok kanan di sebuah perempatan.
Setelah gue puas menyetir jip tanpa arah dan harus berhenti untuk mengisi bensin, gue baru sadar bahwa ponsel gue hilang sore tadi. Gue sudah mencari di jaket, di bawah kursi jip dan yakin bahwa kemungkinan besar ponsel gue terjatuh.
Setelah membeli nomor baru dan ponsel baru, seharusnya gue segera memblokir email dan beberapa aplikasi mobile banking di nomor lama, tapi gue putuskan untuk melakukan itu lain waktu.
Saat ini, gue hanya ingin segera kembali ke Yogyakarta. Sudah terlalu lama gue meninggalkan Dilla.
Oh, why you look so sad?
Tears are in your eyes
Come on and come to me now
Musik dari Spotify yang gue set memainkan lagu acak tiba-tiba memutar lagu yang mengembalikan gue pada kenangan masa lalu.
Don't be ashamed to cry
Let me see you through
'Cause I've seen the dark side too
Dulu sekali, gue pernah mendengar Tasya memainkan lagu ini menggunakan piano di rumah. Piano yang mulanya diperuntukkan untuk Sofi, tapi kakak gue itu mulai enggan meneruskan kursus pianonya sejak masuk SMA dan mulai berpacaran.
When the night falls on you
You don't know what to do
Nothing you confess
Could make me love you less
Gue tersenyum kecil. Kata-kata ini pernah begitu berarti. Tasya adalah orang pertama di luar keluarga yang gue beritahu tentang Papa. Itu pun setelah 1 tahun kami dekat.
Tasya si cuek. Si pecinta basket yang paling benci matematika, tapi suka sekali dengan pelajaran sejarah. Tasya dengan rambut panjang, kulit kuning langsat, dan mata kucingnya yang membuatnya terlihat misterius. Tasya yang suka piano.
Gue dan Tasya mulai saling mengenal di kelas VII. Kami satu kelas, dipasangkan untuk duduk satu bangku karena nomor kami saling bersebelahan saat kami mendapatkan undian bangku. Meskipun setelahnya pasangan duduk kami berubah-ubah, kedekatan kami berlanjut menjadi sahabat. Saat kami berpisah kelas di tingkat akhir SMP, kami tetap saling mencari. Pertemuan dan ledekan di kantin berubah menjadi janji nonton bersama di akhir minggu, atau memasak bersama sepulang sekolah.
Kala itu, gue begitu tergila-gila dengan skate board, dan Tasya menemani gue bermain di taman Menteng hampir setiap minggu. Biasanya dia akan bermain basket di lapangan tidak jauh dari tempat gue berlatih.
Kami tidak pernah mendeklarasikan hubungan kami sebagai pacar. Tidak ada yang bertanya, tidak ada yang merasa perlu—setidaknya gue tidak memikirkan hal itu. Tasya dan Agus kala itu satu kelas, dan Agus sering sekali mengomeli gue karena mengajak Tasya membolos. Beberapa kali Agus mengingatkan: “Tasya itu polos, jangan dimainin, Aryan!” dan gue biasanya hanya cengegesan mengabaikan kata-katanya. Gue rasa gue di masa lalu sama bodohnya dengan gue di masa sekarang, karena orang lain bisa dengan jelas melihat bahwa gue dan Tasya terlalu dekat untuk bisa dibilang sekadar teman.
Hanya gue yang terus buta dengan apa yang terjadi, terlalu sibuk dengan diri sendiri.
Gue mematikan musik. Tidak kuasa mendengarkan lagu sampai selesai. Mata gue berkaca-kaca. Merasa benar-benar bodoh.
Tiga bulan menjelang kelulusan SMP, gue harus diopname karena tipus dan DBD. Tasya menjenguk gue saat gue masih diperiksa di UGD. Gue masih ingat mukanya pucat, gue bercanda apakah dia khawatir dengan kondisi gue, dan dia hanya tertawa. Saat gue akhirnya mendapat kamar, dia permisi pulang, dia bilang dia akan kembali lagi besok bersama Agus dan yang lainnya.
Tapi dia tidak datang keesokan harinya. Hanya Agus, wali kelas gue, dan beberapa teman-teman sekelas. Agus bilang, Tasya tidak masuk sekolah hari itu.
Setelahnya, gue tidak pernah melihat Tasya lagi. Kata guru dan yang lain, Tasya pindah sekolah. Tidak ada yang tahu ke mana Tasya pergi.