Pantai sunyi. Begitu gue dan teman-teman gue menyebutnya. Gue menemukan lokasi ini saat kuliah dulu. Waktu itu, gue dan anggota klub pecinta alam kampus memutuskan untuk berjalan-jalan ke area Garut di selatan Bandung. Kami sempat tersesat saat mencari Pantai Santolo dan kami menemukan jalur pantai tak dikenal yang sangat sepi. Hari sudah gelap dan sepanjang jalur pantai tidak ada penerangan sama sekali, tapi kami menemukan sesuatu yang tidak kami duga.
Yang gue ingat dari kunjungan itu adalah udara lembap yang seakan membawa butir pasir dan betapa indahnya langit. Beberapa teman perempuan gue kala itu mengeluhkan situasi yang sedikit terasa angker, apalagi saat kami berada di area pantai selatan. Tapi buat gue, kesepian dan ketenangannya membuat pantai ini terasa seperti milik sendiri.
Setelah membawa cukup air, makanan, serta membawa arang, minyak tanah dan pemantik untuk api unggun, gue mengajak Dilla bertolak ke tempat tersebut langsung dari Ngawi.
Butuh waktu cukup lama untuk sampai ke Garut, tapi gue memang sedang ingin melakukan perjalanan panjang. Lagipula, Dilla tidak tampak keberatan.
Dilla sudah tertidur saat kami melewati Tegal. Tol penghubung antar kota sangat membantu untuk mempersingkat perjalanan. Gue berharap untuk bisa cepat sampai agar kami bisa menikmati pantai sunyi sebelum melihat sunrise esok pagi.
Tidak terhitung berapa kali gue mencuri lirik pada Dilla. Rasanya sedikit lucu. Sebulan yang lalu gue masih mengenalnya sekadar sebagai Fadilla teman satu jurusan gue di universitas. Saat melihatnya kembali di teras guest house Agus di Yogyakarta dua hari yang lalu, gue tahu bahwa perempuan di samping gue ini telah menjelma menjadi sesuatu yang lebih dari itu.
Sepanjang hari, yang gue inginkan hanya menyentuh Dilla lebih banyak lagi.
Gue tersenyum pahit. Tak tahu harus merasa sedih atau senang dengan fakta yang baru gue temukan ini.
Saya doakan langgeng ya, Mas. Gue teringat kata-kata Gun saat gue dan Dilla berpamit pergi sore tadi. Seraya menjabat erat tangan gue, dia menyempatkan diri untuk menggoda gue soal Dilla. Saat gue membalas dengan senyum kecil, gue teringat bahwa tak ada helai rambut yang tersisa di balik kopiah yang lawan bicara gue kenakan. Beskap putih yang menjadi jubah kebesarannya terlihat longgar.
Gue tidak tahu bagaimana Gun bisa tetap memutuskan untuk menikahi Mala. Apakah itu sesuatu yang jahat? Ataukah baik? Apakah itu keputusan yang tepat.
Setidaknya dia melakukan sesuatu, bukan lari seperti lo, Yan.
Mulut gue terasa pahit. Perlahan gue mengambil kaleng berisi soda dan meneguknya sekali. Gue menarik napas dalam-dalam, dan menjaga agar kecepatan jip tetap stabil.
Untuk Dilla, gue yang pengecut ini akan berikan yang terbaik yang gue bisa.
* * *
Dilla terbangun saat gue baru saja berhasil memantik api unggun. Gue mendengar ada suara pintu jip menutup dan menemukan cewek itu muncul dari balik badan jip.
Dengan cepat gue berdiri dan membuka bagian belakang jip, mengambil jaket berbahan kanvas dan memberikannya pada Dilla. Udara tempat kami berada saat ini terasa lembap, tapi angin yang berembus dari daratan ke pantai cukup kencang. Dilla masih mengenakan pakaian yang digunakannya menghadiri resepsi Gun dan Mala, jadi dia mungkin akan merasa sedikit kedinginan.
Dilla terlihat sedikit terkejut, tapi dia membiarkan gue menyampirkan jaket tersebut di pundaknya.
“Aku ketiduran lama, ya?” katanya sambil menebarkan pandangan jauh ke batas pantai yang gelap gulita. Suara ombak berdebur kencang, membuatnya harus mengulangi kata-katanya dua kali.
Gue melapisi kursi belakang jip dengan selimut tipis dan menggandengnya untuk duduk. Rencananya ransel dan tas kami nanti akan gue gunakan sebagai pengganjal punggung dan kepala.
Api unggun dan tempat tidur buatan di kursi belakang. Sedikit gombal, tapi beginilah cara paling nyaman menikmati pantai sunyi.
Diam-diam gue sedikit kecewa saat menyadari tempat ini sudah tidak sesepi dulu. Jalan setapak yang dulu gue lewati sudah dilapisi aspal. Penerangan sudah ditempatkan di beberapa sisi pantai. Meski kosong, ada bangunan kayu dan musala kecil yang berada tidak jauh dari tempat kami parkir saat ini.
Dilla mendudukkan dirinya di atas lapisan selimut yang gue biarkan membentang menutupi jok jip. Kakinya bergoyang-goyang, gue tebak karena merasakan angin dingin yang menelusup menyentuh kulit. Kedua tangannya memegang erat sisi jaket kanvas milik gue.
Gue berjongkok kembali di depan api unggun, memastikan apinya cukup besar sebagai penerangan dan penghangat. Di belakang gue, ombak berdebur di kejauhan. Saat ini jam menunjukkan pukul setengah 3 pagi dan gue berharap gue dan Dilla akan punya cukup banyak waktu menikmati pantai tanpa gangguan.
Saat berdiri dan melirik Dilla, gue melihat cewek itu masih memandang laut dengan raut takjub. Gue menempatkan diri di sampingnya, sengaja membiarkan pundak kami saling bersentuhan. Dilla menangkupkan kedua tangannya di pangkuan, gue berpikir kapan waktu yang tepat untuk menempatkan jari-jemari gue di sana.
“Suka, gak?” tanya gue.
Dilla mengangguk cepat, tersenyum kecil. “Kayak… di film.”
“Genre apa?”
Dia tertawa dan menoleh pada gue, “Dokumenter?”
Mendapati lirikannya di jarak sedekat ini, otak gue serasa tak bisa lagi mencerna apa-apa. Jadi gue hanya menelan ludah dan sedikit menggeser posisi duduk gue. Menyandarkan punggung pada sisi pintu jip, melipat sebelah kaki dan mengarahkan tubuh gue ke arahnya. Gue sedang mengulur waktu untuk bereaksi seraya berlama-lama menatap Dilla.
“Kenapa, Aryan?” tanyanya setelah hampir 3 detik kami bergeming saling menyelami manik mata masing-masing.
Gue membuka mulut, kemudian menutupnya kembali. Gue putuskan bahwa apa yang ingin gue sampaikan tidak akan bisa diungkapkan dengan kalimat saat ini. Jadi gue mencondongkan tubuh dan menarik Dilla mendekat.
Dilla terlihat sedikit bingung tapi menggeser duduknya perlahan. Gue mengangkat jaket canvas dari kedua bahu Dilla. Cewek itu bersandar pada dada gue. Kedua lengannya yang mungil dan putih berada dalam lindungan gue. Kedua lututnya yang tersingkap di tengah udara pantai tertutup jaket kanvas milik gue. Tangan kanan gue menyusup melingkari pinggangnya, sementara tangan kiri gue menyusupi jari jemarinya.
Ujung kepalanya berbau bunga yang samar. Teksturnya yang ikal lembut menggelitik pipi dan hidung.
Saat gue merasakan jemari Dilla yang membalas genggaman gue. Gue ingin waktu berhenti.
Kami terdiam kembali dalam posisi seperti itu. Detak jantung yang memburu, napas yang perlahan menjadi seirama. Gue sempat berpikir apakah perlu gue memutar musik, tapi suara alam yang kami nikmati saat ini sudah lebih dari cukup. Desahan angin, percikan air. Tidak ada yang lebih indah dari ini.
“Apa lagi yang ingin kamu lihat?” bisik gue di puncak kepalanya.
Dilla menghela napas dalam-dalam, gue bisa merasakannya dari tubuhnya yang bergerak naik turun.
“Banyak,” katanya pelan.
Dilla mengangkat kepalanya dari dada gue. Sejenak gue sempat sedikit kecewa, tapi cewek itu memutar tubuhnya dan menyusupkan kedua tangannya ke sekeliling gue. Wajah dan dadanya menempel pada dada gue.
Gue tahu dia pasti mendengar denyut jantung gue yang mendadak berhentak-hentak. Sudah terlambat untuk gue mencegah itu terjadi.
“Banyak itu apa saja?” tanya gue sambil berusaha menenangkan diri.
Dilla bergumam panjang.
“Saya ingin mabuk.”
“Hah? Maksudnya minum alkohol?”
Dilla terdengar berpikir sejenak sebelum menjawab, “Iya.”
Fadilla dan alkohol, dipikir berapa kali pun gue tidak menyangka bahwa keduanya akan berada dalam situasi yang sama.
“Kenapa?”
Dilla melepaskan tangan kirinya dan memainkan ujung kaus di lengan gue. Kulitnya menyentuh kulit gue dan rasanya gue mau meledak saat ini.
“Saya… ingin mengenal diri saya lebih baik lagi.”