Jika ada satu hal yang begitu kuingat sejak aku pertama kali melihat Aryan, adalah warna kulitnya. Aku tak tahu apakah itu efek dari banyak perjalanan yang dia lakukan, tapi dia mengingatkanku akan roti panggang dan mentega. Dipadu dengan tulang hidungnya yang tegas dan rambut pendeknya yang berwarna coklat tua di bawah matahari, kurasa aku tahu sejak lama bahwa garis keturunannya tak sepenuhnya berasal dari Indonesia.
Meski mengingatkanku akan pria-pria blasteran, Aryan tidak bisa dibilang tinggi. Puncak kepalaku hanya sedikit di atas bahunya, tapi banyak teman laki-lakiku di kampus yang lebih menjulang darinya. Meski pundaknya lebar, Aryan juga tidak juga berotot atau atletis. Suaranya berat namun lembut. Matanya sedikit sipit.
Jika dia tersenyum, hanya ada satu lesung di sisi kiri wajahnya.
Aryan suka membolos. Terkesan menggampangkan banyak hal. Namanya sering kali disandingkan dengan teman yang kemungkinan tidak akan hadir di presentasi penting, atau mematahkan hati beberapa perempuan—bukan karena sengaja, tapi karena tak pernah ada.
Aku tidak pernah berpikir bahwa Aryan sempurna.
Bahkan saat aku berbaring di sampingnya saat ini, melihat bulu halus di pipi dan dahinya yang terpantul sinar matahari dari jendela jip, aku tetap berpendapat sama. Saat aku tanpa sadar menyamakan napasku dengan turun-naik dadanya dan suara dengkur halusnya. Menahan diri untuk tidak menyentuh dan membangunkannya dari tidur yang mungkin jarang dia dapatkan.
Dia adalah Aryan. Aku tidak bisa memikirkan kata lainnya.
Aku berharap kali ini dia tertidur nyenyak. Mendapatkan sedikit ketenangan setelah sekian lama.
Aku tidak tahu harus ke mana, Dilla, begitu dia pernah berkata padaku, di hari terakhir kami di Yogyakarta. Aku ingat sorot matanya yang rapuh. Tersesat. Aku baru sadar bahwa itu adalah sorot mata yang sama yang kulihat di saat dia menolongku sebulan yang lalu.
Aryan mengerang perlahan. Wajahnya berubah condong ke arahku. Dahinya mengernyit dan kelopak matanya bergetar, membuka setelah berkedip beberapa kali.
Saat matanya menemukanku, aku merasakan kupu-kupu dalam perut itu lagi.
Aryan memejamkan matanya kembali dan menarikku mendekat. Kedua jendela jip di kursi penumpang terbuka lebar dan aku bisa merasakan tiupan angin pantai yang menelusup masuk.
Dia mengecup ujung kepalaku.
Kami terdiam kembali selama beberapa lama sebelum dia bertanya, “Setelah ini, kita akan pergi ke mana?”
Aku tersenyum dan dia membungkam mulutku dengan kecupan. Kurasa dia tidak ingin benar-benar tahu jawabannya.
* * *
“Sejak kapan, Fadilla?”
Aku berdiri di sisi jalan jalur antar kota Garut. Tidak jauh dari sebuah warteg yang menjual semur tahu kecap dan tempe bakar terlezat yang pernah kucicipi. Aryan sedang menunggui ponsel miliknya di sana, meminjam listrik untuk mengisi batere seraya mengobrol dengan pemilik warteg tentang Gunung Papandayan.
Aku memindahkan ponsel pada kuping kiri. Baru saja aku menjelaskan pada Bunda bahwa aku sudah lama mengundurkan diri dari Murahmeriah.com. Aku berjanji akan menelfonnya tempo hari. Belum sempat aku menepatinya, Bunda sudah menghubungiku kembali sore ini.
“Dilla keluar dari kantor sebulan yang lalu,”
“Kenapa, Nak?”
Aku merapatkan bibir. Kemudian memberanikan diri untuk melafalkan jawaban yang telah lama kupersiapkan, “Dilla… gak bisa mengikuti ritme kerja di sana.”
Ini adalah kali keempat aku keluar dari perusahaan tempatku bekerja selama empat tahun terakhir. Aku sudah siap untuk mendapatkan wejangan, untuk menghadapi kekhawatiran Bunda. Saat aku mendengar Bunda menghela napas, aku berharap pembicaraan ini cepat selesai.
“Kenapa tidak langsung memberitahu Bunda?”
Kenapa? Karena Bunda punya banyak hal untuk dipikirkan. Obat-obat Ayah, biaya kuliah Fajar. Bagaimana seharusnya aku memberitahu Bunda bahwa aku menambah masalahnya? Kekecewaannya?
“Fadilla?” tegurnya lembut, memintaku untuk kembali pada pembicaraan.
“Aku baru mau beritahu Bunda nanti.”
“Kapan, Nak?”
Sebuah truk besar membunyikan klaksonnya yang berisik. Aku memanfaatkan waktu itu untuk mengulur waktu, mungkin memberikan alasan kondisi yang sedang tidak mendukung bagi kami untuk membicarakan hal ini.
“Fadilla? Kamu baik-baik saja?”
Bunda terdengar begitu resah. Aku tidak suka situasi ini.
“Maaf, Bunda. Aku… tadinya berniat memberitahu Bunda saat aku sudah… tahu apa yang harus kulakukan.”
“Apa yang mau kau lakukan, Dilla?”
Aku belum tahu, Bunda. Tapi yang jelas aku tidak ingin kembali bekerja di tempat seperti Murahmeriah.com.
Kata-kata di benakku itu terasa menekan dada. Aku merasakan mataku yang mulai memanas. Air mataku sebentar lagi tumpah. Aku benci merasa lemah seperti ini.
“Sekarang kamu di mana? Dengan siapa?”
“Apa selama ini Bunda tidak malu padaku? Tidak marah?” tanyaku memotong kata-kata ibuku. Tidak pernah sebelumnya aku bersikap kurang sopan seperti ini. Tapi aku perlu tahu.
“Apa?”
Aku sengaja memberi ruang pada jeda. Membiarkan Bunda berpikir lebih lama.
“Malu dan marah kenapa, Dilla?” tanyanya kemudian. Nada suaranya terdengar prihatin.
“Karena… Dilla terus pindah kerja.”
Semua biaya kuliah, semua keringat dan doa Ayah dan Bunda, tidak juga berbalas. Sekarang Ayah sakit dan aku membiarkan Bunda gundah setiap hari.
Bunda tertawa, bukan tawa yang dipaksakan, tapi tawa lembut. Tawa yang pasrah.
“Malu apa… Dilla, gak pernah Bunda berpikir begitu soal kamu, Nak…”
“Tapi… Bunda sedih?”
Aku bisa mendengar Bunda menghela napas panjang di ujung sana. Melihat ada kursi plastik yang tak terpakai di sebuah warung kelontong di sebelah warteg, aku mendudukkan diri. Sang pemilik mengangguk saat aku memberi isyarat untuk membeli teh kemasan dingin. Jantungku berdebar-debar, tidak sabar menunggu jawaban Bunda.
“Pasti sedih, Dilla. Tapi sedih karena Bunda tahu kamu sakit hati.”
“Bunda tahu kalau selama ini kamu yang paling kecewa. Kamu sudah berusaha menyesuaikan diri di pekerjaan, dan terus patah hati. Tapi Bunda tidak bisa membantu apa-apa.”
Aku menggigit bibir. Teringat hari-hari di mana aku mengirim CV dan surat pengantar ke banyak perusahaan yang membuka lowongan. Hari di mana aku menangis diam-diam di kamar mandi kantor.
“Tapi… kalau Ayah tahu… pasti Ayah marah,” kataku.
“Mengingat sifat Ayahmu… yah… mungkin dia marah, tapi Bunda bukan Ayah.”
“Dan kalaupun Ayah marah, bukan berarti kamu anak yang membuat malu.”
“Soal apa yang Ayah rasa, kamu bisa tanyakan sendiri pada Ayah nanti, saat Ayah sembuh, ya?”
Buru-buru aku menghapus air mata yang mulai menetes dengan punggung tangan.
“Yang Bunda minta saat ini… janganlah kamu merasa ragu untuk pulang. Bunda selalu ada untuk kamu, Nak.”