Seperti artis baru yang berpikir pendek dan menjual semua miliknya di desa. Hanya untuk bisa muncul sedikit lebih lama di panggung dunia. Meniru yang sudah lebih dulu berjaya. Percaya, terus percaya, meskipun itu tipu daya.
Suatu waktu, gue pernah berpikir begitu sinis akan Jakarta.
Gedung-gedung tinggi seakan saling beradu. Mengumumkan siapa yang paling bisa menawarkan keamanan finansial. Di salah satu gedung itu adalah perusahaan turun temurun milik keluarga Mama. Di salah satu gedung itu, Papa pernah merasa terpenjara. Di salah satu gedung itu, Dilla meragukan dirinya.
Gue masih ingat saat Mama memberitahu bahwa gue diterima masuk management trainee di Brett-Louis. Gue tidak pernah melamar di Brett-Louis, perusahaan konsultan asal Australia yang mendirikan cabangnya di Jakarta. Mama menganggap serius kata-kata gue yang berkata bahwa gue tidak berminat meneruskan perusahaan setelah lulus kuliah. Jadi dia menawarkan solusi: tidak apa jika tidak mau bekerja untuknya, setidaknya tetaplah menjadi berguna di luar sana.
Begitulah tipikal Mama, tidak mau mengalah, selalu berusaha memastikan orang lain hidup dengan caranya.
Sejak Papa meninggal, gue mengakui bahwa gue begitu tekun menjalankan peran baru gue: membangkang dari Mama.
Gue tahu hidup gue ini menggelikan. 5 benua pernah gue jajaki. 25 negara. Tapi semua itu hanya untuk membuktikan sesuatu pada Mama. Pada dunia. Pada Papa.
Bahwa seseorang bisa hidup mengikuti kata hatinya, dan semuanya akan baik-baik saja.
Tapi seseorang bisa memikirkan banyak hal, Aryan.
Ada kalanya kita adalah kritikus terburuk bagi diri kita sendiri.
Kadang kita membohongi diri kita sendiri.
Itu semua kata hati, dan kita tidak baik-baik saja.
Jadi bagaimana kita tahu mana yang merupakan mimpi?
Gue pasti sudah gila. Dilla tidak sedang bicara, tapi gue bisa mendengar suaranya di benak gue. Cewek itu duduk diam selama perjalanan kami dari Garut. Sesekali memberikan gue botol berisi air mineral. Memutar lagu. Tapi tidak bicara apa-apa.
Saat kami akhirnya memasuki timur Jakarta, berbelok menuju area pertokoan yang menjadi benteng terluar perumahan para pebisnis, karyawan, akuntan, insinyur yang harus bolak-balik ke pusat kota untuk bekerja setiap harinya.