“Dek, tumpeng sama kue basah pesanan Eyang Nuri jadinya besok mau dianter jam berapa?”
Aku menoleh pada perempuan yang berdiri di ujung pintu dapur. Sebelah tangannya memegang ponsel. Rambutnya yang ikal panjang dibiarkan tergerai, kuku-kukunya dipulas warna beige dengan garis putih. Dia mengenakan terusan polos berwarna mint dengan tali di bawah dada bermodel empire.
Meski sudah beranak dua, kakakku Febi memang tak pernah kehilangan pesonanya. Di balik terusan itu, ada perut yang sedang mengandung 3 bulan. Anak ketiganya bersama Mas Agam, suami keduanya.
Enam bulan sejak aku keluar dari murahmeriah.com, Febi memutuskan untuk bercerai. Febi tidak pernah membawa kedua anaknya kembali ke Palembang. Kakakku itu mendapatkan pekerjaan sebagai agen asuransi seraya bersamaku membantu membesarkan usaha katering milik Bunda. Aku dan Bunda fokus di operasional. Sementara Febi mengontak teman-teman lamanya dan membuat konten-konten social media. Produk kami tidak baru, hanya tumpeng dan kue basah klasik, tapi kami berusaha keras mempertahankan cita rasa lama yang gurih dan legit.
Tiga tahun kemudian, usaha katering Bunda sudah cukup dikenal. Kami sempat mengalami pasang-surut karena pandemi yang tak berkesudahan sejak 2020, tapi kami berhasil melewatinya bersama. Belum ada toko fisik, tapi bisnis jerih payah Bunda sudah bisa menyewa 1 rumah kecil yang disulap menjadi dapur dan memperkerjakan 6 orang, termasuk supir dan tukang masak. Order catering pernikahan dan acara terus ada setiap bulannya. Aku tak pernah melihat Bunda sesibuk ini selama hidupnya.
“Jam 7 pagi, Mbak,” kataku, mengecek catatan order dengan nama Nuriyah Bahri pada laptop. Aku tersenyum. Tidak menyangka bahwa pertemuanku dengan Eyang Nuri dan Eyang Bahri di penginapan hutan mangrove bertahun-tahun yang lalu di Probolinggo akan membawa kami ke titik ini. Febi pun bertemu dengan suami keduanya di salah satu acara amal yang diadakan keluarga Eyang Nuri dan Eyang Bahri. Mas Agam adalah cucu laki-laki Eyang Nuri dan Eyang Bahri.
Besok Eyang Nuri ingin mengadakan selamatan untuk kelahiran cicit kelimanya, anak dari adik sepupu Mas Agam. Wanita baik hati itu memesan 3 tumpeng besar dan 50 tumpeng mini beserta kue basah.
Seandainya 3 tahun yang lalu aku tidak dengan tebal mukanya menghubungi Eyang Nuri dan bercerita bahwa aku memutuskan untuk mencoba membantu usaha ibuku, hari ini belum tentu terjadi.
Aku melihat Bunda yang mengangkat ponsel miliknya. Memberi instruksi, mengabari bahwa kami akan pulang sebentar lagi. Kemungkinan besar itu telfon dari suster yang mengurus Ayah di rumah.
Aku menghela napas, mematikan laptop dan menunggu layarnya redup sebelum menutupnya. Seandainya Ayah juga bisa ikut bersuka cita bersama kami. Tapi kondisi beliau tak kunjung membaik, hingga detik ini pun dia masih tergolek di kasur, semakin pasrah pada suster dan obat-obatan yang menopang hidupnya.
Tapi kami semua harus terus berjalan, begitu kata Bunda. Aku, Febi, Fajar, dan juga Bunda harus terus berjalan, demi Ayah, demi kebahagiaan setiap di antara kami juga.
“Gue pulang ya, Dek. Lo besok wawancara, kan? Good luck, ya.” Febi memegang sebelah bahuku dan menyentuhkan sisi wajahnya pada pipiku. Di luar pintu dapur, dekat garasi, aku bisa melihat Mas Agam mengangguk menyapa.
Aku tersenyum kecil. Meremas sebelah tangan kakak perempuanku itu. Di luar aku bisa mendengar suara mobil yang memasuki garasi. Fajar muncul tak lama kemudian. Dia masih mengenakan kemeja dan celana bahan. Dasi miliknya terlihat longgar di sekitar kerah. Sejak diterima bekerja di sebuah bank swasta ibukota, mata adikku itu terlihat selalu lelah.
“Yuk, pulang sekarang?” tanyanya padaku, kemudian bergegas mencari Bunda. Sesekali Fajar memang menjemput kami untuk pulang bersama. Jarak dapur katering dan rumah kami tidak terlalu jauh.
Aku membereskan barang-barangku ke dalam tas. Kemudian menjinjingnya di sebelah bahu.
Bunda dan Fajar muncul tak lama kemudian. Tinggi Bunda tak lebih dari lengan adikku. Tapi rambutnya telah dicat coklat tua dan dipotong sedikit di bawah telinga, dia terlihat lebih muda dari satu dekade terakhir aku melihatnya.
Kami tertawa, menanggapi godaan Bunda pada Fajar yang kata Bunda bau keringatnya mengingatkan akan asam jawa. Aku sudah siap membuka pintu mobil sedan hitam kami, ketika tiba-tiba aku melihat mobil jip berwarna putih terparkir tidak jauh dari pagar. Sontak, jantungku berdetak lebih cepat.
Dadaku semakin berdegup karena aku juga melihat seorang laki-laki turun dari kursi penumpang jip itu.
Lelaki dengan kulit yang mengingatkanku akan roti panggang dan mentega. Rambutnya sedikit lebih panjang dari yang terakhir kuingat, namun tetap rapi dan menambahkan kesan matang. Kedua alisnya tajam. Ketika dia tersenyum, sebelah pipinya menampakkan lesung.
Lelaki itu berjalan mendekat. Tidak terburu-buru, tidak juga mengulur waktu. Sepatu sneakersnya bergesek dengan aspal. Celana jins, kaus, dan jaket parasut yang dia kenakan mengingatkanku akan perjalanan panjang.
“Malam, Tante,” sapanya pada Bunda. Meski sedikit heran, Bunda mengangguk dan mengulurkan tangan saat Aryan mendekat untuk memberikan salam.