Udara pagi ini tidak ada bagus-bagusnya. Berharap melihat langit biru sambil merasakan udara yang segar? Silakan bermimpi.
Yang ada jalanan sudah macet. Mobil, motor, bis umum yang kumuh merayap seperti siput. Masker yang digunakan untuk menutup hidung dan mulut Ara pun sudah tidak berguna lagi, karena dia bisa mencium bau asap knalpot yang memenuhi udara pagi ini.
Ara mengembuskan napas pelan. Rasanya dia ingin pindah saja ke Mars, walaupun pekerjaannya mungkin hanya melayang-layang di dalam kapal luar angkasa, tapi setidaknya itu jauh lebih baik daripada menghadapi keadaan yang melelahkan ini setiap hari.
Kemudian Ara masih harus dihadapkan oleh antrian panjang yang mengular di depan loket tiket Busway. Lagi-lagi Ara hanya bisa menghela napas pasrah. Lalu, dia memilih untuk mendengarkan musik yang menyenangkan di pagi hari melalui ponselnya.
Seperti inilah hidup Ara. Dia selalu mencoba melupakan betapa setiap hari dia harus mengulang rutinitas yang sama nan membosankan.
Bangun pagi dengan beban berat di pundak—seolah dia bakalan naik gunung dengan ransel seberat satu ton—kemudian terjebak di tengah kemacetan yang menggila yang hampir membuatnya gila. Belum lagi menghirup polusi lalu mengerjakan pekerjaan yang membosankan yang membuatnya ingin berteriak kencang sambil memohon agar akhir pekan jangan cepat berlalu—walaupun dia tahu itu sia-sia.
Kini Ara sudah berada di dalam Busway yang sesak. Kakinya pegal karena sudah kelamaan mengantri dan berdiri. Di depannya ada seorang cowok yang asyik main ponsel. Sisanya deretan bangku itu diisi oleh ibu-ibu dan mbak-mbak kantoran.
Pikiran Ara melayang ke momen kelulusannya beberapa bulan lalu. Dia pikir setelah lulus kuliah, Ara akan menapaki kehidupan dewasa yang menyenangkan. Bekerja di kawasan elit Sudirman, punya gaji besar dan memperbaiki penampilannya yang culun sehingga bisa seperti cewek-cewek modis ibu kota.
Kenyataannya, Ara malah terjebak dalam situasi yang membuatnya cukup frustrasi. Lulus sebagai lulusan yang salah jurusan, membawanya bekerja di bidang yang dia tidak sukai, sebagai pengajar bahasa Inggris khusus balita di sebuah tempat kursus kecil.
Awalnya, Ara pikir menjadi guru adalah pekerjaan yang menyenangkan, namun termpat kerjanya yang sekarang ini menjadikan Ara sebagai sapi perah. Dia adalah satu-satunya guru khusus balita yang harus mengajar lebih dari 50 jam per minggu.
Mungkin kalau waktu bisa diputar, Ara akan berjuang mati-matian meraih cita-citanya.
Ya, memang menyedihkan, saat Ara merasa dirinya adalah seniman yang berbakat namun dia malah gagal masuk fakultas seni impiannya. Hatinya hancur. Rasa sakit yang mendera dirinya bahkan lebih sakit daripada tercebur got atau ditolak oleh cowok ganteng sekali pun.
Impiannya pupus dan kepercayaan dirinya sebagai seniman hancur. Entah bisikan mana yang mempengaruhi Ara waktu itu, dia akhirnya menjatuhkan pilihan ke jurusan Sastra Perancis. Lulus dengan IPK pas-pasan, lantas Ara melamar sebagai staf marketing. Tapi karena kemampuan berkomunikasinya yang buruk, dia selalu kena omel bos karena tidak bisa mencapai target yang ditentukan.