Simpulkan. Dia melemahkanmu, atau membuatmu kuat karenanya.
Aku tidak bisa melupakan kata-kata Hyun Jae saat itu. Namun melihat sosok Namjoon yang tengah berselonjor di sofa dengan sebungkus keripik kentang kesukaannya membuatku teringat dengan benda sialan itu.
Kurogoh saku jaketku, lalu melempar benda itu ke wajahnya. Namjoon terbahak, hingga tersedak. Mampus kau hyung! Siapa suruh menyuruhku membeli itu lagi. Setelah menertawakannya dalam hati, aku mengambil tempat di sofa tunggal. Menatap layar televisi yang menyala. Tontonan Namjoon hyung ketika weekend. Drama. Dia punya banyak koleksi. Pernah sehari ia menghabiskan 2 buah drama. Dan mengulangnya lagi sampai ia paham alurnya.
Kadang heran dengan sifatnya itu. Sesekali bisa menjadi pria gila ‘itu’, lalu sosok bijak, lalu sosok pintar dalam hal strategi. Semuanya sudah aku lihat selama beberapa tahun hidup bersamanya. Hyung tiba-tiba melempar keripik kentangnya padaku. Menyadarkanku dari lamunan.
“Memikirkan apa? Oiya, semalam kau pulang duluan! Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Ah, semalam ada gadis aneh minta diantar. Dia tetangga kita.” Namjoon bangun dari acara baring-baringnya.
“Wah, kau apakan dia saat mabuk?” matanya berbinar. Aku tahu isi otaknya tak jauh dari hal mesum.
“Apa-apaan? Aku hanya mengantarkannya. Dia menyebalkan, berisik dan kecil.” Namjoon tergelak. Dia langsung duduk di dekatku, menarik kepalaku. Membisikkan sesuatu.
“Kau harusnya me—“
“Ah … sudah jam 11 siang ya. Waktunya tidur.” Ucapku menyela ucapannya. Namjoon mendorong kepalaku. Kesal.
“Ya, tidur sampai musim dingin selesai! Kau sama saja seperti beruang kutub!” Ledeknya, aku memeletkan lidah padanya. Berakhir dengan remote tv yang terbanting ke arahku. Tawaku pecah melihat Namjoon kesal.
Sayang, sebelum masuk ke kamar. Aku mengintip sebentar pada kamar Namjoon. Sosok perempuan dengan selimut di dadanya itu membuatku berbalik arah, menghujam Namjoon dengan tatapan tajam. Pria itu menukikkan alisnya. Ingin tertawa.
“Hyung! Usir dia!” Ucapku menunjuk ke kamarnya. Namjoon menepuk jidatnya, pura-pura lupa. “Ah, dia tidur Jaehwan. Masa aku bangunkan? Kan kasian.” Namjoon membuatku geram. Selalu saja begini. Aku tak yakin malam ini akan jadi malam tenang seorang Min Jaehwan.
Beberapa jam setelah bergulat dengan kasur kesayanganku. Aku mengendus, menghidu bau masakan enak dari arah dapur. Kulirik jam weker di atas nakas. Pukul 3 sore. Pantas saja aku terbangun, aku kelaparan. Kakiku melangkah menuju dapur sadar akan bau masakan. Tunggu dulu! Aku berhenti melangkah, baru ingat. Di apartemen ini tak ada yang bisa memasak kecuali aku. Namjoon? Jangankan menyentuh kompor, ia menyentuh ketel saja tidak pernah.
Pernah sekali ia ingin memasak. Saat berhadapan dengan kompor induksi yang ada di kitchen set, dia malah pergi ke kamar. Kutanya kenapa tidak jadi, Namjoon bilang, “Sumpah, aku tidak tahu bagaimana kau menghidupkan kompor rata itu.”
Sampai saat itu, dia tak pernah punya niatan memasak lagi. Kalaupun lapar, dia akan pergi membeli di restoran. Tapi kali ini, aku menaruh kecurigaan dari bau masakan ini. Berharap bukan Seung Ah.
Setelah berada di bibir pintu, mataku terbelalak kaget. Perempuan berambut kuning terang dengan tanktop itu menoleh mendapati aku tengah menganga.