Dong Go tertawa melihat aku memeluk pistol baruku. Glock 20, pistol tipis serta ringan. Tapi mematikan, itu kata Dong Go. Pistol ini sudah lama digunakan pihak Amerika Serikat, selain untuk militer. Dan aku baru memilikinya. Kutodongkan kesembarang arah, bergaya ketika sedang menembak sasaran. Bergerak ke kiri dan ke kanan.
“Hati-hati dengan benda itu. Aku bisa menodongkan pistol revolver milikku padamu juga.” Ancamnya melihatku bertingkah.
“Aku juga mau punya pistol revolver series lainnya jika uangnya terkumpul nanti. Tapi ini dulu,” kataku menunjukkan pistol baruku itu. Dong Go terkekeh, sambil menepuk bahuku.
“Gunakan pistolmu untuk menembak mangsa, gunakan juga hatimu untuk menembak wanita. Hatimu keliatannya sudah lama jadi seonggok rumah kosong tanpa penghuni.” Cibirnya. Perduli! Sama sekali tidak perduli.
Aku segera keluar dari toko yang merangkap jadi toko elektronik itu. Namun belum sampai kebahagiaan itu bertahan lama, sosok yang sedang berdadah ria di pinggir jalan itu menghentikan langkahku. Sejak kapan dia ada di sini?
“Hai … , tetanggaku yang dingin tapi manis.” Ucapnya penuh dengan binar-binar bahagia. Jika bisa kuvisualisasikan, ada cahaya-cahaya yang mengitarinya, lalu matanya ada bunga-bunga sakura yang berjatuhan. Nampak menggelikan. Aku bergidik ngeri.
Lebih baik aku jalan saja. Meladeni percakapannya sama saja membuang separuh waktu di hidupku. Tak berguna. Bunyi klotak-klotak dari sepatu boot kecil berwarna cokelat tua dengan hak sedang itu mengikutiku. Berlari kecil mengejar langkahku. Sampai kulihat rambutnya terkibar.
“Kau ini kenapa hah?” bentakku. Seung Ah mengembangkan senyum menggemaskannya.
“Kau ini, aku kan hanya ingin pulang bareng denganmu.” Ucapnya sambil memainkan jari telunjuknya. Bibirnya mengerucut. Aku meringis melihat ekspresi itu.
“Tidak. Tidak dan tidak akan pernah. Pulang sendiri.” Ucapku kasar. Aku berjalan lebih dulu, tanpa memerdulikan suara teriakan Seung Ah yang lebih seperti teriakan burung beo baru belajar bicara.
Sesampainya di apartemen. Namjoon tidak terlihat. Di kamarnya pun juga tidak ada. Aku menuju dapur untuk mengambil air, ada satu tempelan kertas. Pesan dari Namjoon yang katanya malam ini, Big Daddy ingin bertemu kami. Para kepala suku. Anggap saja begitu.
Tok Tok Tok
Aku segera membukakan pintu tanpa melihat terlebih dahulu dari lubang pengintip. Seung Ah? Gadis ini kenapa bisa berada di depan pintuku? Kutatap dia yang tengah tersenyum itu. Lalu menutup pintu lagi, dia menjulurkan kakinya hingga terantuk daun pintu. Aku menghela napas kasar, terpaksa membuka lagi pintu itu.
“Kenapa? Kehadiranmu tidak diperlukan saat ini.”