Namaku Laika Olga. Aku lahir di Rusia tepatnya di kota St. Petersburg. Sebuah kota pelabuhan di Laut Baltik dan kota terbesar kedua di Rusia. Kota ini juga merupakan kota kelahiran Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Ada satu musim di St. Petersburg yang dinamakan White Night. Pada musim ini kita tidak akan melihat malam yang benar-benar gelap, karena letak St. Petersburg yang berdekatan dengan Kutub Utara. Kalau sudah begini, aku pasti merengek kepada Ayahku untuk mengajakku jalan-jalan di Nevsky Prospect. Bisa dibilang ini adalah jalan utama dan pusat keramaian di St. Petersburg.
Tidak lupa aku selalu mampir disebuah restoran yang menyediakan makanan khas Rusia, namanya Chicken Bogatyr. Bentuknya seperti sandwich tapi alih-alih menggunakan roti malah pakai kulit lumpia yang lebih tebal yang sangat lembut dan manis, didalamnya diisi ayam, jamur dan keju.
Itu adalah beberapa hal yang membuatku rindu dengan Rusia, karena saat usiaku lima tahun, Ayah pindah ke London dengan memboyongku beserta Ibuku. Ayah mencoba peruntungannya dibisnis kecil konveksi miliknya. Tidak begitu lancar pada awalnya, namun, akhirnya aku bisa lulus kuliah karena bisnis konveksi milik Ayah.
Aku sangat mencintai Ayah dan Ibuku. Tentu saja semua anak harus seperti itu, bukan? Setelah segala perjuangan yang mereka lakukan untuk kebahagiaan anaknya, rasanya aku ingin cepat-cepat dewasa lalu bekerja hingga memiliki uang agar aku bisa membalas semua jerih payah mereka. Namun, pada saat umurku 25 tahun, tiba-tiba saja Ayah terjatuh didapur, dan setengah badannya yang kiri mengalami kelumpuhan. Ayah koma selama tiga hari dirumah sakit. Ibuku tidak pernah beranjak semenit pun dari sisi Ayah. Menangis sesenggukan dan selalu mencoba mengajak Ayahku berbicara.
Sedangkan aku, malah memilih menjauh dari Ayah. Seingatku, hanya sekali aku menjenguk Ayah. Rasa-rasanya aku tidak sanggup melihat keadaan Ayahku waktu itu. Banyak kabel ditubuhnya dan sebuah mesin yang berbunyi seirama dengan detak jantungnya.
Pada saat itu aku memutuskan untuk kembali kerumah. Hingga beberapa waktu kemudian, Ibuku menelepon. Aku sudah mulai curiga dengan suaranya yang berat dan terbata-bata. Dan benar saja, Ayahku meninggal.
Aku lalu melangkah berat menuju kamar kedua orang tuaku. Kubuka pintunya perlahan-lahan. Aroma parfum Ayahku langsung semerbak menusuk hidungku. Kuedarkan pandangan kesekitar kamar, berantakan. Tentu saja Ibuku pasti sangat panik hingga tidak sempat membereskan kamarnya lagi.
Akupun mulai membersihkan kamar itu. Masih dengan wajah biasa saja. Seperti tidak terjadi sesuatu. Hingga aku meraih baju Ayahku yang tergantung dibelakang pintu. Kuremas bajunya lalu kutarik dan kudekatkan kehidungku. Aku membaui baju itu, aroma badan Ayahku masih tertinggal disana, baju yang dipakainya saat terakhir kali.
Tiba-tiba saja sesuatu yang sangat sesak hingga membuatku hampir tidak bisa bernapas menyerang dadaku. Aku katupkan mulutku sekuat tenaga. Sudah tak bisa aku tahan lagi perasaan ini. Akupun berteriak memanggil Ayahku. Aku terduduk dilantai sambil merengkuh baju Ayah. Tangisku pun akhirnya pecah. Aku merutuki diriku. Menyesali diriku yang belum sempat meminta maaf kepada Ayahku. Aku belum sempat bilang kalau aku sangat mencintainya. Aku juga belum sempat membalas semua jasa-jasanya. Dan, aku tidak berada disampingnya saat ia meninggalkan dunia ini.
Sekarang aku tinggal sendirian di London. Setelah kepergian Ayah, Ibu memutuskan untuk menjual perusahaan konveksi milik Ayah, uangnya pun digunakan Ibu sebagai modal untuk membuka toko roti, dan kembali ke Rusia. Tentu saja aku menyetujuinya, kami tidak memiliki keluarga di London, Ibu butuh keluarganya agar bisa membantu melupakan Ayah.
Umurku sekarang 32 tahun. Bekerja disebuah lembaga yang pekerjaannya meneliti benda-benda atau situs-situs purbakala. Selain itu, aku menghabiskan waktu luangku menjadi sukarelawan di Human Appeal. Sebuah badan amal kemanusiaan yang menyalurkan bantuan kepada para tunawisma, para lansia, perlindungan perempuan, pusat anak-anak dan badan amal lainnya.