Aku memperhatikan Nyonya Darwis dari sisi kanan dekat jendela. Nyonya Darwis sedang sibuk komat kamit membaca doa sementara pesawat akan bersiap untuk lepas landas. Kami berangkat pada pagi hari, dan sekitar jam 10 lepas landas dari Bandara International London Heathrow.
Suara mesin pesawat semakin terdengar saat benar-benar akan tinggal landas. Agak bising memang dan tentu saja memekakkan telingaku, karena posisi kursi kami sejajar dengan sayap pesawat. Kedua tangan Nyonya Darwis seketika mencengkeram pegangan kursinya. Matanya menutup paksa dengan mulut yang masih komat kamit.
Aku pun turut memejamkan mata. Membaca doa apa saja yang aku bisa. Sungguh perjalanan ini memang terasa agak berbeda seperti biasanya, entahlah, aku hanya merasa lebih gugup. Atau, apakah karena aku akan kembali ke Rusia setelah sekian lama aku tak pulang?
Pesawat mulai melaju dengan kecepetan penuh. Aku pun tidak bisa mengelak dari luar jendela. Sekelebat bayangan dari luar mulai hilang dengan cepat. Perlahan garis datar bumi mulai terlihat miring seiring menandakan bahwa pesawat sudah melayang diudara.
Aku pun belum bisa benar-benar menikmati perjalanan ini, karena pesawat masih melakukan beberapa kali manuver dan terasa makin menukik keatas. Sensasinya seperti jantungku akan terlepas setiap kali pesawat akan menaikkan ketinggiannya. Tak sedikit pula aku mendengar rintihan ketakutan dari para penumpang lainnya. “Whoo…” kata mereka panjang sekali.
Sekitar lima belas menit akhirnya pesawat sudah berada diketinggian maksimalnya. Yah, aku pikir begitu, karena aku sudah merasakan sensasi terbang yang mulai nyaman, dan tampak para pramugari mulai beraktifitas kembali dari duduknya.
Aku menoleh kearah Nyonya Darwis. Dan, yah, ternyata dia sudah sibuk dengan layar tv kecil didepannya yang terpasang dibelakang setiap kursi penumpang. Wajahnya tampak serius dan terlihat nyaman. Aku mendengus pelan. Rasa-rasanya percuma sekali mengkuatirkan Nyonya Darwis.
Perjalanan kali ini akan memakan waktu sekitar 2 jam 35 menit untuk transit satu kali di Bandara Frédéric Chopin Warsawa. Hari masih terlalu pagi, ketimbang tidur akupun mulai membuka laptopku dan berselancar mencari info tentang legenda Shambala. Aku biarkan Nyonya Darwis menikmati papan permainan dari layar tv didepannya, sehingga aku bisa fokus dengan laptopku.
Banyak artikel, serta tayangan video dari berbagai sumber yang mengulik tentang Shambala. Akupun tertarik membaca dari salah satu situs pencarian ternama. Menurut kepercayaan Buddhis dan Hindu, Shambala adalah sebuah kerajaan misterius yang tersembunyi di antara Gunung Himalaya dan Gurun Gobi. Di Shambala, seluruh penduduknya telah mencapai pencerahan spiritual sehingga pengikut Budhisme Tibet mengatakan bahwa para penduduk Shambala merupakan perwujudan dari kesempurnaan.
Aku pun agak sedikit terkejut ketika faktanya Nazi pernah melakukan pencarian tentang Shambala pada tahun 1930, 1934 dan 1938. Tapi, tidak satupun di antara mereka yang berhasil menemukannya. Hingga akhirnya sang pemimpin Adolf Hitler, mengakhiri hidupnya pada tahun 1945. Menurut video yang aku tonton, Hitler berambisi untuk menemukan Sumbu Bumi yang ada di Tibet, yang memiliki medan energi misterius yang bisa melindungi manusia dari serangan meriam selain itu juga bahkan memiliki kekuatan yang dapat membalikkan ruang dan waktu.
Aku menggaruk-garuk belakang kepalaku yang tentu saja tidak terasa gatal sama sekali. Hingga aku memutuskan untuk mengikat saja rambut panjang ikal blondeku. “Rudra Cakrin…” ucapku pelan setelah membaca nama Raja Shambala ke-25 dilayar laptopku. Seorang raja yang kelak akan memimpin melawan pasukan yang jahat dan berhasil menghancurkannya sehingga umat manusia akan dikembalikan kedalam kedamaian.