Makan malam telah usai. Ibuku dan Nyonya Darwis sudah masuk kekamarnya masing-masing. Sedangkan aku masih duduk didepan tv sambil makan Syrki-kudapan manis buatan ibu yang terbuat dari keju custard yang dibalut cokelat tipis dibagian luarnya.
Nama Avraam Bogdan tiba-tiba muncul dikepalaku saat aku lagi terlena menonton film dokumenter tentang perang dunia ke-2. Aku memejamkan mata dan mendengus kesal.
Kuhabiskan segera Syrki yang ada dihadapanku lalu bersegera masuk ke kamar. Kurebahkan badanku yang letih diatas dipan tua setelah aku selesai membersihkan diri dikamar mandi. Kucoba memejamkan mata dengan menimpa lengan kananku diatas wajahku.
Avraam Bogdan adalah temanku semasa kecil. Dia sangat menyukai kucing. Aku, Avraam dan beberapa temanku yang lain sering menghabiskan waktu bermain bersama-sama di taman didekat tempat tinggal kami.
Dulu, anak laki-laki biasanya suka membuat kapal-kapalan, pedang-pedangan, bahkan ketapel yang bisa dibuat dari ranting pohon. Tapi, tak jarang jika mereka tidak menemukan ranting yang sesuai, meja atau lengan kursi lama yang sudah tidak terpakai bisa mereka ubah menjadi bahan baku alternatif. Tentu saja mereka harus meminta ijin dulu kepada ibu mereka.
Setelah itu biasanya mereka menggantung botol atau kaleng bekas didinding untuk dijadikan target tembakan dengan batu kecil sebagai pelurunya. Kalau sudah begitu, para orang tua akan mengawasi mereka sambil mengobrol dengan orang tua yang lain, berjaga-berjaga agar batu-batu itu tidak memecahkan jendela atau melukai si anak.
Sementara anak laki-laki sibuk memotong kayu dan menghancurkan botol, anak-anak perempuan asyik bermain lompat tal Prancis, ini adalah permainan kesukaanku.
Permaianan ini melibatkan tiga anak perempuan dan sebuah tali elastis yang berbentuk lingkaran. Dua anak bertugas menjadi penjaga yang berdiri berhadapan didalam lingkaran tali, memasangnya dipergelangan kaki dan menegangkannya hingga membentuk dua garis lurus yang sejajar.
Pemain ketiga (pelompat) akan melompati tali tersebut yang tingkat kesulitannya akan dinaikkan secara bertahap. Tinggi lingkaran tali perlahan akan dinaikkan sampai kedengkul para penjaga, kemudian paha, pinggul, dan jika pelompatnya bisa melompat setinggi telinga maka dikatakan hebat. Jika si pelompat melakukan kesalahan, ia harus bertukar tempat dengan salah satu penjaga tali. Permainan ini juga bisa dimainkan oleh lebih dari satu pelompat jika tali yang digunakan cukup panjang.
Aku sering menang jika bermain lompat tali Prancis. Namun, ada satu hal yang membuat aku dan anak-anak perempuan lain dibuat tertawa jika ada anak laki-laki yang tiba-tiba datang dan merengek meminta untuk ikut bermain bersama kami. Siapa lagi kalau bukan Avraam Bogdan. Padahal dia sering sekali kalah, tapi Avraam tetap bersikukuh untuk tetap ikut bermain dan lebih banyak menjadi penjaga talinya ketimbang menjadi pelompat.
Usiaku dan Avraam hanya selisih beberapa bulan saja, lebih tua Avraam enam bulan. Selain kami juga bertetangga, Avraam dan aku sering bergantian mengunjungi rumah kami untuk bermain.
Ketika Avraam main dirumahku, biasanya yang sering kami lakukan berdua yaitu mengamati karpet yang digantung di dinding. Karpet semacam ini hampir dapat ditemukan disemua rumah di Rusia dan biasanya digantung diatas sofa atau tempat tidur. Karpet-karpet itu setidaknya memiliki dua kegunaan yaitu menyembunyikan cacat pada dinding atau sebagai peredam suara. Sambil berbaring, aku dan Avraam akan menatap karpet tersebut dan mencari siluet binatang, bentuk wajah manusia, atau pola tumbuhan.
Beberapa tahun sesudahnya setelah keluargaku pindah ke London akupun tidak pernah lagi bertemu dengan Avraam. Saat itu, aku dan Avraam hanya saling bertukar kabar melalui surat-menyurat. Tahun-tahun mendatang setelah kami sudah mengenal telepon dan panggilan video, kami masih menyempatkan untuk menghubungi satu sama lain. Hingga pada saat panggilan video terakhir kami, Avraam bilang kepadaku kalau dia sedang bersiap untuk masuk ke militer. Setelah itu, aku tidak pernah tahu kabar tentang Avraam.