Aku masih merutuki diriku setelah semua pikiran jelekku tentang Avraam. Sinting! Seharusnya aku tidak berpikiran berlebihan tentang Avraam. Yah, memang ada sesuatu diantara kami, tapi itu dulu sekali. Dan, baik aku maupun Avraam pun memang tidak pernah mendeklarasikan sesuatu yang resmi mengenai hubungan kami. Dan pada akhirnya kami tetaplah sebagai teman. Aku tidak seharusnya bersikap egois kepada Avraam. Walaupun jauh dilubuk hatiku masih ada tersimpan kekecewaan. Yah, kau tahu setelah semua perasaan yang tumbuh, lalu kau ditinggal pergi tanpa ada kabar lagi setelahnya.
Karena ada beberapa hal yang aku harus persiapkan sebelum aku dan Nyonya Darwis berangkat ke China nanti, setelah selesai sarapan aku izin kembali ke kamar. Toh, Avraam dan Ayahnya juga belum tiba dirumah.
Tak berapa lama kemudian selagi aku membereskan beberapa barang kebutuhan untuk perjalanan ke China, tiba-tiba saja ibu membuka pintu kamarku. “Mereka sudah datang, Laika.”
Aku berdeham kecil. “Okey, Mom.”
Ku hela napas panjang. Ku teguk salivaku. Lalu aku beranjak berdiri, merapikan diriku sebentar kemudian melangkah sedikit berat kearah pintu. Oke, aku harus jujur pada diriku sendiri. Sudah beberapa tahun terlewati? Aku pasti sangat canggung bertemu dengan Avraam. Siapa yang tidak? Atau aku pasti hanya berlebihan.
Gagang pintu kini sudah kupegang, kugerakkan ke bawah perlahan-lahan. Ku dongakkan kepalaku sedikit kearah luar. Kupejamkan mata sambil menghembuskan napas, kesal. Kenapa aku malah mengendap-endap seperti pencuri dirumahku sendiri?
Badanku kembali kutegakkan kembali. Kututup pintu kamarku dengan tegas lalu berjalan menuju kearah ruang tamu.
“Ah, itu Laika!” seru ibuku setelah aku muncul ditengah-tengah mereka.
Aku menganggukan kepalaku sedikit, tersenyum. “Hai, halo Tuan Adrian, apa kabar?” Aku berjalan mendekati Tuan Adrian tanpa menoleh sedikitpun kearah Avraam yang berdiri tepat disebelahnya. Aku menggapai tangan Tuan Adrian yang langsung menarik badanku kepelukannya, lalu menepuk-nepuk pundakku, pelan.
“Ah, tiba-tiba Anda mengingatkanku kepada mendiang Ayahku,” ucapku terharu.
Tuan Adrian terkekeh. ”Dia orang baik, Nak. Kau pun bisa menganggapku sebagai Ayahmu.”
“Terima kasih, Tuan. Andapun sama baiknya seperti Ayahku,” ucapku sambil melepas pelukan Tuan Adrian. Kemudian aku melangkah sedikit kearah kiri, ke hadapan Avraam. Dia jangkung melebihi Ayahnya, badannya bidang dengan pundak yang besar dan berbadan tegap. Dan benar kata Bibi Elena, dia berubah menjadi sangat tampan.
“Halo, Avraam. Lama tidak berjumpa,” ucapku sambil memandang tajam matanya yang berwarna seperti lautan yang luas dengan bulu matanya yang panjang dan lentik.
“Iya, sudah berapa lama, ya?” jawabnya sambil seperti akan merengkuhku juga kedalam pelukannya. “B-baik, silahkan duduk Tuan Adrian, Avraam,” kataku cepat dan meninggakan Avraam yang tampak seperti tersenyum kecil kepadaku.
“Aku juga harus pergi. Senang bertemu kau Tuan Adrian, Avraam” kata Bibi Elena beranjak meninggalkan kami.
“Ah, aku juga tidak ada urusan dengan kalian. Aku akan kembali dengan beberapa minuman segar dan Syrki buatanku sendiri. Adrian dan Avraam, kalian pasti menyukainya,” seloroh ibu sambil berlalu kearah dapur.
“Seperti biasa saja, Alla. Aku bukanlah orang asing untukmu,” jawab Tuan Adrian.