The Urtimaaj

Dhie Kaviar
Chapter #5

[BAGIAN PERTAMA] - 1[b]

1[B] : MANA KEJAYAAN, MANA PENGHACURAN


Suara nyanyian mengisi keheningan malam: menidurkan mereka yang insomnia, menghangatkan mereka yang kedinginan, mendamaikan mereka yang kelelahan, menghibur mereka yang berduka, dan menenangkan mereka yang tersesat. Pohon bambu bergemeretuk seolah saling berhimpitan. Semilir angin menggerakkan udeng bercorak burung merak selebar sepuluh senti dengan panjang dua meter yang dililitkan pada rambut yang tergelung.

Banggi berteriak, “Pimpinan, leherku nyeri melihat kau dari bawah. Pertemuan anggota sudah di atur malam ini. Astaga, turunlah cepat atau aku tidak akan datang kepertemuan itu dan pergi nyewa sundal. Gini-gini aku lelaki lajang yang bernafsu normal. Kau mengacaukan jatah mingguanku, Pimpinan!”

Banggi mengeluarkan cermin bundar dari kantong pinggangnya lalu mengambil ancang-ancang untuk melemparkan cermin itu seperti bumerang. Ia menguatkan kaki belakang untuk bertumpu sampai tanahnya sedikit ambles. Setelah dilesatkan, muncul gerigi-gerigi disekeliling cerminnya. “Pimpinan, kau menganggapku wakil atau babi, sih!” teriaknya seiring cermin itu dilesatkan.

Tanpa melirik, Alum meloncat diiringi gemerincing lonceng kecil dari sepasang sumpingnya. Setelah cermin itu kembali kepada Banggi, ia pun berkata, “Pergilah, Babi!”

Kini kibaran udeng, sisa lipitan jarik di atas bahu, dan semburat cahaya bulan membuat Alum terlihat seperti malaikat di mata Banggi. Banggi mengembuskan napas besar dan menyimpan kembali cerminnya. Ia mendekati tepi tebing dan menangkap pemandangan negara yang terlindung di balik tembok besar dan tinggi.

Benteng kokoh dan tebal yang membentang dari bukit Nira sampai kaki gunung Paka itu bernama Kutawara. Kutawara merupakan bentuk pertama ‘relief negara’ Urtimaaj yang menentukan tatanan masyarakat berdasarkan strata. Namun, sebagai saksi bisu, Kutawara lebih paham kondisi yang berada di baliknya, setidaknya sampai benteng kedua menghalangi pendengaran dan penglihatannya.

Sebagai benteng penyambutan dan pertahanan awal, Kutawara memang tembok paling gagah dan menawan di antara yang lain; benteng itu bertahtahkan Panigaruli---hewan mitologi Urtimaaj bertubuh naga, bersirip ikan di sepanjang punggung, berkepala garuda dengan rambut singa, dan berwarna biru---yang terlihat terang seperti sinar bulan saat malam hari; dan Banggi memberinya alasan baru yakni karena Kutawara sering menjadi tempat bersandar bagi masyarakat FlOoOne, terutama Paupau

Jika jatah mingguan Banggi adalah menyewa sundal, maka jatah mingguan Alum adalah bernyanyi sembari melihat Urtimaaj dari tempat yang lebih tinggi. Dan kini ia paham alasan Alum suka memanjat pohon, mendaki gunung, atau berdiri di pucuk bambu. Urtimaaj terlihat indah saat di malam hari. Ia pun berceletuk, “Tujuan kita adalah menghapus tatanan berdasarkan strata, kan? Perlukah kita meratakan juga ‘relief negara’ yang dibangga-banggakan itu?”

Banggi menekan kata ‘relief negara’. Ada kekesalan di sana. Tentu saja!

Akibat berada di lereng gunung dan bukit, Urtimaaj dibangun berundak kemudian dibagi-bagi. Dari Kutawara sampai 1001 undak, itulah area FlOoOne. Undak 1002 sampai 1100 digunakan sebagai bendungan untuk FlOoOne. Undak 1101 sampai 1199 digunakan untuk benteng kedua. Dari 1200 sampai 3202 undak, itu disebut area FlOoUe. Undak 3203 sampai 3304 adalah bendungan milik FlOoUe. Undak 3305 sampai 3701 digunakan untuk benteng ketiga. Dari undak 3702 sampai 7005, itu milik area FlOoEs. Dan … mereka-lah ‘relief negara’ yang dijaga lebih baik dari masyarakat FlOoOne. Tentu saja, hanya sebuah tata letak! Tidak lebih!

“Jika diperlukan,” kata Alum

“Kalau itu terjadi, aku akan menggempur dan mengganti wajah Kutawara agar lebih keren.” Banggi tersenyum lebar.

“Kuharap tidak terjadi.”

Senyum Banggi berubah menjadi tawa keras. “Aku hanya bercanda, Pimpinan.”

Alum menatap lekat FlOoOne dari ujung ke ujung. “Bukan gara-gara ucapanmu, tapi nasib masyarakat setelah ‘relief negara’ diruntuhkan. Mereka makin kacau dan tugas organisasi makin menumpuk, lalu kau tidak akan melakukan jatah mingguanmu bersama sundal. Kau akan melajang sampai mati!”

“Pimpinan! Maka kau juga melajang sampai mati!” Banggi melompat tinggi sampai Alum mendongak, lalu ia melemparkan cermin lagi. “Kadang-kadang mulut Pimpinan perlu kuserempet. Dasar Perawan Tua!”

Alum memiringkan badannya dengan terlentang untuk menghindar, lalu memantulkan diri dengan mengetukkan tumit ke ujung bambu. Ketika cermin bergerigi akan kembali ke Banggi, segera Alum mengambil sehelai daun bambu dan membelah cermin itu. “Belilah cermin baru, Jejaka Basi!

Lihat selengkapnya