2[A] : YANG SEHARUSNYA TELAH MUNCUL
Interogasi untuk Alum telah dilakukan di pos penjagaan FlOoOne, dekat Kutawara. Hari ini ia jadi anak celaka, bukan anak beruntung sebab dituduh mencuri uang ketika sebuah kereta kuda hilang kendali dan menabrak pembatas jalan besar. Penumpang kereta itu kehilangan sekantong koin perak bercampur emas. Sialnya Alum didekat kereta kuda itu. Tertuduhlah ia. Kerah bajunya ditenteng oleh Pak Kusir dan dilemparkan begitu saja di depan pintu pos penjagaan hingga membuat Alum terguling dan terbentur tembok. Gigi Alum pun berdarah.
“Urus anak ini dan cari tau keberadaan kantong koin majikanku!” teriak Pak Kusir sampai lehernya berurat.
“Kantong apa? Alum tidak punya kantong koin, Tuan,” jelas Alum.
Pak Kusir berkumis itu berkacak pinggang. “Bocah kecil pinter nipu, ya! Udah biasa, kan anak-anak kayak kalian curi duit? Sebenarnya alasan ada pagar pembatas di jalan besar buat kalian, biar enggak bisa ganggu perjalanan orang-orang seperti majikanku. Tapi, memang udah dasarnya keturunan otak cebong, ya mana mampu mikir? Udah-udah, kau taruh mana kantong koin majikanku? Sini!”
Dahi Alum berkerut. Ia meniru ucapan Pak Kusir beberapa kali tanpa suara. “Otak cebong?”
Bibir Alum monyong-monyong saat mengulang-ulang kata ‘cebong’. Penasaran, Alum pun bertanya, “Tuan, otak cebong itu apa?”
“Otak cebong itu kecil. Bodoh, goblok, dan tolol. Ngerti?” Pak Kusir terlihat bersungut-sungut.
Kening Alum ditunjuk-tunjuk kasar oleh Pak Kusir. Kepalanya jadi sakit. Pos penjaga pun tidak banyak membantu Alum karena dua alasan: pertama, penjaga FlOoOne hanyalah penjaga sisa yang tidak sebanding dengan penjaga FlOoUe dan kedua, penjaga FlOoOne lebih mementingkan keamanan masyarakat Erem dibanding Paupau.
Peraturan tidak tertulis itu sudah menjadi akar yang dalam. Kekeliruan sejak lama yang dianggap biasa saja seolah menjadi sebuah kemerdekaan yang lumrah. Kelumrahan yang sama bagi Alum ketika ia disebut otak cebong, dihina karena pakai baju bertambal-tambal atau dituduh mencuri. Ia memang tidak bisa membaca dan menulis. Rupa huruf dan angka pun ia jarang sekali melihatnya. Ia juga tidak punya uang untuk beli singkong atau bahan-bahan membuat abon, beli terompah atau bakiak atau juga sandal karet, apalagi beli baju baru dengan wangi khas kain. Buat apa marah, toh itu fakta.
Jadi, ia hanya diam saja dan barulah mengelus-elus kening setelah Pak Kusir berhenti menunjuk-nunjuknya karena Pudi keluar dari kereta kuda. “Ayah sudah mendapatkan kantong koinnya. Anak lain menemukannya di luar pagar membatas,” katanya.
Pak Kusir segera berwajah ramah kepada anak lelaki berudeng wiru dengan bros burung merak menghiasi pelipis kanannya. “Y-ya, Tuan Muda.”
Pudi mendekati Alum dan menyerahkan beberapa koin perak. “Ini untuk ganti rugi, ya. Maaf.”
“Tuan Muda, Anda tidak perlu meminta maaf.” Pak Kusir panik. “Hei, kau! Cepat terima belas kasih dari Tuan Muda, jangan bengong saja!”
Alum keteteran menerima koin perak dari Pudi. “Ah, terima kasih.”
Setelah menerima koin perak, Alum tersenyum cerah dan hatinya bungah. Luka-luka lama dan yang baru tidak dihiraukannya. Secara ajaib menjadi tidak terasa. Buat apa dikeluhkan kalau hari ini ia bisa makan singkong rebus dan sisa koinnya bisa digunakan untuk esok. Alum tidak punya masalah selama urusan perutnya aman---dan itu jelas bukan hanya anggapan Alum karena teman lelakinya pun berpikir begitu.
Gala adalah anak panti asuhan di Paupau yang nasibnya juga tidak terlalu bagus. Perbedaan mereka hanya Gala tidur beratap rumbia sedangkan ia beratap plastik, tapi Alum tidak iri karena Gala membeli makanan dengan harga tinggi kepada kepala panti sedangkan ia dapat makanan dengan harga murah di warung singkong dan talas milik Pak Juminten.
Mereka berdua duduk dipagar pembatas jalan besar melihat bendungan yang bersebelahan dengan tembok tinggi.
“Kira-kira apa, ya di balik tembok tinggi itu?” tanya Alum.
“Tembok tinggi itu namanya Dwapara. Di sana tempatnya luas, ada bangunan tinggi dan bagus,” jelas Gala.