The Urtimaaj

Dhie Kaviar
Chapter #8

[BAGIAN PERTAMA] - 3[a]

3[A] : YANG BERCERITA JADI IDOLA


‘Mereka’ memulai yang tersebutkan pada ucapan Gala: mengintip secara dekat tatkala Alum menyanyi. Anak-anak berandalan sudah jauh dari tempatnya telah mengalami hal ngeri.

Ana kidung kang rumeksa

Sakabehing lara lan sumringah pan samya bali

Aduh Dewi, sujanma tan bisa pinilaya

Balas lara lan sumringah kawulo tan soyo gedi[1]

Maka sesuai yang didengar. Alunan lembut nan mengerikan, terselam kisruh tanpa sadar: anak-anak berandalan itu mendadak tewas dengan wajah gosong seperti arang dan badan lebam-lebam akibat menggempurkan diri pada tiang, nyusruk ke jalanan, atau menabrakkan diri di sasak setelah mendadak nyungsung yang sekali-kali sadar, sekali-kali kumat. Tidak ada sangkaan atas dampak dari nyanyian tersebut, termasuk ‘mereka’.

“Cukup sulit menemukan kaum Bhasma di lingkungan buruk. Sangat disayangkan kalau anak seperti ia tidak mengetahui kekuatan sebesar itu,” gumam Kakek Tua yang diam-diam mengamati di pojok rumah yang berada di samping Alum kini. “Ia sungguh tidak sadar kalau Singgisangla sudah terpisah dari jantungnya.”

Kakek Tua mengetuk tongkatnya sekali di tanah, lalu berjalan mendekati Alum. Tangannya segera menepuk bahu sehingga Alum menoleh. “Nyanyian yang memilukan, buat saya tidak tega. Jangan lanjutkan, ya.” Tidak lama, Kakek Tua tersenyum setelah Singgisangla kembali.

Mata Alum yang bersih terlihat berkaca-kaca. “Teman Alum. Tolong.” Tangisnya makin kencang dan napasnya tersengal-sengal.

Kakek Tua berjongkok, meletakkan tongkat di sisinya, lalu menata Gala di pundaknya. Tergendonglah ia seperti sekarung beras. “Ayo ke rumah saya dulu biar kau tau tempat temanmu ini di rawat. Esok kau ingin menjenguknya, kan?”

“Jauh?”

“Tidak terlalu jauh,” jelas Kakek Tua.

Mendengar hal tersebut Alum pun mengikuti Kakek Tua. Benar, rumah Kakek Tua tidak terlalu jauh. Hanya satu kali belokan. Ketika masuk, Alum sadar rumah Kakek Tua seperti rumahnya dulu. Tidak besar, bersih, dan wangi. Meski bukan wangi serai, Alum tetap suka karena tidak bikin hidungnya gatal dan pusing. Lamat-lamat ia mulai menerka-nerka wangi rumah ketika Kakek Tua sibuk mengobati Gala.

“Kopi. Wangi kopi,” kata Alum lirih, tapi masih terdengar oleh Kakek Tua.

Kaket tua membenarkan. “Saya suka sangrai biji kopi buat dijual. Baru saja saya jual biji kopinya dan bertemu kau saat perjalanan pulang.”

Alum menganggung-angguk. Ia pernah lihat Ibu mengsangrai kopi, tapi cuma satu kali karena waktu itu Bapak dapat biji kopi dari pabrik. Tidak banyak, hanya satu mangkuk. Saat itu, Bapak bungah karena bisa minum kopi murni. Diam-diam, Alum pernah icip kopi yang dibuatkan Ibu untuk Bapak. Rasanya sangat pahit karena tidak pakai gula. Ibu harus hemat gula. Bapak juga tidak pernah protes kalau kopinya pahit, tidak seperti Alum yang sekali icip langsung mencak-mencak protes. Kalau diingat sekarang, jadi lucu. Alum terkekeh-kekeh sedikit.

Kakek Tua melirik. “Nak, namamu Alum, kan?”

“Kok Kakek tau?”

“Ketika kau bicara selalu sebut nama sendiri.”

“Ooo. Kalau nama Kakek?”

“Tua. Namaku Tua,” kata Kakek Tua sambil membeberkan selimut di badan Gala.

Lihat selengkapnya