“Aaahhh ...,” suara jeritan panjang seorang remaja berseragam putih abu-abu memekakkan telinga Hugo. Dia merasakan jantungnya mencelos dan paru-parunya hampir meledak akibat rasa kaget dan takut. Dia termangu beberapa detik seraya memejamkan mata, menunggu malaikat maut mencabut nyawanya.
“He kamu, cepat keluar!” suara bentakan dan ketukan keras di kaca jendela mobilnya seketika mampu membuatnya membuka mata. Sejurus kemudian, Hugo menyadari bahwa bukan dia yang nyaris mati, melainkan remaja yang baru saja hampir ditabraknya.
Kini, seorang gadis sedang berdiri di samping mobilnya. Dia mengetuk kaca jendela mobil dengan kencang dan wajah memerah karena marah. Hugo menghela napas berat. Dia pasrah dengan risiko yang harus ditanggungnya. Diam-diam, pria muda itu bersyukur karena tidak ada orang di sekitar situ, tentunya selain dua orang gadis itu dan dirinya. Kalau tidak, mungkin saja saat ini dia sudah dikeroyok massa karena menyetir mobil dengan tidak hati-hati dan hampir mencelakai orang lain. Fiuh!
Hugo membuka pintu mobil dan langsung berhadapan dengan seorang remaja belia yang tampak sedang marah itu.
“Kamu bisa menyetir tidak, sih? Di jalan yang sesepi dan selebar ini, bisa-bisanya kamu hampir menabrak orang!” makinya geram. Cewek mungil itu melotot dan berkacak pinggang, seakan dia siap mencincang Hugo. Meski wajahnya memerah, mata bundarnya melotot galak, dan urat-urat leher yang bertonjolan, penampilan dan kecantikan pelajar SMU itu mampu mengingatkannya akan karya artistik pemahat paling terampil di muka bumi ini. Entah kenapa, Hugo bertahan menatap wajah gadis itu.
Akan tetapi, perhatian Hugo mendadak terbetot oleh suara rintihan dari orang yang hampir ditabraknya. Refleks, Hugo pun nyaris berlari menghampirinya.
“Apa kamu terluka? Maafkan aku ....”
Gadis berambut sebahu dengan mata sipit itu menggerakkan tangannya. Dia membuat gerakan menghalau Hugo dengan kasar. Kulitnya yang kuning tampak berkilau di bawah siraman sinar matahari siang.
“Kamu kira jalan ini sirkuit? Kemudian, kamu bisa mengebut seenaknya?”
Hugo merasa malu. Apa yang harus dikatakannya? Pembelaan diri macam apa yang bisa membuatnya tidak terlihat bodoh?