The Vanilla Heart

Bentang Pustaka
Chapter #2

Janji yang Patah

“Sebenarnya, apa artinya sebuah janji bagimu? Kamu tidak menghargai apa yang sudah diucapkan oleh lisanmu. Kamu tidak bisa menepati kata-katamu sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari orang yang tidak bisa memegang janjinya?”

(Hugo Ishmael)

Dua jam sebelumnya ....

“Apa? Kamu ingin membatalkan rencana pertunangan kita?” suara Hugo menajam satu oktaf lebih tinggi dari kondisi normal. Pandangannya berapi-api, siap membakar wajah Farah yang tampak tenang. Sikap Farah yang tenang seakan menunjukkan bahwa bukanlah dirinya yang menyebabkan kemarahan dan emosi Hugo.

“Aku belum siap bertunangan, Go,” desahnya ringan.

Hugo menatap Farah seakan tidak percaya kata-kata bernada penolakan itu meluncur dari bibir indah kekasihnya.

“Kenapa kamu baru bicara sekarang? Saat keluarga kita sedang mematangkan rencana pertunangan kita?” desis Hugo sengit.

Ya, keluarga besar Hugo baru saja tiba di rumah Farah untuk membicarakan rencana pertunangan mereka berdua. Hugo dan Farah sudah memintal benang cinta sejak tujuh tahun silam.

Keluarga Hugo dan Farah bukanlah orang asing. Keluarga mereka memiliki hubungan yang tergolong dekat karena pertemanan pada masa muda, antara ibunda Hugo dengan ayah Farah. Hugo dan Farah berusia sebaya dan sudah saling kenal sejak mereka masih sangat belia. Saat SMP, mereka bahkan bersekolah di tempat yang sama. Dan, sejak SMP itulah benih-benih cinta mereka mulai disemai dan akhirnya dipetik.

Hugo menjadi cinta pertama bagi Farah.

Farah adalah gadis pertama yang dicintai Hugo.

Ikatan pertemanan dua keluarga membuat hubungan kasih antara Hugo dan Farah menjadi lebih stabil. Tanpa terasa, tujuh tahun sudah terlampaui dan masing-masing masih setia dengan cinta itu. Pada tahun ketujuh usia pacaran mereka, Hugo dan Farah memiliki keinginan yang senada, yaitu sama-sama ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri. Melbourne adalah kota yang dijadikan pilihan Hugo dan Farah.

Meski melanjutkan pendidikan ke kota yang sama, Melbourne, Hugo dan Farah mengambil jurusan kuliah yang berbeda. Farah ingin memperdalam ilmu hukum, sementara Hugo lebih tertarik pada dunia bisnis. Sebenarnya, Hugo jauh lebih meminati dunia matematika. Namun, keluarga besar ibunya mengelola sebuah bisnis manufaktur yang berkembang pesat. Mau tidak mau, Hugo harus mempunyai prioritas. Akhirnya, dia memutuskan untuk mendalami dunia bisnis, tanpa harus didesak oleh siapa pun.

“Aku bisa tetap menikmati matematika meski harus kuliah untuk mendalami dunia bisnis,” hibur Hugo kepada dirinya sendiri.

Entah siapa yang awalnya memberi usul untuk mengikat Hugo dan Farah dalam jalinan pertunangan secara resmi. Dan, entah kenapa pula kedua anak muda yang sedang dimabuk cinta itu pun menyetujui rencana pertunangan mereka. Nyaris tanpa halangan, keduanya dipersiapkan untuk menapaki tangga baru sebuah hubungan.

“Go, apa menurutmu kita sudah pantas untuk bertunangan? Umur kita baru berapa, sih? Dua puluh tiga juga belum. Lalu, kenapa kita harus bertunangan hanya karena kita mau kuliah ke luar negeri? Memangnya kita mau melakukan apa di Melbourne? Kita, kan, cuma belajar?”

Hugo telanjur kehilangan minat untuk mencerna kata-kata apa pun yang diucapkan Farah. Kepalanya terasa berputar seakan dia terlalu banyak menghirup udara beracun yang memengaruhi kinerja otaknya. Lalu, tiba-tiba ada kabut tebal yang mengurungnya hingga membuat pandangannya akan masa depan menjadi gelap. Hugo merasa gentar seketika.

“Jadi?” tanya Hugo tidak percaya.

Farah mengedikkan bahu dengan gerakan santai. Terlihat jelas kalau dia sudah memikirkan dengan matang keputusannya. Gadis muda itu tidak terlihat terganggu setitik pun.

“Wajahmu pucat, Go,” ungkap Farah. Telunjuknya mengarah ke wajah Hugo. Farah dan Hugo sedang memisahkan diri dari keluarga besarnya. Orangtua Hugo dan orangtua Farah sedang asyik membicarakan rencana pertunangan mereka di ruang tamu, sedangkan Hugo dan Farah memilih untuk bergeser ke teras belakang. Mereka berdua duduk di kursi rotan yang diletakkan bersebelahan dan menghadap ke deretan pot bonsai. Biasanya, teras belakang ini menjadi tempat favorit Hugo saat datang ke rumah Farah. Suasana bagian belakang rumah Farah itu memang lebih tenang. Karena itu, Hugo merasa sangat nyaman berada di sana.

“Aku hampir mati,” balas Hugo ketus.

“Go, jangan seperti anak kecil!” Farah mulai kesal.

Hugo memutar matanya. Dia menatap gemas ke arah Farah. Hugo seakan tidak percaya atas segala kejutan mengerikan yang diterimanya hari ini.

“Siapa yang seperti anak kecil? Aku atau kamu? Apa kamu tidak memikirkan apa yang kamu lakukan saat ini? Kamu seenaknya mengambil keputusan.”

Suara dengusan Farah terdengar tajam hingga Hugo pun mengangkat wajah dan mengernyit.

“Kenapa?” tantang Hugo dengan mata menyala penuh murka.

“Kata-katamu jahat!” protes Farah. Meski bukan anak bungsu, Farah terbiasa dibesarkan dengan bergelimang kasih dan kemanjaan. Orangtuanya nyaris tidak pernah menggelengkan kepala saat Farah menginginkan sesuatu. Dan, dia tidak suka jika kata-katanya dibantah, meski itu oleh Hugo.

“Baiklah, aku yang jahat. Dan, kamu sendiri?” suara Hugo kian sinis. Pria muda ini tampak tidak bisa lagi berpikir jernih. “Kalau kamu tidak mau bertunangan denganku, seharusnya sejak awal kamu menolaknya. Jangan dengan cara begini, kamu menolak pertunangan pada saat-saat terakhir. Kita akan segera berangkat ke Melbourne dalam hitungan bulan. Sudah tidak lama lagi. Tetapi, kalau begini ....”

Lihat selengkapnya